Fragmen Seni Video Indonesia

Seorang pria tampak menampar wajahnya berulang-ulang sambil melafalkan bait-bait Injil (Lukas 12:3-11). Wajahnya perlahan-lahan tampak lebam, membengkak seiring dengan dirinya yang terengah-engah dan kepayahan melafalkan bait-bait tersebut. Mata berair dan liur yang terbersit di sudut mulutnya seolah meneriakkan sakit yang tak terperi. Selama kurang lebih 10 menit, ia ‘menghukum’ dirinya sendiri.

Adegan di atas adalah cukilan video What karya Reza Afisina yang diproduksi tahun 2001. Video performatif Reza yang kini menjadi koleksi Museum Guggenheim, New York, dianggap sebagai salah satu temuan penting dalam sejarah perkembangan seni video Indonesia.

Video What terpilih dalam kompilasi 10 tahun seni video Indonesia 2000 – 2010 terbitan ruangrupa. Kompilasi tersebut memuat 27 karya video yang dianggap penting dan menandai perkembangan video seni tanah air dalam kurun waktu satu dekade. Beberapa namaa lain yang juga masuk dalam kompilasi ini antara lain Ade Darmawan, Anggun Priambodo, Bagasworo Aryaningtyas, Hafiz, Mahadrika Yudha, Muhammad Akbar, Prilla Tania, Tintin Wulia, dan Wimo Ambala Bayang. Mereka masih konsisten berkarya hingga kini.

Membicarakan seni video tak bisa dilepaskan dari nama besar Nam June Paik. Seniman berkebangsaan Korea-Amerika ini diakui sebagai bapak video art. Ia mulai berkarya pada awal tahun 1960-an. Pada tahun 1965, menggunakan alat perekam video Portapak produksi Sony. Sejak itu ia semakin giat mengeksplorasi medium tersebut. Salah satu karya awalnya yang populer ialah TV Cello (1971). Paik menumpuk tiga buah televisi lengkap dengan leher dan senar cello. Masing-masing monitor menampilkan rekaman berbeda. “Television has been attacking us all our lives, now we can attack it back” selalu menjadi misi utamanya dalam berkarya. Kelahiran dan perkembangan seni video di Indonesia tentu saja tak serta-merta berangkat dari semangat yang sama dengan yang mendasari Paik dalam berkarya di era 1960-1970’an. Situasi di Amerika Serikat kala itu sangat berbeda dengan Indonesia, terutama perkembangan teknologinya.

“Television has been attacking us all our lives, now we can attack it back”

Kemajuan teknologi tersebut otomatis membuat negara-negara barat jauh di depan dengan menyelenggarakan festival-festival seni video dan seni media baru sejak lama. Seperti Brazil yang sudah tiga dekade menyelenggarakan festival Videobrasil. Ada pula Impakt Fetival yang diadakan di Utrecht, Belanda, sejak 1988, atau Images Festival yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1987 di Toronto, Kanada.

Perkembangan seni video Indonesia

Pada tahun 2001, ruangrupa, komunitas seni kontemporer berbasis di Jakarta, menggagas proyek Silent Forces, sebuah proyek seni video yang melibat seniman-seniman Indonesia dan internasional. Sebagai langkah awal, mereka melakukan riset mengenai penggunaan medium video dalam praktik seni rupa. Muncul beberapa nama besar seniman Indonesia yang menggunakan medium video dalam presentasi karya mereka, seperti Krisna Murti yang sudah bergelut dengan medium video sejak tahun 1980-an, Heri Dono yang membuat karya instalasi Hoping to Hear from You Soon (1992) dan Teguh Ostenrik yang pada sebuah pameran di Jakarta sekitar tahun 1994, menggunakan video sebagai medium berekspresi.

Nama Nerfita Primadewi juga mencuat karena aktif berkarya di pertengahan 1990-an, meski saat ini namanya tak terdengar lagi. Di luar nama-nama tadi, muncul temuan lain yang cukup menarik. Anak muda di pertengahan 1990-an aktif melakukan eksperimen video untuk kegiatan musik dan clubbing. Beberapa seniman bahkan diajak terlibat dalam eksperimentasi video ini.

Kegiatan-kegiatan yang mengetengahkan seni video dan seni media baru (new media arts) baru muncul pada awal 2000. Di Bandung, salah satu komunitas yang konsisten hingga saat ini ialah Bandung Center of New Media Arts yang menjadi cikal bakal Common Room. Sementara di Yogyakarta, ada MES56 dan Garden of The Blind yang menjadi cikal bakal HONF (The House of Natural Fiber).

"Casting Jesus" by Christian Jankowski (Photo by Haritsah Almudatsir, Courtesy of OK. Video)
“Casting Jesus” by Christian Jankowski (Photo by Haritsah Almudatsir, Courtesy of OK. Video)

Di Jakarta sendiri ada ruangrupa yang pada tahun 2003 menggelar festival seni video pertama di Indonesia. Festival berskala internasional ini diberi tajuk OK. Video – Jakarta Video Art Festival. OK. Video mengetengahkan video secara khusus dan masih rutin digelar setiap dua tahun hingga saat ini.

