Fragmen Seni Video Indonesia

Seorang pria tampak menampar wajahnya berulang-ulang sambil melafalkan bait-bait Injil (Lukas 12:3-11). Wajahnya perlahan-lahan tampak lebam, membengkak seiring dengan dirinya yang terengah-engah dan kepayahan melafalkan bait-bait tersebut. Mata berair dan liur yang terbersit di sudut mulutnya seolah meneriakkan sakit yang tak terperi. Selama kurang lebih 10 menit, ia ‘menghukum’ dirinya sendiri.

Adegan di atas adalah cukilan video What karya Reza Afisina yang diproduksi tahun 2001. Video performatif Reza yang kini menjadi koleksi Museum Guggenheim, New York, dianggap sebagai salah satu temuan penting dalam sejarah perkembangan seni video Indonesia.

Video What terpilih dalam kompilasi 10 tahun seni video Indonesia 2000 – 2010 terbitan ruangrupa. Kompilasi tersebut memuat 27 karya video yang dianggap penting dan menandai perkembangan video seni tanah air dalam kurun waktu satu dekade. Beberapa namaa lain yang juga masuk dalam kompilasi ini antara lain Ade Darmawan, Anggun Priambodo, Bagasworo Aryaningtyas, Hafiz, Mahadrika Yudha, Muhammad Akbar, Prilla Tania, Tintin Wulia, dan Wimo Ambala Bayang. Mereka masih konsisten berkarya hingga kini.

Membicarakan seni video tak bisa dilepaskan dari nama besar Nam June Paik. Seniman berkebangsaan Korea-Amerika ini diakui sebagai bapak video art. Ia mulai berkarya pada awal tahun 1960-an. Pada tahun 1965, menggunakan alat perekam video Portapak produksi Sony. Sejak itu ia semakin giat mengeksplorasi medium tersebut. Salah satu karya awalnya yang populer ialah TV Cello (1971). Paik menumpuk tiga buah televisi lengkap dengan leher dan senar cello. Masing-masing monitor menampilkan rekaman berbeda. “Television has been attacking us all our lives, now we can attack it back” selalu menjadi misi utamanya dalam berkarya. Kelahiran dan perkembangan seni video di Indonesia tentu saja tak serta-merta berangkat dari semangat yang sama dengan yang mendasari Paik dalam berkarya di era 1960-1970’an. Situasi di Amerika Serikat kala itu sangat berbeda dengan Indonesia, terutama perkembangan teknologinya.

“Television has been attacking us all our lives, now we can attack it back”

Kemajuan teknologi tersebut otomatis membuat negara-negara barat jauh di depan dengan menyelenggarakan festival-festival seni video dan seni media baru sejak lama. Seperti Brazil yang sudah tiga dekade menyelenggarakan festival Videobrasil. Ada pula Impakt Fetival yang diadakan di Utrecht, Belanda, sejak 1988, atau Images Festival yang pertama kali diselenggarakan pada tahun 1987 di Toronto, Kanada.

Perkembangan seni video Indonesia

Pada tahun 2001, ruangrupa, komunitas seni kontemporer berbasis di Jakarta, menggagas proyek Silent Forces, sebuah proyek seni video yang melibat seniman-seniman Indonesia dan internasional. Sebagai langkah awal, mereka melakukan riset mengenai penggunaan medium video dalam praktik seni rupa. Muncul beberapa nama besar seniman Indonesia yang menggunakan medium video dalam presentasi karya mereka, seperti Krisna Murti yang sudah bergelut dengan medium video sejak tahun 1980-an, Heri Dono yang membuat karya instalasi Hoping to Hear from You Soon (1992) dan Teguh Ostenrik yang pada sebuah pameran di Jakarta sekitar tahun 1994, menggunakan video sebagai medium berekspresi.

Nama Nerfita Primadewi juga mencuat karena aktif berkarya di pertengahan 1990-an, meski saat ini namanya tak terdengar lagi. Di luar nama-nama tadi, muncul temuan lain yang cukup menarik. Anak muda di pertengahan 1990-an aktif melakukan eksperimen video untuk kegiatan musik dan clubbing. Beberapa seniman bahkan diajak terlibat dalam eksperimentasi video ini.

Kegiatan-kegiatan yang mengetengahkan seni video dan seni media baru (new media arts) baru muncul pada awal 2000. Di Bandung, salah satu komunitas yang konsisten hingga saat ini ialah Bandung Center of New Media Arts yang menjadi cikal bakal Common Room. Sementara di Yogyakarta, ada MES56 dan Garden of The Blind yang menjadi cikal bakal HONF (The House of Natural Fiber).

"Casting Jesus" by Christian Jankowski (Photo by Haritsah Almudatsir, Courtesy of OK. Video)
“Casting Jesus” by Christian Jankowski (Photo by Haritsah Almudatsir, Courtesy of OK. Video)

Di Jakarta sendiri ada ruangrupa yang pada tahun 2003 menggelar festival seni video pertama di Indonesia. Festival berskala internasional ini diberi tajuk OK. Video – Jakarta Video Art Festival. OK. Video mengetengahkan video secara khusus dan masih rutin digelar setiap dua tahun hingga saat ini.

Penggunaan medium video kemudian semakin marak dan tak hanya terikat pada nilai estetika seni rupa. Farah Wardani, kurator dan penulis seni rupa, menuliskan hasil pengamatannya di Majalah Cobra #2 (Oktober – November, 2011) tentang fenomena yang terjadi di pertengahan 2000 ini. Menurutnya, kala itu video lebih marak dan luas diberdayakan di berbagai jenis komunitas kreatif independen dan LSM. Bentuknya beragam, mulai dari dokumenter, video participatory, video aktivisme seperti yang dilakukan Engagemedia, Forum Lenteng, dan Yayasan Kampung Halaman.

Bukan kebetulan jika pada perhelatan yang kedua, yakni tahun 2005, OK. Video tidak lagi menggunakan kata “art” dan mulai mengusung tema-tema spesifik yang sesuai dengan kondisi sosial, politik, dan budaya yang terjadi di Indonesia dan dunia saat itu. Ini bisa kita lihat sebagai usaha OK. Video yang merespon perkembangan yang terjadi saat itu. Sebagai sebuah medium, video terlalu sempit jika hanya dieksplorasi dalam ranah seni rupa saja. Lima tema yang diusung selama enam kali penyelenggaraan festival ini dirasa sesuai untuk setiap zamannya. Saya sendiri pernah terlibat di dua penyelenggaraan OK. Video, yakni OK. Video FLESH (2011) yang mengusung topik ketubuhan dan juga menyinggung tema digital viral, dan MUSLIHAT OK. Video (2013) yang mengetengahkan taktik warga dalam menyiasati teknologi, terutama di negara-negara non-produsen teknologi.

Setiap perhelatannya, OK. Video memilih tiga karya terbaik yang salah satunya berasal dari Indonesia. Selama enam kali penyelenggaraan, video-video yang terpilih cukup jeli membaca tema besar yang disodorkan dan menerapkannya ke dalam video. Tahun lalu, seniman asal Yogyakarta Arya Sukapura Putra dengan karya E-Ruqyah terpilih sebagai salah satu karya terbaik. Ia memberi arti lain pada ritual rukyah dengan menggunakan telepon selular dengan lantunan ayat suci yang menyala untuk digosok-gosokkan ke badannya. Karya video performatif ini dipilih selain karena jenial membaca tema, juga memberi makna baru pada suatu hal yang ada dan telah berlangsung lama.

