Fragmen Seni Video Indonesia

Seorang pria tampak menampar wajahnya berulang-ulang sambil melafalkan bait-bait Injil (Lukas 12:3-11). Wajahnya perlahan-lahan tampak lebam, membengkak seiring dengan dirinya yang terengah-engah dan kepayahan melafalkan bait-bait tersebut. Mata berair dan liur yang terbersit di sudut mulutnya seolah meneriakkan sakit yang tak terperi. Selama kurang lebih 10 menit, ia ‘menghukum’ dirinya sendiri.

Adegan di atas adalah cukilan video What karya Reza Afisina yang diproduksi tahun 2001. Video performatif Reza yang kini menjadi koleksi Museum Guggenheim, New York, dianggap sebagai salah satu temuan penting dalam sejarah perkembangan seni video Indonesia.

Video What terpilih dalam kompilasi 10 tahun seni video Indonesia 2000 – 2010 terbitan ruangrupa. Kompilasi tersebut memuat 27 karya video yang dianggap penting dan menandai perkembangan video seni tanah air dalam kurun waktu satu dekade. Beberapa namaa lain yang juga masuk dalam kompilasi ini antara lain Ade Darmawan, Anggun Priambodo, Bagasworo Aryaningtyas, Hafiz, Mahadrika Yudha, Muhammad Akbar, Prilla Tania, Tintin Wulia, dan Wimo Ambala Bayang. Mereka masih konsisten berkarya hingga kini.

Membicarakan seni video tak bisa dilepaskan dari nama besar Nam June Paik. Seniman berkebangsaan Korea-Amerika ini diakui sebagai bapak video art. Ia mulai berkarya pada awal tahun 1960-an. Pada tahun 1965, menggunakan alat perekam video Portapak produksi Sony. Sejak itu ia semakin giat mengeksplorasi medium tersebut. Salah satu karya awalnya yang populer ialah TV Cello (1971). Paik menumpuk tiga buah televisi lengkap dengan leher dan senar cello. Masing-masing monitor menampilkan rekaman berbeda. “Television has been attacking us all our lives, now we can attack it back” selalu menjadi misi utamanya dalam berkarya. Kelahiran dan perkembangan seni video di Indonesia tentu saja tak serta-merta berangkat dari semangat yang sama dengan yang mendasari Paik dalam berkarya di era 1960-1970’an. Situasi di Amerika Serikat kala itu sangat berbeda dengan Indonesia, terutama perkembangan teknologinya.

“Television has been attacking us all our lives, now we can attack it back”

Kemajuan teknologi tersebut otomatis membuat negara-negara barat jauh di depan dengan menyelenggarakan festival-festival seni video dan seni media baru sejak lama. Seperti Brazil yang sudah tiga dekade menyelenggarakan festival Videobrasil. Ada pula Impakt Fetival yang diadakan di Utrecht, Belanda, sejak 1988, atau Images Festival yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1987 di Toronto, Kanada.

Perkembangan seni video Indonesia

Pada tahun 2001, ruangrupa, komunitas seni kontemporer berbasis di Jakarta, menggagas proyek Silent Forces, sebuah proyek seni video yang melibat seniman-seniman Indonesia dan internasional. Sebagai langkah awal, mereka melakukan riset mengenai penggunaan medium video dalam praktik seni rupa. Muncul beberapa nama besar seniman Indonesia yang menggunakan medium video dalam presentasi karya mereka, seperti Krisna Murti yang sudah bergelut dengan medium video sejak tahun 1980-an, Heri Dono yang membuat karya instalasi Hoping to Hear from You Soon (1992) dan Teguh Ostenrik yang pada sebuah pameran di Jakarta sekitar tahun 1994, menggunakan video sebagai medium berekspresi.

Nama Nerfita Primadewi juga mencuat karena aktif berkarya di pertengahan 1990-an, meski saat ini namanya tak terdengar lagi. Di luar nama-nama tadi, muncul temuan lain yang cukup menarik. Anak muda di pertengahan 1990-an aktif melakukan eksperimen video untuk kegiatan musik dan clubbing. Beberapa seniman bahkan diajak terlibat dalam eksperimentasi video ini.