Penggunaan medium video kemudian semakin marak dan tak hanya terikat pada nilai estetika seni rupa. Farah Wardani, kurator dan penulis seni rupa, menuliskan hasil pengamatannya di Majalah Cobra #2 (Oktober – November, 2011) tentang fenomena yang terjadi di pertengahan 2000 ini. Menurutnya, kala itu video lebih marak dan luas diberdayakan di berbagai jenis komunitas kreatif independen dan LSM. Bentuknya beragam, mulai dari dokumenter, video participatory, video aktivisme seperti yang dilakukan Engagemedia, Forum Lenteng, dan Yayasan Kampung Halaman.

Bukan kebetulan jika pada perhelatan yang kedua, yakni tahun 2005, OK. Video tidak lagi menggunakan kata “art” dan mulai mengusung tema-tema spesifik yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, dan budaya yang terjadi di Indonesia dan dunia saat itu. Ini bisa kita lihat sebagai usaha OK. Video yang merespon perkembangan yang terjadi saat itu. Sebagai sebuah medium, video terlalu sempit jika hanya dieksplorasi dalam ranah seni rupa saja. Lima tema yang diusung selama enam kali penyelenggaraan festival ini dirasa sesuai untuk setiap zamannya. Saya sendiri pernah terlibat di dua penyelenggaraan OK. Video, yakni OK. Video FLESH (2011) yang mengusung topik ketubuhan dan juga menyinggung tema digital viral, dan MUSLIHAT OK. Video (2013) yang mengetengahkan taktik warga dalam menyiasati teknologi, terutama di negara-negara non-produsen teknologi.

Setiap perhelatannya, OK. Video memilih tiga karya terbaik yang salah satunya berasal dari Indonesia. Selama enam kali penyelenggaraan, video-video yang terpilih cukup jeli membaca tema besar yang disodorkan dan menerapkannya ke dalam video. Tahun lalu, seniman asal Yogyakarta Arya Sukapura Putra dengan karya E-Ruqyah terpilih sebagai salah satu karya terbaik. Ia memberi arti lain pada ritual rukyah dengan menggunakan telepon selular dengan lantunan ayat suci yang menyala untuk digosok-gosokkan ke badannya. Karya video performatif ini dipilih selain karena jenial membaca tema, juga memberi makna baru pada suatu hal yang ada dan telah berlangsung lama.

Praktik seni video yang sedikit berbeda dilakukan oleh komunitas Jatiwangi Art Factory (JAF). Komunitas yang bermarkas di Desa Jatisura, Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat ini sejak tahun 2008 bekerjasama dengan Pemerintah Desa Jatisura untuk melakukan berbagai penelitian dengan pendekatan seni kontemporer yang mengajak partisipasi warga desa.

Program-program JAF cukup beragam, seperti lokakarya, proyek kesenian, residensi, dan festival seni. Salah satu program yang menarik perhatian saya ialah pameran bertajuk Pameran Senirupa di Rumah Warga yang diadakan pada September 2013 silam. Sebanyak 16 seniman lokal diundang untuk memamerkan karya mereka di beberapa rumah warga Desa Jatisura. Salah satu seniman video yang terlibat ialah Mahardika Yudha dengan karya Shepherding, Bayangan Timur Laut, Kapal Gersang, dan Suara Putra Brahma. Karya- karya tersebut dipresentasikan menggunakan televisi 29 inch di sebuah rumah warga yang memiliki usaha penyewaan Play Station dan warnet.

Program lain yang juga menarik ialah Village Video Festival (VVF) yang diadakan sejak tahun 2009. Festival video residensi tahunan yang awalnya bernama Village Film Festival ini berskala internasional. Seniman tinggal di rumah warga untuk berinteraksi, memetakan masalah yang ada, dan mengeksekusikannya dengan membuat sebuah karya video. Tahun lalu, VVF mengusung tema “Curi Pandang”. Tema ini dipilih untuk melihat kemungkinan perubahan yang akan terjadi di sekitar wilayah pemukiman mereka. Ini bisa menjadi strategi awal menyiasati pembangunan yang terjadi di sekitar desa mereka.

OK. Video dan JAF memang bukan parameter baku untuk melihat perkembangan seni video di Indonesia saat ini. Namun keduanya pada satu titik menunjukkan kecenderungan serupa, yakni video-video dengan tema yang kontekstual dengan zaman atau lingkungannya dapat membuat “seni video” terasa lebih dekat dan mampu merangkul massa yang lebih luas. Presentasinya pun bisa lebih cair. Video bisa berdiri sendiri sebagai sebuah karya, bisa juga menjadi bagian dari sebuah karya instalasi.