Praktik seni video yang sedikit berbeda dilakukan oleh komunitas Jatiwangi Art Factory (JAF). Komunitas yang bermarkas di Desa Jatisura, Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat ini sejak tahun 2008 bekerjasama dengan Pemerintah Desa Jatisura untuk melakukan berbagai penelitian dengan pendekatan seni kontemporer yang mengajak partisipasi warga desa.

Program-program JAF cukup beragam, seperti lokakarya, proyek kesenian, residensi, dan festival seni. Salah satu program yang menarik perhatian saya ialah pameran bertajuk Pameran Senirupa di Rumah Warga yang diadakan pada September 2013 silam. Sebanyak 16 seniman lokal diundang untuk memamerkan karya mereka di beberapa rumah warga Desa Jatisura. Salah satu seniman video yang terlibat ialah Mahardika Yudha dengan karya Shepherding, Bayangan Timur Laut, Kapal Gersang, dan Suara Putra Brahma. Karya- karya tersebut dipresentasikan menggunakan televisi 29 inch di sebuah rumah warga yang memiliki usaha penyewaan Play Station dan warnet.

Program lain yang juga menarik ialah Village Video Festival (VVF) yang diadakan sejak tahun 2009. Festival video residensi tahunan yang awalnya bernama Village Film Festival ini berskala internasional. Seniman tinggal di rumah warga untuk berinteraksi, memetakan masalah yang ada, dan mengeksekusikannya dengan membuat sebuah karya video. Tahun lalu, VVF mengusung tema “Curi Pandang”. Tema ini dipilih untuk melihat kemungkinan perubahan yang akan terjadi di sekitar wilayah pemukiman mereka. Ini bisa menjadi strategi awal menyiasati pembangunan yang terjadi di sekitar desa mereka.

OK. Video dan JAF memang bukan parameter baku untuk melihat perkembangan seni video di Indonesia saat ini. Namun keduanya pada satu titik menunjukkan kecenderungan serupa, yakni video-video dengan tema yang kontekstual dengan zaman atau lingkungannya dapat membuat “seni video” terasa lebih dekat dan mampu merangkul massa yang lebih luas. Presentasinya pun bisa lebih cair. Video bisa berdiri sendiri sebagai sebuah karya, bisa juga menjadi bagian dari sebuah karya instalasi.

*) Dipublikasikan di majalah Esquire Indonesia edisi Februari 2014

Destination: Unknown

DRIFT

Pada musim panas 1953, sekelompok ilmuwan melakukan perjalanan keliling kota Paris. Tak ada rencana, tak ada daftar tempat yang mesti dikunjungi, semua diserahkan pada impuls, yang saat itu tampak menjadi satu-satunya hal yang mendorong mereka untuk melakukan ‘pengelanaan’ tersebut. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan seseorang dari suku Kabyle—etnis terbesar di Algeria—yang kemudian tanpa disadari, apalagi direncanakan sebelumnya, akan mengubah hidup mereka.

Tak ditemukan literatur yang menjelaskan isi obrolan antara kelompok tersebut dan seorang Kabyle yang buta huruf tersebut. Besar kemungkinan sekadar sapaan dan tanya-jawab basa-basi saja yang keluar dari mulut mereka sebagai pencair suasana. Hingga saatnya istilah “Psychogeography” terlontar dari mulut seorang Kabyle itu sebagai respon atas ‘jalan-jalan tak tentu arah’ yang sedang mereka lakukan. Guy Debord, teorikus Marxist asal Prancis dan salah satu pendiri Situationist International (SI), ikut dalam ‘pengelanaan’ itu.

Lalu apakah psikogeografi hanya membahas soal jalan-jalan tak juntrung, sebagaimana komentar orang Kabyle itu? Tidak juga. Kelompok revolusioner Situationist International tersebutlah yang kemudian mempolitisasi konsep psikogeografi dan menjadikannya kritik politis. Psikogeografi, menurut definisi Debord, secara lebih presisi, sekaligus berbeda dengan definisi orang Kabyle, adalah sebuah studi tentang efek lingkungan geografis atau tempat yang mengendalikan perilaku individu yang berada di dalamnya. Debord lebih jauh mengembangkan definisi psikogeografi tersebut dengan teori ciptaannya, dérive (drift), yaitu perjalanan tanpa rencana yang seluruhnya diatur oleh perasaan individual atas lingkungan sekitar, untuk pemetaan dan investigasi psikogeografi pada beberapa area berbeda. Singkatnya, arsitektur sesungguhnya mempengaruhi kehidupan orang-orang yang hidup di dalamnya, jauh lebih besar daripada yang biasa diperkirakan.

Berjalan santai di ruang kota, para pejalan kaki mencoba “membaca” kota dan memahami arsitekturnya. Layaknya seorang pengagum rahasia, mereka melihat kota dengan penuh hasrat yang terpendam. Pada saat yang sama, mereka terlibat “rekonstruksi main-main”: berbalik menatap kota secara menyeluruh.

Ilustrasi teks lengkap Psychogeography Game of The Week yang diterbitkan di Potlatch #1, edisi 22 Juni 1954.
Ilustrasi teks lengkap Psychogeography Game of The Week yang diterbitkan di Potlatch #1, edisi 22 Juni 1954.

Proses berbalik inilah yang menjadi kunci strategi kelompok SI, atau yang mereka sebut sebagai “détournment. Mereka memakainya sebagai alat berdialektika, atau berpikir secara teratur, logis, dan teliti. Gaya ‘pemberontakan’ ini menggunakan kondisi masa lalu untuk menunjukkan ketidakberesan masa kini yang penuh kebohongan lagi berbalut ideologi. Sehingga jika dianalogikan, proses “berbalik” adalah proses melihat ke masa lalu dan berusaha “membaca” kota untuk menyingkap fakta-fakta tersembunyi di balik pulasan ideologi—yang dalam dimensi waktu sekarang berwujud arsitektur kota—yang menawan, namun sebenarnya menipu (deceiving).

Menggunakan teknik tersebut, para Situationist menyingkap kemiskinan yang menjadi skandal kehidupan sehari-hari di negara asal mereka, Prancis, pada 1950-an. Mereka berusaha memperlihatkan perbedaan yang nyata, antara apa yang terjadi dengan yang semestinya terjadi. Mereka ingin masyarakat dapat melepaskan hasrat terpendamnya, dan berhenti menjadi bagian dari masyarakat yang terkomodifikasi. Jika hal ini terlaksana, agaknya suasana keguyuban, kesatuan dalam ruang publik akan lebih diinginkan dibandingkan komodifikasi, perpecahan, dan privatisasi.1

Contoh pemetaan atmosfer kota berbasis ide-ide pergerakan Lettrist dan Situationist International. Peta Paris dipotong di beberapa area berbeda, yang oleh sebagian orang dialami sebagai lingkungan dengan karakter yang berbeda. Potongan-potongan area tadi diletakkan secara menyebar, sehingga menciptakan jarak mental yang terasa jauh. Dengan mengembara, membiarkan diri 'mengapung' atau 'melayang' (dérive), setiap orang dapat menemukan kesatuan hubungannya di suatu kota. Tanda panah berwarna merah tersebut menunjukkan jalur penyeberangan yang paling sering dilakukan, terpisahkan oleh arus lalu lintas.
Contoh pemetaan atmosfer kota berbasis ide-ide pergerakan Lettrist dan Situationist International. Peta Paris dipotong di beberapa area berbeda, yang oleh sebagian orang dialami sebagai lingkungan dengan karakter yang berbeda. Potongan-potongan area tadi diletakkan secara menyebar, sehingga menciptakan jarak mental yang terasa jauh. Dengan mengembara, membiarkan diri ‘mengapung’ atau ‘melayang’ (dérive), setiap orang dapat menemukan kesatuan hubungannya di suatu kota. Tanda panah berwarna merah tersebut menunjukkan jalur penyeberangan yang paling sering dilakukan, terpisahkan oleh arus lalu lintas.