Kegiatan-kegiatan yang mengetengahkan seni video dan seni media baru (new media arts) baru muncul pada awal 2000. Di Bandung, salah satu komunitas yang konsisten hingga saat ini ialah Bandung Center of New Media Arts yang menjadi cikal bakal Common Room. Sementara di Yogyakarta, ada MES56 dan Garden of The Blind yang menjadi cikal bakal HONF (The House of Natural Fiber).

"Casting Jesus" by Christian Jankowski (Photo by Haritsah Almudatsir, Courtesy of OK. Video)
“Casting Jesus” by Christian Jankowski (Photo by Haritsah Almudatsir, Courtesy of OK. Video)

Di Jakarta sendiri ada ruangrupa yang pada tahun 2003 menggelar festival seni video pertama di Indonesia. Festival berskala internasional ini diberi tajuk OK. Video – Jakarta Video Art Festival. OK. Video mengetengahkan video secara khusus dan masih rutin digelar setiap dua tahun hingga saat ini.

Penggunaan medium video kemudian semakin marak dan tak hanya terikat pada nilai estetika seni rupa. Farah Wardani, kurator dan penulis seni rupa, menuliskan hasil pengamatannya di Majalah Cobra #2 (Oktober – November, 2011) tentang fenomena yang terjadi di pertengahan 2000 ini. Menurutnya, kala itu video lebih marak dan luas diberdayakan di berbagai jenis komunitas kreatif independen dan LSM. Bentuknya beragam, mulai dari dokumenter, video participatory, video aktivisme seperti yang dilakukan Engagemedia, Forum Lenteng, dan Yayasan Kampung Halaman.

Bukan kebetulan jika pada perhelatan yang kedua, yakni tahun 2005, OK. Video tidak lagi menggunakan kata “art” dan mulai mengusung tema-tema spesifik yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, dan budaya yang terjadi di Indonesia dan dunia saat itu. Ini bisa kita lihat sebagai usaha OK. Video yang merespon perkembangan yang terjadi saat itu. Sebagai sebuah medium, video terlalu sempit jika hanya dieksplorasi dalam ranah seni rupa saja. Lima tema yang diusung selama enam kali penyelenggaraan festival ini dirasa sesuai untuk setiap zamannya. Saya sendiri pernah terlibat di dua penyelenggaraan OK. Video, yakni OK. Video FLESH (2011) yang mengusung topik ketubuhan dan juga menyinggung tema digital viral, dan MUSLIHAT OK. Video (2013) yang mengetengahkan taktik warga dalam menyiasati teknologi, terutama di negara-negara non-produsen teknologi.

Setiap perhelatannya, OK. Video memilih tiga karya terbaik yang salah satunya berasal dari Indonesia. Selama enam kali penyelenggaraan, video-video yang terpilih cukup jeli membaca tema besar yang disodorkan dan menerapkannya ke dalam video. Tahun lalu, seniman asal Yogyakarta Arya Sukapura Putra dengan karya E-Ruqyah terpilih sebagai salah satu karya terbaik. Ia memberi arti lain pada ritual rukyah dengan menggunakan telepon selular dengan lantunan ayat suci yang menyala untuk digosok-gosokkan ke badannya. Karya video performatif ini dipilih selain karena jenial membaca tema, juga memberi makna baru pada suatu hal yang ada dan telah berlangsung lama.

Praktik seni video yang sedikit berbeda dilakukan oleh komunitas Jatiwangi Art Factory (JAF). Komunitas yang bermarkas di Desa Jatisura, Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat ini sejak tahun 2008 bekerjasama dengan Pemerintah Desa Jatisura untuk melakukan berbagai penelitian dengan pendekatan seni kontemporer yang mengajak partisipasi warga desa.