*) Dipublikasikan di majalah Esquire Indonesia edisi Februari 2014

Monas Menjulang, Monas Menantang

Kearifan lokal di balik monumen keagungan



 
 
 
 
 
 
Mentari t’lah datang. Hai Monas menantang
Peluh mulai bercucuran. Kulitku kini memerah habis terpanggang
Nafasku terengah, tubuhku pun lelah, namun tanpa keluh kesah
Kulari dan kuberlari pantang menyerah.
Di tiap hari… slalu begini… berulang kali… peristiwa yang kualami tiap hari tiap pagi
Hai Monas kini tlah ramai lagi… semua menari…
menikmati segarnya udara di pagi hari ini
 

Potongan lagu Hai Monas milik grup musik Naif di atas sedikit banyak menggambarkan perjalanan kami ke Monas hari itu. Bersama JJ Rizal dari Komunitas Bambu dan Ardi Yunanto dari KARBON Journal, saya bertamasya ke objek wisata yang konon paling banyak dikunjungi di Jakarta. Siang itu, kami berlagak turis di kota sendiri. Sayang, minus penganan di atas tikar yang digelar.

Untungnya udara cukup bersahabat. Meski peluh tetap bercucuran, kami tak sampai memerah terpanggang karena cuaca cenderung mendung. Taksi yang kami tumpangi berhenti di pintu Timur, alhasil, kami masuk melalui pintu yang berada persis di sebelah gerbang masuk Stasiun Gambir. Tak biasa memang, karena akses masuk yang banyak digunakan pengunjung adalah yang terletak di sebelah selatan, atau di seberang Gedung Balaikota DKI. Itu pun sebenarnya juga bukan pintu masuk resmi, melainkan lahan parkir dengan pagar pekarangan yang sudah terbongkar. Mengingat jarak dari “pintu masuk” ini ke Tugu Monas lumayan jauh, pengelola menyediakan kereta wisata tiga gerbong yang dapat mengangkut 33 orang pengunjung sekaligus. Namun karena tadi turun di pintu yang lain, berjalan kaki adalah satu-satunya opsi yang kami punya. Tak mengapa, toh dengan begitu kami dapat melihat sekawanan rusa tutul yang dipelihara di taman bagian timur ini. Berhubung dipagari, kami hanya dapat melihat mereka dari kejauhan. Jika beruntung, mereka akan berjalan mendekati pagar pembatas, dan Anda dapat menyentuhnya.

Sudah bukan rahasia umum kalau monumen yang dibangun pada 1959 dan baru diresmikan dua tahun setelahnya ini sering dilambangkan sebagai “lingga dan yoni” atau “penis dan vagina” karena bentuknya yang menyerupai lumpang dan cawan. Namun tak banyak yang tahu kalau Monas juga merupakan simbolisasi hari kemerdekaan RI, “17-8-45”. Pelataran cawan terletak di ketinggian 17 meter dari tanah dan berukuran 45 meter x 45 meter. Sedangkan angka “8” (meter) diwakili oleh tinggi ruang Museum Sejarah atau yang kerap disebut ruang diorama, dari lantai hingga langit-langit.

“Bagi Soekarno, membangun Monas bukan hanya berarti membangun sebuah monumen. Lebih dari itu, ia bermaksud untuk membangun spirit bangsa Indonesia,” ujarRizal di tengah-tengah perjalanan kami menuju tugu. “Ia ingin rakyatnya bisa berdiri dengan kepala tegak.”

Sesampainya di tengah tugu, kami langsung menuruni tangga menuju lorong masuk berlapis marmer. Sepanjang tangga itu banyak pedagang suvenir khas Monas. Mulai dari gantungan kunci hingga miniatur monumen. Karcis masuk seharga 2.500 rupiah saja per orang. Ternyata jalan naik melalui tangga mengantarkan kami kembali ke tempat awal kami masuk. Bedanya, kini kami berada di seberang. Ya, tugu Monas memang kini dipagari sehingga setiap pengunjung yang akan masuk ke tugu harus melewati lorong bawah tanah. “Pagar membuat jarak. Tapi sebagai ruang publik, Monas sudah cukup memuaskan pengunjungnya,” ujar Ardi tanpa menghentikan langkahnya, “Alasan mereka (pengurus Monas -red) memberi pagar, sepertinya hanya untuk memudahkan pengaturan masuk saja, termasuk adanya loket-loket terpisah.”

Tujuan pertama adalah puncak tugu. Ternyata, untuk naik ke atas, setiap pengunjung harus membayar tiket sebesar 7.500 rupiah. Begitu tiket didapat, segera kami masuk dalam antrian bersama pengunjung yang lain. Saya pikir, untuk mencapai ketinggian lebih dari 100 meter di atas tanah, kami akan tiba di lantai berjumlah belasan. Ternyata saya salah, elevator tugu menunjukkan angka “3” ketika kami sampai di puncak tugu.