Di negara-negara Barat, makna konsep psikogeografi kemudian mengalami pergeseran. Berangkat dari definisi milik Debord, bahwa efek lingkungan geografis mengendalikan perilaku individu, salah satu kasus yang bisa menjadi contoh adalah yang terjadi di Inggris. Pada 1980-an, Inggris mulai dipenuhi CCTV alias kamera pengintai di berbagai penjuru kota.2 Sejak itu, perilaku masyarakat otomatis dipengaruhi oleh kehadiran CCTV. Sehingga berjalan kaki dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan jika bisa menghindar dari pandangan mesin-mesin pengintai itu. Dapat dibayangkan, bagaimana kikuknya masyarakat Inggris di luar rumah karena ‘terpaksa’ menjadi ‘teratur’ di depan kamera. Bagi yang tak suka dengan kondisi ini, mungkin akan membuat jalur khusus yang berisi rute-rute mana yang dianggap “cukup aman”, yang memiliki kamera dengan jumlah paling sedikit.3

Pergeseran-pergeseran yang terjadi tersebut turut meresahkan Iain Sinclair, penulis dan sineas asal Inggris yang juga kerap disebut sebagai psikogeografer kontemporer. Definisinya tentang psikogeografi memang lebih cair—yang menurutnya dicetuskan pertama kali oleh esais Thomas De Quincey: “Wanderings, slightly druggy, no pattern, and mapping out the city (pengelanaan, sedikit teler, tidak berpola, dan memetakan kota).”4 Namun pergeseran-pergeseran tersebut membuatnya menyimpulkan bahwa yang tersisa dari psikogeografi adalah makna samar antara “berjalan kaki” dan “keliling kota”. Pernyataan itu masih merupakan bagian dari rangkaian kritiknya atas Will Self, penulis asal Inggris yang sempat memiliki kolom khusus tentang ‘psikogeografi’ di surat kabar The Independent periode 2003 – 2008. Sinclair menyatakan dengan tegas bahwa kolom-kolom Self tak mengusung semangat psikogeografi yang sebenarnya, melainkan sekadar deskripsi-deskripsi ruang dan tempat saja yang tak ada hubungannya dengan psikogeografi.

Di Indonesia sendiri, gaung psikogeografi belum begitu kentara. Namun, kita mengenal istilah yang memiliki makna dan mengusung semangat yang serupa dengan konsep yang ditawarkan oleh psikogeografi: “berjalan-jalan”. Dalam percakapan sehari-hari kita kerap mempersingkatnya menjadi “jalan-jalan”, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya “bersenang-senang dengan berjalan kaki”. Tujuannya bukan lagi abstrak, seringkali justru tidak ada. Sehingga tanpa disadari, sebenarnya kita telah menerapkan konsep psikogeografi sejak lama.

Umumnya, seseorang berjalan-jalan dengan alasan mencari udara segar, melepas ketegangan otot, pikiran, dan sebagainya. Dari kegiatan iseng-iseng itulah terkadang kita menemukan “hadiah” yang mungkin tanpa sadar kita harapkan. Secara sederhana misalnya, kita berjalan-jalan keliling kompleks perumahan hanya untuk mencari udara segar setelah seharian berkutat di depan layar komputer. Di tengah perjalanan, kita berpapasan dengan teman lama yang kebetulan baru pindah rumah. Usai mengobrol singkat, kita meneruskan perjalanan ke blok selanjutnya. Dibandingkan yang lain, blok ini terlihat dijaga lebih ketat. Selain ada pos satpam di ujung gang, ternyata lebih dari satu pemilik rumah di gang ini yang memelihara seekor anjing yang cukup bikin nyali ciut. Haus lalu mulai terasa saat kita melewati area ketiga di mana ada penjual es kelapa muda yang mangkal. Di sana, kita singgah untuk istirahat dan melepas dahaga. Setelah puas, sore beranjak senja. Saatnya untuk pulang.

Dari pengelanaan singkat tersebut, sebuah peta mental telah tercipta. Di sana terdapat jejak-jejak virtual berbentuk acak, yang menyimpan karakter-karakternya sendiri. Jejak acak tersebut akan menemukan polanya, jika pengelanaan ini dilakukan berulang-ulang, meski melewati rute-rute yang berbeda sekalipun. Jika garis-garis pada peta lebih menunjukkan isi pikiran seorang perencana perkotaan,5 maka tidak demikian dengan peta mental yang telah melalui serangkaian pengalaman langsung. Di masa depan, peta tersebut akan membantu kita mencapai tujuan tertentu. Kalau pun tidak, ia masih dapat membuat kita seolah-oleh mengalami kembali pengelanaan tiga blok tersebut. Jika enggan berurusan dengan anjing galak, maka dengan sendirinya otak akan memerintahkan anggota tubuh yang lain untuk segera mengambil rute yang berbeda.

Ilustrasi peta mental psikogeografi berjudul The Cityman.
Ilustrasi peta mental psikogeografi berjudul “The Cityman”.

Pengelanaan-pengelanaan berbasis coba-coba juga dapat dipraktikkan saat kita beraktivitas menggunakan kendaraan. Karena suatu hal, macet misalnya, terkadang kita tergerak untuk segera mencari rute lain yang tidak memiliki hambatan serupa. Satu lokasi tujuan dapat dicapai dengan beberapa rute dengan suasana yang berbeda.

Hingga kini di Indonesia, tampaknya psikogeografi lebih banyak digunakan sebatas kepentingan individu. Jika ada yang yang mengeksplorasi untuk hal yang lebih besar dan lingkup yang lebih luas, jumlahnya tak banyak. Salah satunya barangkali komunitas Peta Hijau (Green Map Indonesia). Komunitas yang berdiri sejak 2001 itu mengemban misi mewadahi berbagai inisiatif lokal demi terciptanya kehidupan yang sehat dan berkelanjutan. Komunitas mereka tersebar di beberapa kota di Indonesia. Hasil program komunitas ini cukup menarik untuk disimak, misalnya peta hijau keanekaragaman hayati dan peta informasi kawasan. Keduanya menghadirkan informasi yang dapat mendukung gaya hidup ramah sosial dan ramah lingkungan.