Program-program JAF cukup beragam, seperti lokakarya, proyek kesenian, residensi, dan festival seni. Salah satu program yang menarik perhatian saya ialah pameran bertajuk Pameran Senirupa di Rumah Warga yang diadakan pada September 2013 silam. Sebanyak 16 seniman lokal diundang untuk memamerkan karya mereka di beberapa rumah warga Desa Jatisura. Salah satu seniman video yang terlibat ialah Mahardika Yudha dengan karya Shepherding, Bayangan Timur Laut, Kapal Gersang, dan Suara Putra Brahma. Karya- karya tersebut dipresentasikan menggunakan televisi 29 inch di sebuah rumah warga yang memiliki usaha penyewaan Play Station dan warnet.

Program lain yang juga menarik ialah Village Video Festival (VVF) yang diadakan sejak tahun 2009. Festival video residensi tahunan yang awalnya bernama Village Film Festival ini berskala internasional. Seniman tinggal di rumah warga untuk berinteraksi, memetakan masalah yang ada, dan mengeksekusikannya dengan membuat sebuah karya video. Tahun lalu, VVF mengusung tema “Curi Pandang”. Tema ini dipilih untuk melihat kemungkinan perubahan yang akan terjadi di sekitar wilayah pemukiman mereka. Ini bisa menjadi strategi awal menyiasati pembangunan yang terjadi di sekitar desa mereka.

OK. Video dan JAF memang bukan parameter baku untuk melihat perkembangan seni video di Indonesia saat ini. Namun keduanya pada satu titik menunjukkan kecenderungan serupa, yakni video-video dengan tema yang kontekstual dengan zaman atau lingkungannya dapat membuat “seni video” terasa lebih dekat dan mampu merangkul massa yang lebih luas. Presentasinya pun bisa lebih cair. Video bisa berdiri sendiri sebagai sebuah karya, bisa juga menjadi bagian dari sebuah karya instalasi.

*) Dipublikasikan di majalah Esquire Indonesia edisi Februari 2014

Destination: Unknown

DRIFT

Pada musim panas 1953, sekelompok ilmuwan melakukan perjalanan keliling kota Paris. Tak ada rencana, tak ada daftar tempat yang mesti dikunjungi, semua diserahkan pada impuls, yang saat itu tampak menjadi satu-satunya hal yang mendorong mereka untuk melakukan ‘pengelanaan’ tersebut. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan seseorang dari suku Kabyle—etnis terbesar di Algeria—yang kemudian tanpa disadari, apalagi direncanakan sebelumnya, akan mengubah hidup mereka.

Tak ditemukan literatur yang menjelaskan isi obrolan antara kelompok tersebut dan seorang Kabyle yang buta huruf tersebut. Besar kemungkinan sekadar sapaan dan tanya-jawab basa-basi saja yang keluar dari mulut mereka sebagai pencair suasana. Hingga saatnya istilah “Psychogeography” terlontar dari mulut seorang Kabyle itu sebagai respon atas ‘jalan-jalan tak tentu arah’ yang sedang mereka lakukan. Guy Debord, teorikus Marxist asal Prancis dan salah satu pendiri Situationist International (SI), ikut dalam ‘pengelanaan’ itu.

Lalu apakah psikogeografi hanya membahas soal jalan-jalan tak juntrung, sebagaimana komentar orang Kabyle itu? Tidak juga. Kelompok revolusioner Situationist International tersebutlah yang kemudian mempolitisasi konsep psikogeografi dan menjadikannya kritik politis. Psikogeografi, menurut definisi Debord, secara lebih presisi, sekaligus berbeda dengan definisi orang Kabyle, adalah sebuah studi tentang efek lingkungan geografis atau tempat yang mengendalikan perilaku individu yang berada di dalamnya. Debord lebih jauh mengembangkan definisi psikogeografi tersebut dengan teori ciptaannya, dérive (drift), yaitu perjalanan tanpa rencana yang seluruhnya diatur oleh perasaan individual atas lingkungan sekitar, untuk pemetaan dan investigasi psikogeografi pada beberapa area berbeda. Singkatnya, arsitektur sesungguhnya mempengaruhi kehidupan orang-orang yang hidup di dalamnya, jauh lebih besar daripada yang biasa diperkirakan.