Angin berhembus cukup kencang. Untuk ukuran hari kerja, yang datang hari itu cukup banyak. Pengunjungnya beragam, mulai dari anak-anak, remaja, hingga para orang tua yang terlihat berada di dalam sebuah rombongan.

“Monas bagai Ka’bah bagi banyak orang. Mereka berbondong- bondong datang kemari untuk melakukan ‘tawaf’,” ujar JJ Rizal, yang spontan membuat kami tersenyum. Tawaf atau mengelilingi ka’bah adalah salah satu ritual dalam ibadah haji. Pernyataan Rizal ada benarnya, karena hampir dipastikan, setiap orang yang datang ke Monas pasti pernah berjalan mengelilingi tugu.

Saya iseng bertanya kepada seorang bapak yang terlihat bersama rombongan keluarganya. Ilyas, nama bapak itu, beserta keluarganya datang jauh-jauh dari Pontianak untuk berlibur, dan Monas menjadi tujuan utamanya. “Kami sudah beberapa kali ke mari dan tidak pernah bosan. Di antara tempat rekreasi lain di Jakarta seperti Ancol, Taman Mini, dan lain-lain, saya lebih suka Monas. Bentuknya yang menjulang tinggi menciptakan kesan megah,” ujar Ilyas tentang kunjungannya ke Monas. Mendengar jawaban Ilyas, Rizal terlihat senyum-senyum sendiri. “Monas di mata masyarakat sekarang, tepat seperti tujuan Soekarno saat membangun Monas, agar masyarakat bisa berdiri dengan kepala tegak,” ujarnya.

Di puncak tugu, terdapat empat teropong yang bisa digunakan untuk melihat landscape Jakarta. Satu teropong untuk satu sisi. Anda hanya perlu membayar 2.500 rupiah untuk ditukarkan dengan uang logam untuk mengaktifkan teropong. Setelah puas melihat-lihat, kami beranjak turun. Elevator hanya cukup menampung 11 orang termasuk seorang petugas. Sesampainya di bawah, kami berbelok ke kiri menuju Ruang Kemerdekaan. Di ruangan berbentuk amphiteater empat sisi inilah terdapat rekaman suara saat Soekarno membacakan teks proklamasi. Terdapat dinding berbentuk kubus yang tiap sisinya terdapat simbol-simbol kenegaraan; teks proklamasi, burung Garuda, peta Indonesia, dan miniatur gapura untuk memperdengarkan pembacaan teks proklamasi.

Jika selama ini Anda mengira bahwa teks asli proklamasi tersimpan di ruangan ini, bersiaplah kecewa. Ketika miniatur gapura terbuka dan suara Soekarno membahana, teks proklamasi yang terpajang di dalamnya bukanlah teks asli, melainkan fotokopi dari versi yang sudah diketik. Lagi-lagi, JJ Rizal terlihat menyunggingkan senyum. Kali ini terasa masam. “Ungkapan ‘jas merah’ yang diserukan Soekarno seperti tidak ada harganya,” katanya gemas. “Teks proklamasi versi fotokopi, penulisan tahun di teks proklamasi yang terpatri di dinding juga salah. Di teks yang aslinya, tertulis menggunakan tahun Jepang ‘05’, bukan ‘45’.”

Dengan sedikit rasa kecewa, kami melanjutkan trip kali ini menuju Ruang Museum Sejarah atau yang lebih dikenal dengan ruang diorama. Ruangan berisi 48 diorama sejarah bangsa ini dimulai dari diorama Kehidupan Masyarakat Indonesia Purba (3000-2000SM) hingga diorama Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat (1969). Rizal pernah menulis sebuah esai kritik di Karbonjournal.org tentang diorama-diorama ini. (Tulisannya yang berjudul Merombak warisan, menyetir sejarah: Penyelewengan diorama Museum Sejarah MonumenNasional bisa Anda baca di bit.ly/JJ-Rizal)

Selain jajaran diorama, ada yang baru di ruangan ini. Bentuknya mentereng sendiri dengan warna merah mencolok: Infobox Transportasi Makro Jakarta. Di dalamnya terdapat maket skema transportasi Jakarta, termasuk kawasan intermoda Dukuh Atas – Sudirman, dan juga rencana pembangunan monorail di Jakarta yang terlihat mengambil contoh-contoh monorail yang ada di Malaysia. Untuk yang satu ini, sepertinya giliran kita yang ‘mencontek’ mereka. “Keberadaan infobox ini aneh. Kalau mau lebih informatif, kenapa tidak taruh di depan dekat loket saja?” tanya Ardi tak habis pikir dengan benda yang menurutnya seperti alien. Canggih sekaligus asing di antara diorama yang terkesan usang dan remang-remang. Kebingungannya beralasan. Saya jadi bertanya-tanya apakah peletakan infobox di ruang museum atas dasar asumsi bahwa pengunjung paling banyak adalah di area ini? Tapi bagaimana dengan kenyataan bahwa tak semua pengunjung bukan masyarakat Jakarta? “Keberadaan pagar pembatas dan infobox adalah sebuah keangkuhan,” cetus Rizal menimpali.