Green Map Indonesia juga kerap mengadakan lokakarya. Salah satu yang pantas dicermati adalah Lokakarya Peta Hijau Pejalan Kaki yang diadakan pada akhir Mei 2012 di Yogyakarta. Mereka mengajak masyarakat untuk mengenali berbagai permasalahan seputar isu pejalan kaki beserta fasilitasnya. Mereka memetakan kondisi trotoar serta perilaku pengguna jalan terhadap fasilitas jalanan yang ada.6 Pernah pula mereka mengadakan lokakarya bertajuk Kampung Memori yang pesertanya tak lain adalah anak dan para keponakan salah seorang anggota Green Map Yogyakarta sendiri, Maria Hidayatun. Ia ingin agar memori masa lalu mengenai kampung Nyutran, tempat di mana mereka lahir dan dibesarkan sebelum kemudian berpencar ke kota-kota lain, turut dirasakan oleh anak-cucu mereka.7

Berbagai inisiatif yang dilakukan warga di kotanya, salah satunya adalah untuk menjadikan kota sebagai hunian yang lebih manusiawi. Pemahaman psikogeografi dapat menjadi salah satu bekal untuk melaksanakan misi tersebut. Amat disayangkan jika akhirnya nilai yang tersisa dari studi ini hanya sekadar berjalan kaki keliling kota, alias sebuah bentuk baru pariwisata belaka.***


1 Sadie Plant, The Most Radical Gesture: The Situationist International in A Postmodern Age (Routledge, 1992). Tautan: http://www.geog.leeds.ac.uk/people/a.evans/psychogeog.html, diakses pada 1 Juni 2012, pukul 01:00 WIB.

2 Tidak sedikit yang berspekulasi bahwa hal ini dipicu oleh novel fenomenal karya George Orwell yang berjudul 1984. Novel distopia tersebut diterbitkan pada 1949, namun ceritanya mengambil waktu tahun 1984, saat kediktatoran partai Oligarki sedang berkuasa. Begitu fenomenalnya, hingga hal ini dianggap sebagai respon berlebihan—bahkan paranoid—terhadap sang penguasa.

3 Hingga kini, Inggris masih menjadi negara dengan jumlah CCTV terbanyak. Menurut situs Cctv.co.uk, jumlah CCTV di Inggris pada 2011 menunjukkan angka yang cukup fantastis, yakni 1,5 juta buah. Protes warga banyak bermunculan. Salah satu aksi protes paling terkenal akan serbuan kamera pengintai ini adalah karya street artist, Banksy, yang menuliskan “One Nation under CCTV” berukuran besar di dinding sebuah gedung. Tautan: http://www.cctv.co.uk/how-many-cctv-cameras-are-there-in-the-uk-in-2011. Karya Banksy bisa dilihat pada: http://www.telegraph.co.uk/news/uknews/1895625/Banksy-pulls-off-daring-CCTV-protest-in-London.html

4 Caff Masters: Iain Sinclair at The Copper Grill, tautan: http://www.classiccafes.co.uk/isinclair.htm. Diakses pada 31 Mei 2012, pukul 23:00 WIB.

5 Ade Darmawan, Tin Ribbon, Swarms, rhizomes, swarms, liquid spaces and gLÖbAL PosITioÑ deViCEs, katalog proyek seni rupa (Jakarta: ruangrupa, 2001). Versi lengkap kutipan adalah, Lines on the map tell more about thecity-planners’ mind than about the self-organizing systems.

6 Sudah bukan rahasia lagi jika pejalan kaki kerap diperlakukan sebagai pengguna jalan yang dipandang sebelah mata. Fasilitas trotoar yang jumlahnya tak seberapa dan kondisinya memprihatinkan, masih sering diserobot oleh para pengendara sepeda motor. Di video berjudul Pembela Hak Pejalan Kaki yang diunggah oleh wierki14 pada 3 September 2009 ini, tampak seorang ibu yang kesal dan memarahi pengendara sepeda motor yang menyerobot naik ke atas trotoar: http://www.youtube.com/watch?v=_Q84iAN0WVY. Di dunia maya sendiri, gerakan serupa hadir melalui akun Twitter @JalanKaki yang khusus menyoroti permasalahan pejalan kaki di Jakarta.

7 Adriani Zulva, Anak Kota Memeta Kampung, http://greenmap.or.id/peta-hijau-indonesia/34-yogyakarta/227-anak-kota-memeta-kampung.html. Diakses pada 1 Juni 2012, pukul 17:00 WIB.

 

*) Tulisan ini dibuat sebagai pengantar pameran DRIFT yang diselenggarakan pada 7 – 16 Juni 2012 di RURU Gallery, Jakarta. Pameran seni multimedia ini dikuratori oleh Mahardika Yudha dan melibatkan tiga seniman muda yakni Prilla Tania, Bagasworo Aryaningtyas, dan Ricky Janitras.

Reinterpreting Identities in Indonesian Classic Films Poster with Gambar Selaw

 

“Sundel Bolong” is the most selected film by the member of Gambar Selaw

If there’s a month where Indonesian movie buffs gather at the theater to glorify the beauty of art directing and story-telling, probably March is the answer. It’s simply because the National Film Month is celebrated every March 30th. To commemorate the moment, The Jakarta Arts Council and Kineforum are regularly held a two weeks-length series of events to satisfy the cinephile. It’s the sixth year since the first celebration of Sejarah Adalah Sekarang (History is Now). More than twenty film screenings (old and new), discussions, art exhibition, bazaar, and music concert can be enjoyed at Taman Ismail Marzuki (TIM) area.

One of the highlighted events is the Indonesian Classic Film Poster Illustrations exhibition by Gambar Selaw—or shortened by Galaw—curated by Ade Darmawan. Gambar Selaw is a drawing club established in September 2011, who has a regular meeting every Thursday night at Ruru Shop, ruangrupa. Sixty-four posters inspired by twenty classic Indonesian movies are exhibited at Galeri Cipta 3, TIM.

Kineforum randomly chose the movies, focusing on classic Indonesian movies that produced between 1950-1980s. There was no specific theme applied. “Before start making artworks, the artists watched the selected movies together at Kineforum. Then, they were free to choose the title of the movies they are going to reinterpreted,“ explained Darmawan on the opening night. The private screening was limited to several movies only, most of them are the less-popular ones, unlike Sundel Bolong, or Catatan si Boy.

This becomes interesting, since half of the movies were produced before the 1980’s, far before most of the artists have even born yet. It’s not a surprise if later, movies like Sundel Bolong, Gitar Tua Oma Irama, and Gundala Putra Petir become top 3 most picked movies by them, because those are movies are more popular amongst the others, and the characters have become somewhat icons over decades.

The film titles range over three decades, from the 1953’s production Harimau Tjampa, until the 1980’s hit about the local casanova, Catatan si Boy. Not to mention the legendary long-haired, hole in the back female ghost, Sundel Bolong, who brought the cast, the late Suzanna, to the top of public’s mind when it comes to horror movie.

The exhibition divided into two sections at the gallery. On the first floor, the artworks are divided into several movie titles, such as Sundel Bolong (1981), Djenderal Kantjil (1968), Manusia 6.000.000 Dollar (1981), Harimau Tjampa (1953), and Catatan si Boy (1987). All artworks were digitally finalized, so the artists can add texts like movie tagline and credit title.On the second floor, we can find illustrations from Gundala Putra Petir (1981), Intan Berduri (1972),Gitar Tua Oma Irama (1977), Asrama Dara (1958), Perawan Desa (1978), Tangkaplah Daku Kau Kujitak (1987), Pak Prawiro (1958) and many more. The artists also exhibit the original sketches here. Most of them are in an A4 format or smaller, to make it easier to be scanned for the finalization.

Sundel Bolong seemed to be the diva among all. Approximately eight artists created remake the movie poster of this nation’s most memorable ghost. The long hair and hole in the back, are kept exposed in an uncannily bone-chilling feeling. Lucky for us, new approach was offered that can save us from the the monotone iconic clichés. The initiatives came from two artists who thought it was a good idea to sprinkle the artwork with a bit of humor. Their attempt, in the end, wasn’t failed at all.