Berjalan santai di ruang kota, para pejalan kaki mencoba “membaca” kota dan memahami arsitekturnya. Layaknya seorang pengagum rahasia, mereka melihat kota dengan penuh hasrat yang terpendam. Pada saat yang sama, mereka terlibat “rekonstruksi main-main”: berbalik menatap kota secara menyeluruh.

Ilustrasi teks lengkap Psychogeography Game of The Week yang diterbitkan di Potlatch #1, edisi 22 Juni 1954.
Ilustrasi teks lengkap Psychogeography Game of The Week yang diterbitkan di Potlatch #1, edisi 22 Juni 1954.

Proses berbalik inilah yang menjadi kunci strategi kelompok SI, atau yang mereka sebut sebagai “détournment. Mereka memakainya sebagai alat berdialektika, atau berpikir secara teratur, logis, dan teliti. Gaya ‘pemberontakan’ ini menggunakan kondisi masa lalu untuk menunjukkan ketidakberesan masa kini yang penuh kebohongan lagi berbalut ideologi. Sehingga jika dianalogikan, proses “berbalik” adalah proses melihat ke masa lalu dan berusaha “membaca” kota untuk menyingkap fakta-fakta tersembunyi di balik pulasan ideologi—yang dalam dimensi waktu sekarang berwujud arsitektur kota—yang menawan, namun sebenarnya menipu (deceiving).

Menggunakan teknik tersebut, para Situationist menyingkap kemiskinan yang menjadi skandal kehidupan sehari-hari di negara asal mereka, Prancis, pada 1950-an. Mereka berusaha memperlihatkan perbedaan yang nyata, antara apa yang terjadi dengan yang semestinya terjadi. Mereka ingin masyarakat dapat melepaskan hasrat terpendamnya, dan berhenti menjadi bagian dari masyarakat yang terkomodifikasi. Jika hal ini terlaksana, agaknya suasana keguyuban, kesatuan dalam ruang publik akan lebih diinginkan dibandingkan komodifikasi, perpecahan, dan privatisasi.1

Contoh pemetaan atmosfer kota berbasis ide-ide pergerakan Lettrist dan Situationist International. Peta Paris dipotong di beberapa area berbeda, yang oleh sebagian orang dialami sebagai lingkungan dengan karakter yang berbeda. Potongan-potongan area tadi diletakkan secara menyebar, sehingga menciptakan jarak mental yang terasa jauh. Dengan mengembara, membiarkan diri 'mengapung' atau 'melayang' (dérive), setiap orang dapat menemukan kesatuan hubungannya di suatu kota. Tanda panah berwarna merah tersebut menunjukkan jalur penyeberangan yang paling sering dilakukan, terpisahkan oleh arus lalu lintas.
Contoh pemetaan atmosfer kota berbasis ide-ide pergerakan Lettrist dan Situationist International. Peta Paris dipotong di beberapa area berbeda, yang oleh sebagian orang dialami sebagai lingkungan dengan karakter yang berbeda. Potongan-potongan area tadi diletakkan secara menyebar, sehingga menciptakan jarak mental yang terasa jauh. Dengan mengembara, membiarkan diri ‘mengapung’ atau ‘melayang’ (dérive), setiap orang dapat menemukan kesatuan hubungannya di suatu kota. Tanda panah berwarna merah tersebut menunjukkan jalur penyeberangan yang paling sering dilakukan, terpisahkan oleh arus lalu lintas.