Tujuan terakhir adalah tembok relief yang terletak di bagian luar. Tembok putih bersudut siku ini terpahat banyak relief, di antaranya Barong Bali, polisi, pramuka, beragam fauna Indonesia, Gelora Bung Karno, atlet bulutangkis, tari- tarian tradisional, pemusik angklung, Gatot Kaca, Gajah Mada, dan lain-lain. Begitu banyak hal yang dimasukkan dalam tembok relief ini, kira-kira apa ya maksudnya? Setengah berkelakar, Rizal menjawab singkat, “Semua harus mengabdi pada pembangunan.” disambung Ardi yang hanya bisa ngedumel, “Absurd! Relief ini absurd!” Saya dan Rizal pun tertawa lepas.

Trip Monas kami berakhir sampai di sini. Sepanjang perjalanan menuju lapangan rumput yang ada di sekeliling, Rizal dan Ardi yang kala itu bertugas sebagai tour guide masih melanjutkan cerita soal keberadaan Monas bagi masyarakat. Kata Rizal, Soekarno tidak pernah memenangkan kaum menengah. Oleh karena itu Jakarta mungkin terasa menyusahkan bagi mereka, tapi tidak begitu dengan rakyat kecil. “Khusus untuk Monas”, sambungnya, “ia masih menjadi daya tarik bagi sebagian besar masyarakat, tapi bukan mereka yang berkata Monas tidak penting.”

Saya sempat tertegun mendengar pernyataannya. Benarkah Jakarta dan Monas-nya memang dipersembahkan untuk rakyat kecil? Benarkah kemewahan dan keagungan yang tercipta dari monumen yang menjulang ini hanya bisa dinikmati mereka yang bukan kalangan menengah ke atas yang sudah terbiasa hidup mewah? Saya teringat satu bait kalimat yang pernah ditunjukkan Ardi, yang ia kutip dari salah satu buku Ali Sadikin, yang menurutnya, gubernur terbaik yang pernah dimiliki Jakarta:

“Saya bangun Lapangan Monas, saya bangun Ancol. Saya sengaja melarang orang yang lagi pacaran diganggu. Awas lu ya, kalau menganggu. Kalau melacur tidak boleh. Tetapi kalau pacaran, lho itu kan anugerah Allah. Sudah pernah pacaran? Kan senang, bahagia… Makanya tidak boleh diganggu. Sebab apa? Di kampung tidak bisa pacaran. … Halaman tidak ada, yang ada gang satu meter. Orang sedang bercinta-cintaan ketahuan. Ini saya hayati. Berikan tempat untuk berhibur. Nah, orang tidak mengerti bagaimana sengsaranya hidup rakyat jelata. Dus, pikiran kita harus sampai ke sana.”

*****

Foto-foto lainnya:


Foto: Insan Obi
Publikasi: Esquire Indonesia edisi November 2010.
 
..
 
*Catatan penulis
Artikel ini telah mengalami penyuntingan kembali sesaat sebelum diunggah di blog ini. Foto-foto yang ada di blog ini sedikit berbeda dengan versi yang dimuat di majalah.

Bali di Balik Lensa

 

 

Sebuah dokumentasi spiritual selama lima tahun

Tak banyak yang tahu siapa John Stanmeyer. Namanya tak sepopuler rekannya, James Nachtwey, pewarta foto yang yang cerita hidupnya telah difilmkan oleh Christian Frei dalam War Photographer pada 2001 silam. Layaknya Edhie Sunarso, orang-orang lebih mengenal Patung Dirgantara (Pancoran) dan Patung Pembebasan Irian Barat (Lapangan Banteng), namun tanpa banyak yang tahu bahwa ia lah pencipta patung-patung tersebut. Begitu pula dengan John, yang karya fotonya kerap kita lihat di berbagai media, termasuk yang terpampang di sampul majalah Time dan National Geographic.

Kini, pewarta foto yang sempat menetap di Canggu, Bali, selama lima tahun, menerbitkan buku fotografi berjudul Island of the Spirits yang memuat 56 foto hitam-putih tentang sisi spiritual masyarakat Bali. Buku yang ditulis oleh Anastasia Stanmeyer tersebut menampilkan hasil bidikan John menggunakan kamera lomo merek Holga. Lebih lanjut soal isi buku, simak wawancara singkat dengan John mengenai buku fotografinya tersebut.

 

Apa tujuan Anda membuat buku fotografi tentang Bali?
Saya ingin mereka yang membacanya bisa belajar sesuatu, bukan sekadar membeli coffee-table book biasa. Saya khawatir apakah anak-anak Bali bisa berbahasa daerah ditahun-tahunmendatang.Masalahtradisi danbudayasamapentingnyadengan mengkhawatirkan soal ekonomi, politik, dan masalah besar lainnya.