“Sundel Bolong” by The Popo

They are The Popo and Johan Ardhika. They have succeeded in making Sundel Bolong becomes less scary. Johan Ardhika, for example, he took advantage of one of the famous lines in the movie, “Satenya 200 tusuk, bang!” (200 satays, please!). Instead of exposing the back, he chose to expose the this legendary scene into the poster; Sundel Bolong eating satay. On the other hand, Popo, not only drew a female ghost figure showing her hollow back, but also put a street tailor as an extra stunt on her side. Riding his bicycle, the tailor seemed offering a service to Sundel Bolong—presumably to sew her back—but the lady ghost refused by giving him a hand signal. Popo, who is also known as Jakarta’s own street artist, is consistently using humor in most of his artworks. His other creation is Gundala Putra Petir (Gundala the Son of Lightning). This time, he made a literal interpretation of the movie title; Gundala were drawn holding a blue balloon on the right hand, and his father’s hand, the Lightning, with the left hand.

The mediums are varied; from drawing pen, pencil color, marker, water color, and many more. Unlike the mediums, the artist were using quite similar approaches in remaking these classic Indonesian movie posters. There were at least two major approaches.

The original “Catatan si Boy” film poster (right) with its illustration series by Gambar Selaw

The first, and most used approach by all of the artists is using the figure as the key. It is very common for us to see artworks exposing character(s) as the main subject of the poster. Major part of the gallery are filled with posters like that. To name a few, there were Sahal Abraham, who chose to draw Rhoma Irama in Sjumandjaja’s 1977 Gitar Tua Oma Irama; Nona Kumis, with herLupus and his infamous blowing bubble gum habit in Asrul Sani’s Tangkaplah Daku, Kau Kujitak (1986); Johan Ardhika, who exposed the national playboy with his iconic aviator sunglasses and Mercedes E-Class in Catatan si Boy (1987), and Tiffany, who deliberately exposed the female gang of four in Asrama Dara (1958).

Similar thing also found in the superhero movies section. Without having to look at the caption, we can easily recognize the movie title by looking at the exposed figure. There were DC Comics’ knock-off, Rama Superman Indonesia (1974) by Bayu Wibowo; Lahirnja Gatotkatja (1960) by Effi; and the local version of the famous tv serial The Six Million Dollar Man, Warkop DKI – Manusia 6.000.000 Dollar (1981) by Anis Wuku.

It’s not a surprise, considering it is probably the easiest and the safest way to make a movie poster; by using its key message. Therefore, people could recognize, and get a brief information about the story, at the same time.

“Djendral Kantjil” series by Gambar Selaw

The second approach, which I find more interesting, was by using a symbol that could represent the movie well enough. Danang Sulistyo maintain this simplicity in two of his artworks, a chicken-shaped money-box made of clay for Pak Prawiro (1958), and a gun for Djendral Kantjil (1968). If we look back at the movies, this is actually also a safe attempt. Pak Prawiro is a movie about a villager named Prawiro, who suggested people to start saving money for the better future. This movie was also produced as Bank Tabungan Pos propaganda. In other hand, Djendral Kantjil, is a children movie about a boy who asked his parents for a toy gun. After getting what we wanted, he started a troop with his friends, who later has managed to thwart a theft in their neighborhood.

The two approaches gave different impacts to the spectators. The first approach, which expose actors as main subject, delivered information about the character; while the second one, which tend to reveal symbol, delivered a message about the story.

At first, movie poster was a strategy to cut the promotional budget. They were designed to grab people’s attention and get them want to see the movie, before having to do a television commercial. If a picture speaks louder than a thousand words, a movie poster has a tougher job, because it has to sell itself at the same time.

We can’t ignore the fact that people having the need to get informed about the movie before they watch it. The sources are then open into three forms: text (synopsis), visual (poster), and audiovisual (trailer). So it is safe to conclude that the key message in a movie poster, is vital, because it grows become the movie identity itself. In this case, the artists have chosen a particular movie identity to be exposed in each artwork, but also, their identity as well. ***

Indonesian Classic Film Poster Illustrations, an art exhibition by Gambar Selaw, from 23 – 31 March 2012 at Galeri Cipta 3, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jl. Cikini Raya 73, Central Jakarta. For more infomation about Gambar Selaw (Galaw): www.gambarselaw.com.

Monas Menjulang, Monas Menantang

Kearifan lokal di balik monumen keagungan



 
 
 
 
 
 
Mentari t’lah datang. Hai Monas menantang
Peluh mulai bercucuran. Kulitku kini memerah habis terpanggang
Nafasku terengah, tubuhku pun lelah, namun tanpa keluh kesah
Kulari dan kuberlari pantang menyerah.
Di tiap hari… slalu begini… berulang kali… peristiwa yang kualami tiap hari tiap pagi
Hai Monas kini tlah ramai lagi… semua menari…
menikmati segarnya udara di pagi hari ini
 

Potongan lagu Hai Monas milik grup musik Naif di atas sedikit banyak menggambarkan perjalanan kami ke Monas hari itu. Bersama JJ Rizal dari Komunitas Bambu dan Ardi Yunanto dari KARBON Journal, saya bertamasya ke objek wisata yang konon paling banyak dikunjungi di Jakarta. Siang itu, kami berlagak turis di kota sendiri. Sayang, minus penganan di atas tikar yang digelar.

Untungnya udara cukup bersahabat. Meski peluh tetap bercucuran, kami tak sampai memerah terpanggang karena cuaca cenderung mendung. Taksi yang kami tumpangi berhenti di pintu Timur, alhasil, kami masuk melalui pintu yang berada persis di sebelah gerbang masuk Stasiun Gambir. Tak biasa memang, karena akses masuk yang banyak digunakan pengunjung adalah yang terletak di sebelah selatan, atau di seberang Gedung Balaikota DKI. Itu pun sebenarnya juga bukan pintu masuk resmi, melainkan lahan parkir dengan pagar pekarangan yang sudah terbongkar. Mengingat jarak dari “pintu masuk” ini ke Tugu Monas lumayan jauh, pengelola menyediakan kereta wisata tiga gerbong yang dapat mengangkut 33 orang pengunjung sekaligus. Namun karena tadi turun di pintu yang lain, berjalan kaki adalah satu-satunya opsi yang kami punya. Tak mengapa, toh dengan begitu kami dapat melihat sekawanan rusa tutul yang dipelihara di taman bagian timur ini. Berhubung dipagari, kami hanya dapat melihat mereka dari kejauhan. Jika beruntung, mereka akan berjalan mendekati pagar pembatas, dan Anda dapat menyentuhnya.

Sudah bukan rahasia umum kalau monumen yang dibangun pada 1959 dan baru diresmikan dua tahun setelahnya ini sering dilambangkan sebagai “lingga dan yoni” atau “penis dan vagina” karena bentuknya yang menyerupai lumpang dan cawan. Namun tak banyak yang tahu kalau Monas juga merupakan simbolisasi hari kemerdekaan RI, “17-8-45”. Pelataran cawan terletak di ketinggian 17 meter dari tanah dan berukuran 45 meter x 45 meter. Sedangkan angka “8” (meter) diwakili oleh tinggi ruang Museum Sejarah atau yang kerap disebut ruang diorama, dari lantai hingga langit-langit.