Di negara-negara Barat, makna konsep psikogeografi kemudian mengalami pergeseran. Berangkat dari definisi milik Debord, bahwa efek lingkungan geografis mengendalikan perilaku individu, salah satu kasus yang bisa menjadi contoh adalah yang terjadi di Inggris. Pada 1980-an, Inggris mulai dipenuhi CCTV alias kamera pengintai di berbagai penjuru kota.2 Sejak itu, perilaku masyarakat otomatis dipengaruhi oleh kehadiran CCTV. Sehingga berjalan kaki dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan jika bisa menghindar dari pandangan mesin-mesin pengintai itu. Dapat dibayangkan, bagaimana kikuknya masyarakat Inggris di luar rumah karena ‘terpaksa’ menjadi ‘teratur’ di depan kamera. Bagi yang tak suka dengan kondisi ini, mungkin akan membuat jalur khusus yang berisi rute-rute mana yang dianggap “cukup aman”, yang memiliki kamera dengan jumlah paling sedikit.3

Pergeseran-pergeseran yang terjadi tersebut turut meresahkan Iain Sinclair, penulis dan sineas asal Inggris yang juga kerap disebut sebagai psikogeografer kontemporer. Definisinya tentang psikogeografi memang lebih cair—yang menurutnya dicetuskan pertama kali oleh esais Thomas De Quincey: “Wanderings, slightly druggy, no pattern, and mapping out the city (pengelanaan, sedikit teler, tidak berpola, dan memetakan kota).”4 Namun pergeseran-pergeseran tersebut membuatnya menyimpulkan bahwa yang tersisa dari psikogeografi adalah makna samar antara “berjalan kaki” dan “keliling kota”. Pernyataan itu masih merupakan bagian dari rangkaian kritiknya atas Will Self, penulis asal Inggris yang sempat memiliki kolom khusus tentang ‘psikogeografi’ di surat kabar The Independent periode 2003 – 2008. Sinclair menyatakan dengan tegas bahwa kolom-kolom Self tak mengusung semangat psikogeografi yang sebenarnya, melainkan sekadar deskripsi-deskripsi ruang dan tempat saja yang tak ada hubungannya dengan psikogeografi.

Di Indonesia sendiri, gaung psikogeografi belum begitu kentara. Namun, kita mengenal istilah yang memiliki makna dan mengusung semangat yang serupa dengan konsep yang ditawarkan oleh psikogeografi: “berjalan-jalan”. Dalam percakapan sehari-hari kita kerap mempersingkatnya menjadi “jalan-jalan”, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya “bersenang-senang dengan berjalan kaki”. Tujuannya bukan lagi abstrak, seringkali justru tidak ada. Sehingga tanpa disadari, sebenarnya kita telah menerapkan konsep psikogeografi sejak lama.

Umumnya, seseorang berjalan-jalan dengan alasan mencari udara segar, melepas ketegangan otot, pikiran, dan sebagainya. Dari kegiatan iseng-iseng itulah terkadang kita menemukan “hadiah” yang mungkin tanpa sadar kita harapkan. Secara sederhana misalnya, kita berjalan-jalan keliling kompleks perumahan hanya untuk mencari udara segar setelah seharian berkutat di depan layar komputer. Di tengah perjalanan, kita berpapasan dengan teman lama yang kebetulan baru pindah rumah. Usai mengobrol singkat, kita meneruskan perjalanan ke blok selanjutnya. Dibandingkan yang lain, blok ini terlihat dijaga lebih ketat. Selain ada pos satpam di ujung gang, ternyata lebih dari satu pemilik rumah di gang ini yang memelihara seekor anjing yang cukup bikin nyali ciut. Haus lalu mulai terasa saat kita melewati area ketiga di mana ada penjual es kelapa muda yang mangkal. Di sana, kita singgah untuk istirahat dan melepas dahaga. Setelah puas, sore beranjak senja. Saatnya untuk pulang.