Mengapa Anda memilih penerbit lokal?
Saya memilih penerbit Afterhours karena ingin buku ini diterbitkan dan diedarkan di Indonesia. Buku ini tentang Bali. Saya ingin masyarakat Indonesia membacanya dan sadar akan kekayaan tradisi yang mereka miliki.

Apa spesialnya sebuah Holga dibandingkan kamera yang biasa Anda gunakan?
Banyak yang menganggap remeh kamera seharga 25 dolar AS (sekitar 250 ribu rupiah) ini. Tapi, dengan kamera plastik ini saya seakan berpijak di masa kini dan masa lampau sekaligus. Selama mengerjakan proyek ini, saya menggunakan lima kamera.

Apakah ada alasan khusus Anda memilih foto hitam-putih?
Saya tidak ingin makna penting foto- foto saya teralihkan oleh warna-warna yang dihadirkan foto berwarna. Ini dokumentasi yang berbeda, yang ingin menampilkan betapa spesial kekuatan tradisi yang mereka (masyarakat Bali –red) miliki, yang sayangnya terancam oleh pengaruh dari luar.

Mana yang lebih Anda senangi, memotret perang atau soal budaya seperti yang Anda lakukan dalam buku ini?
Saya tidak suka meliput perang karena begitu banyak manusia-manusia lemah. Terlalu banyak kesedihan dan kesengsaraan.

 

 

Island of the Spirits
28 x 28 cm
144 pages
Matte Paper, Hardcover
Reeves Sensation Tradition 220 gsm
Coated Matte 150 gsm
Foto: Evan Praditya
Publikasi: Esquire Indonesia edisi Oktober 2010


*Catatan penulis:
Terjadi perubahan minor pada artikel ini, yaitu di paragraf pembuka.

Satir Metropolitan

 

 

Duo di balik kesuksesan Kartun Benny & Mice: Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad.

TITIK NOL: JAKARTA

Kedekatan keduanya bermula saat sama-sama berkuliah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 1993. Sewaktu kuliah, Benny dan Misrad “Mice” kerap membuat kartun dan dijadikan majalah dinding. Lekatnya Benny dan Mice sebagai ikon kartunis yang mengangkat parodi kehidupan Jakarta muncul saat mereka meluncurkan buku kartun Lagak Jakarta. Mengapa Jakarta? Mice punya jawaban simpel, “Karena kami berdua tinggal di Jakarta. Kami nggak berani ngomongin Bandung karena kami nggak tinggal di situ.” Mice memang asli Jakarta, sementara Benny dari Samarinda. “Warga pendatang tampaknya justru cenderung lebih peka dibandingkan orang Jakarta sendiri yang masa bodoh karena menganggap segala sesuatunya sudah biasa,” jelas Mice. Pada 2003 mereka mendapat tawaran dari sebuah surat kabar nasional untuk menjadi kartunis tetap. Hingga kini, keduanya secara rutin mengisi kolom kartun Benny & Mice di Kompas edisi Minggu.

Mungkin banyak yang tidak tahu kalau kartun yang kita nikmati tiap minggunya itu dikerjakan secara bergantian oleh Benny dan Mice. “Kita menggambarnya bergiliran. Misalnya minggu pertama saya, minggu kedua Benny. Kalau ada yang sakit atau sedang ke luar kota, yang lain menggantikan.” jelas Mice.

 

SUMBER INSPIRASI

Kuatnya karakter kartun mereka tak lepas dari proses observasi yang mereka lakukan sebelum menggambar. Sesekali mengobrol sekadarnya dengan orang-orang sekitar hingga memotret. Memilih masyarakat golongan menengah ke bawah sebagai objek kesukaan misalnya, merupakan hasil dari upaya itu. “Golongan ini paling fleksibel, bisa naik ke golongan atas, bisa juga ke bawah. Tapi jadinya nanggung, mereka nggak mampu mengikuti gaya hidup golongan atas. Makanya sering terjadi misplaced dan kelakuan norak lainnya,” jelas Mice. “Bocoran” lain tentang resep sukses menjadi seorang kartunis keluar dari mulut Mice. “Mudah saja. Buatlah cerita yang membumi, tidak usah yang terlalu tinggi. Target utama adalah masyarakat umum, bukan sesama kartunis.” 

“Lebih sering menjadi pembicara seminar di FISIP dibandingkan di Fakultas Seni Rupa dan Desain.”

 

BUAH KESUKSESAN

Benny dan Mice kini sudah memetik hasil kejelian dan kerja kerasnya. Kesuksesan mereka mengangkat satirnya kehidupan Jakarta ke dalam bentuk kartun tidak tanggung-tanggung. “Dalam satu bulan buku kami bisa terjual sebanyak 25 ribu eksemplar. Sementara penerbitan standar, cetakan pertama sebanyak tiga ribu dan diberi batas waktu hingga enam bulan agar habis,” jelas Benny tanpa bermaksud sombong. Duo “kocak” ini pun mendadak tenar sehingga kerap diundang untuk menjadi pembicara di berbagai seminar. Hanya mereka cukup heran, pihak pengundang justru banyak dari pihak jalur pendidikan sosial. “Lebih sering menjadi pembicara seminar di FISIP dibandingkan di Fakultas Seni Rupa dan Desain,” jelas Benny.