“Bagi Soekarno, membangun Monas bukan hanya berarti membangun sebuah monumen. Lebih dari itu, ia bermaksud untuk membangun spirit bangsa Indonesia,” ujarRizal di tengah-tengah perjalanan kami menuju tugu. “Ia ingin rakyatnya bisa berdiri dengan kepala tegak.”

Sesampainya di tengah tugu, kami langsung menuruni tangga menuju lorong masuk berlapis marmer. Sepanjang tangga itu banyak pedagang suvenir khas Monas. Mulai dari gantungan kunci hingga miniatur monumen. Karcis masuk seharga 2.500 rupiah saja per orang. Ternyata jalan naik melalui tangga mengantarkan kami kembali ke tempat awal kami masuk. Bedanya, kini kami berada di seberang. Ya, tugu Monas memang kini dipagari sehingga setiap pengunjung yang akan masuk ke tugu harus melewati lorong bawah tanah. “Pagar membuat jarak. Tapi sebagai ruang publik, Monas sudah cukup memuaskan pengunjungnya,” ujar Ardi tanpa menghentikan langkahnya, “Alasan mereka (pengurus Monas -red) memberi pagar, sepertinya hanya untuk memudahkan pengaturan masuk saja, termasuk adanya loket-loket terpisah.”

Tujuan pertama adalah puncak tugu. Ternyata, untuk naik ke atas, setiap pengunjung harus membayar tiket sebesar 7.500 rupiah. Begitu tiket didapat, segera kami masuk dalam antrian bersama pengunjung yang lain. Saya pikir, untuk mencapai ketinggian lebih dari 100 meter di atas tanah, kami akan tiba di lantai berjumlah belasan. Ternyata saya salah, elevator tugu menunjukkan angka “3” ketika kami sampai di puncak tugu.

Angin berhembus cukup kencang. Untuk ukuran hari kerja, yang datang hari itu cukup banyak. Pengunjungnya beragam, mulai dari anak-anak, remaja, hingga para orang tua yang terlihat berada di dalam sebuah rombongan.

“Monas bagai Ka’bah bagi banyak orang. Mereka berbondong- bondong datang kemari untuk melakukan ‘tawaf’,” ujar JJ Rizal, yang spontan membuat kami tersenyum. Tawaf atau mengelilingi ka’bah adalah salah satu ritual dalam ibadah haji. Pernyataan Rizal ada benarnya, karena hampir dipastikan, setiap orang yang datang ke Monas pasti pernah berjalan mengelilingi tugu.

Saya iseng bertanya kepada seorang bapak yang terlihat bersama rombongan keluarganya. Ilyas, nama bapak itu, beserta keluarganya datang jauh-jauh dari Pontianak untuk berlibur, dan Monas menjadi tujuan utamanya. “Kami sudah beberapa kali ke mari dan tidak pernah bosan. Di antara tempat rekreasi lain di Jakarta seperti Ancol, Taman Mini, dan lain-lain, saya lebih suka Monas. Bentuknya yang menjulang tinggi menciptakan kesan megah,” ujar Ilyas tentang kunjungannya ke Monas. Mendengar jawaban Ilyas, Rizal terlihat senyum-senyum sendiri. “Monas di mata masyarakat sekarang, tepat seperti tujuan Soekarno saat membangun Monas, agar masyarakat bisa berdiri dengan kepala tegak,” ujarnya.

Di puncak tugu, terdapat empat teropong yang bisa digunakan untuk melihat landscape Jakarta. Satu teropong untuk satu sisi. Anda hanya perlu membayar 2.500 rupiah untuk ditukarkan dengan uang logam untuk mengaktifkan teropong. Setelah puas melihat-lihat, kami beranjak turun. Elevator hanya cukup menampung 11 orang termasuk seorang petugas. Sesampainya di bawah, kami berbelok ke kiri menuju Ruang Kemerdekaan. Di ruangan berbentuk amphiteater empat sisi inilah terdapat rekaman suara saat Soekarno membacakan teks proklamasi. Terdapat dinding berbentuk kubus yang tiap sisinya terdapat simbol-simbol kenegaraan; teks proklamasi, burung Garuda, peta Indonesia, dan miniatur gapura untuk memperdengarkan pembacaan teks proklamasi.

Jika selama ini Anda mengira bahwa teks asli proklamasi tersimpan di ruangan ini, bersiaplah kecewa. Ketika miniatur gapura terbuka dan suara Soekarno membahana, teks proklamasi yang terpajang di dalamnya bukanlah teks asli, melainkan fotokopi dari versi yang sudah diketik. Lagi-lagi, JJ Rizal terlihat menyunggingkan senyum. Kali ini terasa masam. “Ungkapan ‘jas merah’ yang diserukan Soekarno seperti tidak ada harganya,” katanya gemas. “Teks proklamasi versi fotokopi, penulisan tahun di teks proklamasi yang terpatri di dinding juga salah. Di teks yang aslinya, tertulis menggunakan tahun Jepang ‘05’, bukan ‘45’.”

Dengan sedikit rasa kecewa, kami melanjutkan trip kali ini menuju Ruang Museum Sejarah atau yang lebih dikenal dengan ruang diorama. Ruangan berisi 48 diorama sejarah bangsa ini dimulai dari diorama Kehidupan Masyarakat Indonesia Purba (3000-2000SM) hingga diorama Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat (1969). Rizal pernah menulis sebuah esai kritik di Karbonjournal.org tentang diorama-diorama ini. (Tulisannya yang berjudul Merombak warisan, menyetir sejarah: Penyelewengan diorama Museum Sejarah MonumenNasional bisa Anda baca di bit.ly/JJ-Rizal)

Selain jajaran diorama, ada yang baru di ruangan ini. Bentuknya mentereng sendiri dengan warna merah mencolok: Infobox Transportasi Makro Jakarta. Di dalamnya terdapat maket skema transportasi Jakarta, termasuk kawasan intermoda Dukuh Atas – Sudirman, dan juga rencana pembangunan monorail di Jakarta yang terlihat mengambil contoh-contoh monorail yang ada di Malaysia. Untuk yang satu ini, sepertinya giliran kita yang ‘mencontek’ mereka. “Keberadaan infobox ini aneh. Kalau mau lebih informatif, kenapa tidak taruh di depan dekat loket saja?” tanya Ardi tak habis pikir dengan benda yang menurutnya seperti alien. Canggih sekaligus asing di antara diorama yang terkesan usang dan remang-remang. Kebingungannya beralasan. Saya jadi bertanya-tanya apakah peletakan infobox di ruang museum atas dasar asumsi bahwa pengunjung paling banyak adalah di area ini? Tapi bagaimana dengan kenyataan bahwa tak semua pengunjung bukan masyarakat Jakarta? “Keberadaan pagar pembatas dan infobox adalah sebuah keangkuhan,” cetus Rizal menimpali.

Tujuan terakhir adalah tembok relief yang terletak di bagian luar. Tembok putih bersudut siku ini terpahat banyak relief, di antaranya Barong Bali, polisi, pramuka, beragam fauna Indonesia, Gelora Bung Karno, atlet bulutangkis, tari- tarian tradisional, pemusik angklung, Gatot Kaca, Gajah Mada, dan lain-lain. Begitu banyak hal yang dimasukkan dalam tembok relief ini, kira-kira apa ya maksudnya? Setengah berkelakar, Rizal menjawab singkat, “Semua harus mengabdi pada pembangunan.” disambung Ardi yang hanya bisa ngedumel, “Absurd! Relief ini absurd!” Saya dan Rizal pun tertawa lepas.