Dari pengelanaan singkat tersebut, sebuah peta mental telah tercipta. Di sana terdapat jejak-jejak virtual berbentuk acak, yang menyimpan karakter-karakternya sendiri. Jejak acak tersebut akan menemukan polanya, jika pengelanaan ini dilakukan berulang-ulang, meski melewati rute-rute yang berbeda sekalipun. Jika garis-garis pada peta lebih menunjukkan isi pikiran seorang perencana perkotaan,5 maka tidak demikian dengan peta mental yang telah melalui serangkaian pengalaman langsung. Di masa depan, peta tersebut akan membantu kita mencapai tujuan tertentu. Kalau pun tidak, ia masih dapat membuat kita seolah-oleh mengalami kembali pengelanaan tiga blok tersebut. Jika enggan berurusan dengan anjing galak, maka dengan sendirinya otak akan memerintahkan anggota tubuh yang lain untuk segera mengambil rute yang berbeda.

Ilustrasi peta mental psikogeografi berjudul The Cityman.
Ilustrasi peta mental psikogeografi berjudul “The Cityman”.

Pengelanaan-pengelanaan berbasis coba-coba juga dapat dipraktikkan saat kita beraktivitas menggunakan kendaraan. Karena suatu hal, macet misalnya, terkadang kita tergerak untuk segera mencari rute lain yang tidak memiliki hambatan serupa. Satu lokasi tujuan dapat dicapai dengan beberapa rute dengan suasana yang berbeda.

Hingga kini di Indonesia, tampaknya psikogeografi lebih banyak digunakan sebatas kepentingan individu. Jika ada yang yang mengeksplorasi untuk hal yang lebih besar dan lingkup yang lebih luas, jumlahnya tak banyak. Salah satunya barangkali komunitas Peta Hijau (Green Map Indonesia). Komunitas yang berdiri sejak 2001 itu mengemban misi mewadahi berbagai inisiatif lokal demi terciptanya kehidupan yang sehat dan berkelanjutan. Komunitas mereka tersebar di beberapa kota di Indonesia. Hasil program komunitas ini cukup menarik untuk disimak, misalnya peta hijau keanekaragaman hayati dan peta informasi kawasan. Keduanya menghadirkan informasi yang dapat mendukung gaya hidup ramah sosial dan ramah lingkungan.

Green Map Indonesia juga kerap mengadakan lokakarya. Salah satu yang pantas dicermati adalah Lokakarya Peta Hijau Pejalan Kaki yang diadakan pada akhir Mei 2012 di Yogyakarta. Mereka mengajak masyarakat untuk mengenali berbagai permasalahan seputar isu pejalan kaki beserta fasilitasnya. Mereka memetakan kondisi trotoar serta perilaku pengguna jalan terhadap fasilitas jalanan yang ada.6 Pernah pula mereka mengadakan lokakarya bertajuk Kampung Memori yang pesertanya tak lain adalah anak dan para keponakan salah seorang anggota Green Map Yogyakarta sendiri, Maria Hidayatun. Ia ingin agar memori masa lalu mengenai kampung Nyutran, tempat di mana mereka lahir dan dibesarkan sebelum kemudian berpencar ke kota-kota lain, turut dirasakan oleh anak-cucu mereka.7

Berbagai inisiatif yang dilakukan warga di kotanya, salah satunya adalah untuk menjadikan kota sebagai hunian yang lebih manusiawi. Pemahaman psikogeografi dapat menjadi salah satu bekal untuk melaksanakan misi tersebut. Amat disayangkan jika akhirnya nilai yang tersisa dari studi ini hanya sekadar berjalan kaki keliling kota, alias sebuah bentuk baru pariwisata belaka.***


1 Sadie Plant, The Most Radical Gesture: The Situationist International in A Postmodern Age (Routledge, 1992). Tautan: http://www.geog.leeds.ac.uk/people/a.evans/psychogeog.html, diakses pada 1 Juni 2012, pukul 01:00 WIB.

2 Tidak sedikit yang berspekulasi bahwa hal ini dipicu oleh novel fenomenal karya George Orwell yang berjudul 1984. Novel distopia tersebut diterbitkan pada 1949, namun ceritanya mengambil waktu tahun 1984, saat kediktatoran partai Oligarki sedang berkuasa. Begitu fenomenalnya, hingga hal ini dianggap sebagai respon berlebihan—bahkan paranoid—terhadap sang penguasa.