Mereka tentu tidak mau terlalu ambil pusing terhadap masalah ini. Dunia kartun sudah menjadi tempat yang nyaman bagi Benny dan Mice. “Kartunis itu enaknya bisa kerja di rumah. Gambar tinggal dikirim via e-mail. Jadi nggak perlu bermacet-macet ria,” seloroh Benny.

Keduanya sepakat masih akan terus mengembangkan karyanya, termasuk kemungkinan kartun Benny & Mice dalam karya 3D atau visual bergerak. “Ada juga yang menawarkan untuk dijadikan sinetron,” ungkap Benny. “Tapi ya nggak mungkin. Kalau dalam bentuk animasi masih mungkin,” sambungnya. Yang pasti, kondisi sosial masyarakat Jakarta masih akan terus menjadi tema utama duo ini. Jakarta adalah tema yang tidak akan ada habisnya. “Teknologi, tren dan perilaku orang berkembang terus. Apalagi kalau negaranya belum beres-beres. Kalau negaranya “beres”, sedikit yang bisa diangkat bukan?” jelas Mice. Yang ini bisa jadi jawaban melucu atau memang serius.

 

Foto: Eddu Enoary Eigven
Ilustrasi: Benny & Mice
Publikasi: Esquire Indonesia edisi November 2009

Catatan penulis: 

Sejak 18 Juli 2010, Kompas berhenti memuat “Kartun Benny & Mice”. Sebagai gantinya, Mice akan melanjutkan membuat kartun sendiri dalam “Mice Cartoon”. Hingga kini, tidak ada yang tahu sebab “perceraian” mereka. Saya sempat bertanya saat bertemu dengan Benny. Ia cuma menjawab singkat “Nggak cerai kok, cuma pisah ranjang,” lalu melengos pergi.

Berikut edisi terakhir “Kartun Benny & Mice”  yang terdiri dari dua bagian, edisi pertama (27 Juni 2010, sumber: TamtomoVision) dan edisi ke dua (4 Juli 2010). 

Kartun Benny & Mice edisi 27 Juni 2010
Kartun Benny & Mice edisi 4 Juli 2010

Dan ini bagian-1 “Mice Cartoon” edisi pertama (18 Juli 2010) dan edisi ke dua (25 Juli 2010):

Mice Cartoon #1
Mice Cartoon #2

Have Fun Go Veg!

Panduan Wisata Kuliner Menu Non-hewani.


Menjadi vegetarian adalah salah satu cara untuk menerapkan pola hidup sehat, meski sebagian orang memiliki alasan lain untuk tidak mengonsumsi daging, misalnya karena faktor kesehatan, ingin menerapkan hidup kembali ke alam, atau bahkan ingin menurunkan berat badan. Semuanya bisa dibenarkan, bahkan yang paling ekstrem sekalipun, tidak ingin menyakiti atau menghilangkan nyawa hewan. Tak salah memang, karena itu soal pilihan hidup.

Ada baiknya Anda mengenal secara singkat jenis-jenis vegetarian berdasarkan makanan yang “boleh” dan “tidak boleh” dimakan. Berikut pembagian secara jelasnya:

  • Semi Vegetarian
    Selain jenis makanan nabati (non hewani), semi-vegetarian juga masih mengonsumsi daging hewan, meskipun tergolong jarang.
  • LactoOvo Vegetarian
    Vegetarian jenis ini tidak mengonsumsi produk hewani, kecuali yang mengandung susu dan telur.
  • Lacto Vegetarian
    Produk hewani yang dikonsumsi hanya susu dan olahannya, misalnya keju dan es krim. Selebihnya tidak, termasuk telur.
  • Ovo Vegetarian
    Kebalikan dari lacto vegetarian, produk hewani yang dikonsumsi hanya  telur dan olahannya saja.
  • Vegan
    Merupakan tingkat vegetarian yang paling ketat. Mereka hanya mengonsumsi makanan non hewani. Bahkan telur, susu, dan madu sekalipun tidak. Biasanya mereka juga menolak untuk mengenakan produk pakaian yang menggunakan kulit hewan asli.

Setelah mengetahui jenis-jenis vegetarian beserta makanannya, berikut adalah menu-menu non-daging yang bisa Anda santap. Vegetarian or not, everyone is welcome.


PORTICO

Vegetarian Spaghetti

Ketika Anda melintas di Jalan Asia Afrika, Jakarta Selatan, restoran yang terletak di pelataran Senayan City ini dengan cepat menarik perhatian. Mengusung konsep indoor dan outdoor, Portico memang menjadi salah satu spot favorit untuk hang out. Menu restoran ini pun cukup membuat perut Anda yang mungkin sebenarnya tak lapar, mendadak lapar.