Trip Monas kami berakhir sampai di sini. Sepanjang perjalanan menuju lapangan rumput yang ada di sekeliling, Rizal dan Ardi yang kala itu bertugas sebagai tour guide masih melanjutkan cerita soal keberadaan Monas bagi masyarakat. Kata Rizal, Soekarno tidak pernah memenangkan kaum menengah. Oleh karena itu Jakarta mungkin terasa menyusahkan bagi mereka, tapi tidak begitu dengan rakyat kecil. “Khusus untuk Monas”, sambungnya, “ia masih menjadi daya tarik bagi sebagian besar masyarakat, tapi bukan mereka yang berkata Monas tidak penting.”

Saya sempat tertegun mendengar pernyataannya. Benarkah Jakarta dan Monas-nya memang dipersembahkan untuk rakyat kecil? Benarkah kemewahan dan keagungan yang tercipta dari monumen yang menjulang ini hanya bisa dinikmati mereka yang bukan kalangan menengah ke atas yang sudah terbiasa hidup mewah? Saya teringat satu bait kalimat yang pernah ditunjukkan Ardi, yang ia kutip dari salah satu buku Ali Sadikin, yang menurutnya, gubernur terbaik yang pernah dimiliki Jakarta:

“Saya bangun Lapangan Monas, saya bangun Ancol. Saya sengaja melarang orang yang lagi pacaran diganggu. Awas lu ya, kalau menganggu. Kalau melacur tidak boleh. Tetapi kalau pacaran, lho itu kan anugerah Allah. Sudah pernah pacaran? Kan senang, bahagia… Makanya tidak boleh diganggu. Sebab apa? Di kampung tidak bisa pacaran. … Halaman tidak ada, yang ada gang satu meter. Orang sedang bercinta-cintaan ketahuan. Ini saya hayati. Berikan tempat untuk berhibur. Nah, orang tidak mengerti bagaimana sengsaranya hidup rakyat jelata. Dus, pikiran kita harus sampai ke sana.”

*****

Foto-foto lainnya:


Foto: Insan Obi
Publikasi: Esquire Indonesia edisi November 2010.
 
..
 
*Catatan penulis
Artikel ini telah mengalami penyuntingan kembali sesaat sebelum diunggah di blog ini. Foto-foto yang ada di blog ini sedikit berbeda dengan versi yang dimuat di majalah.

Karena Kota adalah Kanvasmu

Mural Sedia Tisu Sebelum Nafsu oleh Bonds.

Ada yang sedikit berbeda ketika saya melewati Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, di akhir Desember 2010. Di salah satu tiang monorel terdapat gambar menu “klik kanan” pada tetikus (mouse) komputer. Kursor tetikus terlihat aktif menunjuk menu“Delete“. Yang ada di pikiran saya saat itu adalah cibiran, “Yah,andaikan segampang mengklik kanan untuk menghilangkan tiang-tiang yang nggak berguna ini.”

Belakangan saya baru tahu bahwa gambar tersebut merupakan bagian dari seri karya berjudul Klik Kanan yang dibuat oleh salah satu peserta Lokakarya Street Art Jakarta 32°C, yang tergabung dalam kelompok Laskar Artup. Jakarta 32°C sendiri adalah agenda rutin dua tahunan yang diadakan oleh ruangrupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta. Acara ini mewadahi para mahasiswa Jakarta dalam memamerkan karya-karya visual. Meski sudah diadakan sejak 2004, namun baru pada 2010 Jakarta 32°C mengadakan lokakarya street art yang kali ini dibimbing langsung oleh seniman street art Bujangan Urban dari Artcoholic dan Popo dari Kampung Segart.

Lokakarya yang diadakan pada Oktober – November 2010 silam ini mengangkat tema Bongkar Jakarta. Dokumentasi dan artefak lokakarya turut dipresentasikan dalam sesi pameran Jakarta 32°C di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, pada 28 Desember – 12 Januari 2010. Dengan tema tersebut, setiap peserta diharapkan mampu membuat karya-karya yang dapat merespon beragam fenomena dan persepsi yang berkembang di Jakarta, mulai dari mobilitas penduduk, identitas, stereotipe dan ingatan kolektif masyarakat kota, hingga ruang dan peristiwa massa.

Dengan berbagai pertimbangan, peserta lokakarya dibatasi hanya bagi mereka yang memiliki portofolio yang cukup, sebab persoalan teknis tak lagi dibahas secara terperinci. Mengingat tema lokakarya cukup kompleks, wajar bila panitia lebih mengutamakan peserta dengan jam terbang yang cukup, berpengalaman membuat karya-karya street art, serta tahu bagaimana cara meracik isu menjadi sebuah karya yang sarat pesan. Ada tujuh peserta yang terpilih, dua di antaranya kelompok, sisanya individu, dan mereka adalah kelompok Sevensoul, kelompok Laskar Artup, Abi Rama, Sidvizeus, Angganoa, Ashtwo, dan Bonds.

Dalam membuat karya, tiap peserta menggunakan teknik yang berbeda. Abi Rama, Ashtwo, Bonds, dan kelompok Sevensoul memakai cat tembok yang dikombinasikan dengan cat semprot dan spidol. Sementara kelompok Laskar Artup dan Sidvizeus menuangkan ide dan gagasan mereka ke dalam bentuk wheat paste, yaitu gambar di atas kertas yang ditempel dengan menggunakan perekat dari tepung kanji (tapioka/aci) yang dididihkan. Wheat paste juga dikenal dengan nama Marxist glue, sebab di masa lampau kerap digunakan oleh organisasi beraliran kiri. Kini cara itu diadopsi untuk berbagai aksi seni rupa, termasuk dalam membuat karya street art, meskipun karyanya tak selalu bermuatan politis. Rudi, salah seorang anggota kelompok Laskar Artup, mengaku pada awalnya mereka berniat membuat karya Klik Kanan dalam bentuk mural atau stensil, namun mengingat jumlah karya dan titik lokasi penyebaran yang cukup banyak, akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan wheat paste. Selain praktis, lebih hemat waktu dan uang.

Isu-isu yang diangkat oleh kelompok Laskar Artup dalamKlik Kanan cukup beragam, meskipun secara tampilan, karya mereka cukup sederhana, yakni hanya berupa menu “klik kanan” pada tetikus tanpa ada teks tambahan. Empat “anjuran” yang mereka muat dalam karya ini antara lainDelete, Refresh, dan Send to. Dalam Delete, mereka “menganjurkan” agar benda-benda yang terpilih segera dibongkar. Pada Refresh, mereka berharap adanya pembaruan pada benda-benda yang kondisinya sudah tak layak. Sementara pada Send to, kelompok ini menganggap bahwa beberapa benda sebaiknya dipindahkan ke daerah lain karena dirasa sudah tak layak lagi untuk ditempatkan di Jakarta.