3 Hingga kini, Inggris masih menjadi negara dengan jumlah CCTV terbanyak. Menurut situs Cctv.co.uk, jumlah CCTV di Inggris pada 2011 menunjukkan angka yang cukup fantastis, yakni 1,5 juta buah. Protes warga banyak bermunculan. Salah satu aksi protes paling terkenal akan serbuan kamera pengintai ini adalah karya street artist, Banksy, yang menuliskan “One Nation under CCTV” berukuran besar di dinding sebuah gedung. Tautan: http://www.cctv.co.uk/how-many-cctv-cameras-are-there-in-the-uk-in-2011. Karya Banksy bisa dilihat pada: http://www.telegraph.co.uk/news/uknews/1895625/Banksy-pulls-off-daring-CCTV-protest-in-London.html

4 Caff Masters: Iain Sinclair at The Copper Grill, tautan: http://www.classiccafes.co.uk/isinclair.htm. Diakses pada 31 Mei 2012, pukul 23:00 WIB.

5 Ade Darmawan, Tin Ribbon, Swarms, rhizomes, swarms, liquid spaces and gLÖbAL PosITioÑ deViCEs, katalog proyek seni rupa (Jakarta: ruangrupa, 2001). Versi lengkap kutipan adalah, Lines on the map tell more about thecity-planners’ mind than about the self-organizing systems.

6 Sudah bukan rahasia lagi jika pejalan kaki kerap diperlakukan sebagai pengguna jalan yang dipandang sebelah mata. Fasilitas trotoar yang jumlahnya tak seberapa dan kondisinya memprihatinkan, masih sering diserobot oleh para pengendara sepeda motor. Di video berjudul Pembela Hak Pejalan Kaki yang diunggah oleh wierki14 pada 3 September 2009 ini, tampak seorang ibu yang kesal dan memarahi pengendara sepeda motor yang menyerobot naik ke atas trotoar: http://www.youtube.com/watch?v=_Q84iAN0WVY. Di dunia maya sendiri, gerakan serupa hadir melalui akun Twitter @JalanKaki yang khusus menyoroti permasalahan pejalan kaki di Jakarta.

7 Adriani Zulva, Anak Kota Memeta Kampung, http://greenmap.or.id/peta-hijau-indonesia/34-yogyakarta/227-anak-kota-memeta-kampung.html. Diakses pada 1 Juni 2012, pukul 17:00 WIB.

 

*) Tulisan ini dibuat sebagai pengantar pameran DRIFT yang diselenggarakan pada 7 – 16 Juni 2012 di RURU Gallery, Jakarta. Pameran seni multimedia ini dikuratori oleh Mahardika Yudha dan melibatkan tiga seniman muda yakni Prilla Tania, Bagasworo Aryaningtyas, dan Ricky Janitras.

#4: Hanya Memberi Tak Harap Kembali

 

Kemarin ruangrupa menjelma ibu. Ngakunya sih pameran, tapi menurut saya lebih mirip pasar seni—yang sebagian besar barangnya digratiskan. Ada stiker, kalender, dan poster. Hanya kurang burger yang bikin blenger. Pengunjung juga bisa membawa pulang kaos. Sablonnya gratis, kaosnya bayar. Tiga puluh ribu. Gambarnya nyentrik-nyentrik: tangan kembar siam tiga, bajaj warna-warni, labirin tak ada ujung, dan sebagainya. Bosan dengan gambar sablonan? Ooh.. Jangan khawatir! Seniman londo bernama Harry Sachs menawarkan opsi yang tak kalah menarik: menyetrika kaos sampai gosong! Setrika arangnya dibeli di Pasar Jatinegara. Setelah pakai, siap-siap diserbu ibu: “Memangnya nggak ada baju lain? Baju gosong kok masih dipake!”