Menu vegetarian yang tersedia di sini cukup banyak, misalnya Wild Mushroom Cream Soup with Truffle Oil. Sup ini terasa gurih dan tidak terlalu creamy. Jadi rasa aslinya masih dapat Anda nikmati. Ada pula Spaghetti with Chili Padi, Mushroom, and Garlic Infused Olive Oil. Spaghetti yang mendapat pengaruh kuliner Asia ini terasa nikmat disantap sebagai menu makan siang. Namun jika Anda kurang suka pedas, hati-hati dengan potongan cabai kering yang bersembunyi di balik helaian spaghetti Anda.

 

 

 

KOMALA’S

Grill Focacia

Restoran yang terletak di kompleks pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, ini menghidangkan masakan-masakan khas India. Komala’s menggunakan susu sebagai salah satu bahan dasar. Jadi jika Anda seorang lacto-vegetarian, menu restoran ini “aman” untuk dikonsumsi. Untuk permulaan, Anda bisa mencoba Grill Focaccia. Roti kering yang juga populer di Italia ini diberi filling keju, rempah-rempah, dan minyak zaitun. Sebagai tambahan, menu ini juga disertai keripik kentang. Paduan rasanya menarik, gurihnya roti panggang berpadu dengan keripik yang renyah. Ingin mencoba menu yang lebih “India”? Anda bisa mencoba Masala Dosai, sejenis crepes yang berisi kentang tumbuk.

 

 

CASA D’ORO

Salad organik

Salah satu restoran andalan Hotel Indonesia Kempinski Jakarta, Casa D’Oro, melakukan inovasi dengan bermitra dengan White Lotus, perusahaan penyedia makanan yang memperkenalkan seri menu sehat. Chef Italia yang telah memenangkan beberapa penghargaan, Francesco Greco, dipercaya untuk menangani urusan dapur. Salah satu menu yang disajikan adalah Garden Greens Crispy Organic Vegetables And White Balsamic Vinegar Dressing. Salad yang seluruhnya menggunakan sayuran organik ini terasa lebih segar karena menggunakan vinegar dressing, bukan creamy dressing seperti mayonnaise. Anda pun tak perlu khawatir karena salad ini hanya mengandung 120 kalori. Jantung sehat, lingkar pinggang pun aman.

 

 

 

 

LOVING HUT

Fancy Nut Satay

Tak susah mencari restoran vegetarian franchise asal Amerika Serikat ini, karena kini Loving Hut memiliki sebelas cabang yang tersebar di Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Khusus Jakarta, resto ini terdapat di Plaza Semanggi lantai 3 dan di Jalan Kemang Raya no 130. Menu-menu yang disajikan di sini mencakup hidangan khas nusantara, Asia, dan juga Eropa. Jangan heran dengan dengan nama yang tertulis di buku menu, karena sesungguhnya “lele”, “sate”, atau “steak” yang dihidangkan Loving Hut seluruhnya “aman” dikonsumsi oleh para vegetarian. Sebut saja Fancy Nut Satay. Sate ini menggunakan potongan “daging” yang diracik dari bahan-bahan non hewani. Layaknya sate, Fancy Nut Satay juga disajikan dengan bumbu kacang. Penasaran dengan rasa sate “palsu” yang terbuat dari jamur dan kedelai? Kosongkan jadwal akhir pekan Anda untuk mendatangi restoran ini.

 

 

TEHE VEGETARIAN

Nasi Uduk Ayam Kremes

Restoran ini memang mengkhususkan diri pada menu vegetarian. Suasananya pun nyaman dengan konsep riung tenda yang teduh. Jika ingin mencoba, sambangi saja PRJ Kemayoran Gambir Expo Blok J. Menu yang disajikan memang bukan ditujukan untuk para vegan, alias masih menggunakan telur sebagai salah satu bahan dasar. Jangan membayangkan sepiring menu dengan tampilan yang membosankan.

Di Tehe, Anda yang tidak vegetarian pun akan lahap karena “tertipu” dengan tampilan dan rasanya. Misalnya Nasi Uduk Ayam Kremes. Jangan kaget dulu, meski nama dan tampilannya “ayam”, sesungguhnya seluruh menu yang disajikan di Tehe bebas daging hewan, alias nabati. Sang pemilik restoran, Saharjo dan istri punya cara sendiri untuk membuat “ayam” dan teman-teman daging lainnya, yaitu dengan menggunakan kedelai dan jamur. Ia pun membentuk bahan-bahan tersebut sehingga menyerupai bentuk aslinya. Banyak orang yang tidak menyangka bahwa makanan yang mereka makan sebenarnya bukan daging sama sekali.

 

 

 

Foto: Rici Linde, Dok. Esquire.
Publikasi: Esquire Indonesia edisi Juni 2010.