Contoh pertama adalah karya Delete pada tiang monorel di Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, yang pertama kali saya lihat itu (Gambar 1). Karya sederhana ini merespon keberadaan tiang-tiang monorel di sepanjang jalan yang masih tegak berdiri, meski proyeknya sendiri telah bertahun-tahun mandek karena persoalan dana. Kini, tujuh tahun sudah sejak pemancangan tiang pertamanya pada 2004, tiang-tiang tersebut masih berdiri di sepanjang Jalan Asia-Afrika hingga Jalan Gelora. Selain sia-sia dan tidak sedap dipandang, kehadirannya membuat arus lalu lintas di Jalan Gelora, tepat di belakang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menjadi tersendat. Lebar jalan yang tak seberapa semakin terkikis dengan adanya tiang-tiang yang mejeng di badan jalan. Ya, tidak semua tiang monorel berada di pembatas jalan seperti yang ada di situ. Persoalan-persoalan inilah yang membuat kita pada akhirnya berharap dapat menghilangkan tiang-tiang tersebut semudah “mengklik kanan”.

Selain monorel, Laskar Artup juga menyentil bajaj. Dengan memberi tanda Send to, secara tidak langsung kelompok ini mengatakan bahwa sudah saatnya bajaj dipindahkan ke daerah lain, karena sudah tidak sesuai dengan kondisi Jakarta saat ini. Tak hanya isu transportasi, Laskar Artup juga merespon benda-benda seperti kotak pengaduan masyarakat milik Polsek Metro Kebayoran Baru, gerobak nasi goreng, tempat sampah, serta dinding terowongan, yang seluruhnya ditempeli wheat paste Refresh. Kondisi benda-benda tersebut memang sudah tidak prima, sehingga mesti segera diperbarui. Di lokasi lain, tepatnya di Jalan Blora, ada baliho yang ditempeli karya Delete karena penempatannya yang terlalu rendah mengganggu pejalan kaki. Belasan benda yang direspon Laskar Artup tersebar di sembilan lokasi. Seluruhnya memiliki “anjuran” yang berbeda, sesuai dengan menu klik kanan pada tetikus.

Gejolak kawula muda
Pada topik gaya hidup dan anak muda, Bonds berhasil menarik perhatian dengan mural berukuran 8 x 3 meter. Mural itu bergambar seorang perempuan berambut panjang dan hanya mengenakan bra (Gambar 2). Di sampingnya ada teks “Sedia Tisu Sebelum Nafsu”. Gambar perempuan seksi dan teks tersebut diapit gambar mawar merah dalam sebuah bingkai lengkung. Jelas terlihat bawah mural ini terinspirasi oleh stiker kota, jenis stiker teks klasik. Ciri-cirinya sudah jelas: kulit berwarna kuning, benda-benda di sekitarnya memakai warna-warna terang, berbingkai, dan ada tambahan unsur dekoratif. Terlebih lagi, karakter gambarnya identik dengan gambar-gambar orang pada komik roman 1970-an.[1] Dengan gaya nakal dan jenaka, Bonds menyentil keseharian masyarakat hingga ke level yang paling intim. Saat dihubungi melalui surel (surat elektronik), Bonds mengatakan bahwa ia ingin merespon kehidupan seks yang kerap dilakukan anak kost tanpa berniat menghakimi.

Mural ini berada di dinding jembatan layang Grogol, yang terletak di depan Univesitas Trisakti dan Universitas Tarumanagara; sesuai dengan target utama yang ia sasar, yakni para penghuni kost yang sebagian besar berstatus mahasiswa di sekitar kampus itu. Selain mural, ia juga membuat stiker yang awalnya akan ditempelkan di beberapa rumah kost yang ada di sekitar lokasi tersebut, namun batal karena tidak mendapat izin dari pemilik kost. Akhirnya stiker tersebut ia bagikan saat pembukaan pameran di Galeri Nasional Indonesia.

Dalam mural Sedia Tisu Sebelum Nafsu ini, Bonds sukses meracik humor sebagai bumbu utama karya. Mural buatannya mampu membawa orang-orang yang melihat, beranjak dari keadaan telis (tellic state­—keadaan penuh tekanan) ke keadaan paratelis (paratelic state—keadaan lepas dari tekanan).[2] Seks pranikah merupakan isu sensitif di negara ini. Dengan mural ini, isu seks yang sejak lama dianggap sensitif—dan nyaris tabu—untuk dibicarakan, menjadi sebuah topik yang jenaka.

Bonds cukup berhati-hati dalam karya ini. Ia menghindari teks yang terlalu vulgar, namun tetap terbaca nakal dan menggoda. Ia juga lebih memilih pelesetan peribahasa (Sedia payung sebelum hujan) dibandingkan kalimat larangan apalagi ancaman. Dari awal ia tegas mengatakan bahwa ia dan mural ini tidak hadir untuk menghakimi, dan sepenuhnya sadar bahwa seks merupakan hak masing-masing individu.

Masih di topik gaya hidup, peserta lain, Angganoa, menampilkan mural bergambar ikon situs microbloggingTwitter. Bedanya, burung biru dalam mural ini digambarkan sedang pusing dan bermoncong babi. Keenam mural buatannya tersebar di lima lokasi, yakni Cilandak, Kemang, Panglima Polim, Fatmawati dan Lebak Bulus. Dua di antaranya menampilkan burung biru yang sedang “keder” tersebut dalam posisi terbalik, contohnya seperti yang terlihat di wilayah Kemang (Gambar 3).

Tak banyak pesan yang dapat kita tangkap dari mural berjudul Keder, yang arti sebenarnya justru “takut”, “gentar”, atau “gemetar”. Ketika melihat burung-burung tersebut sedang “pusing”, saya langsung berpikir bahwa mural tersebut ingin mengatakan kalau “Twitter bisa bikin pusing”. Dengan jutaan informasi yang tersebar setiap detiknya di Twitter, tak heran memang jika orang sering lupa untuk mengecek kebenaran informasi tersebut, dan telanjur asik berlomba menjadi yang pertama menyebarkan informasi kepada yang lain.

Sudah begitu banyak contoh kerancuan yang dapat terjadi di Twitter yang mungkin bisa disampaikan Angganoa lewatKeder. Sayangnya, mural-mural tersebut kurang “berbicara” dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Idiom “gambar berbicara sejuta kata” tampaknya tidak terlalu mengena bagi mural ini. Ketika melihatnya, kita hanya akan mendapat potongan-potongan pesan saja. Butuh waktu lebih untuk mendapatkan pesan yang utuh. Tambahan teks, misalnya “Twitter bikin keder“, mungkin dapat membuat mural ini berbunyi lebih nyaring.

Hidup segan, mati ya sudahlah
Peserta selanjutnya, Abi Rama, memilih telepon umum sebagai objek utama dalam mural berjudul Seleksi Alam.Kedua karyanya terdapat di dua lokasi, pertama di tiang monorel di daerah Senayan, dan yang kedua di bawah jembatan layang daerah Tanjung Barat, Jakarta Selatan (Gambar 4).

Mengapa Abi memilih telepon umum sebagai objek utama? Suburnya industri telekomunikasi di Indonesia, secara perlahan mematikan telepon umum dan sarana komunikasi yang lebih dulu ada, Sebagai salah satu pengguna, Abi Rama menghadirkan kembali telepon umum tersebut melalui muralnya. Saat ponsel masih menjadi barang mewah, dan biaya menelepon di wartel juga kurang terjangkau, telepon umum pernah hadir sebagai penyelamat. Di era ponsel sudah menjadi kebutuhan primer seperti saat ini, rasanya sulit mengembalikan peran telepon umum seperti dulu lagi. Wajar jika kemudian masyarakat merasa tidak membutuhkan telepon umum lagi. Hal ini menambah ketidakpedulian pemerintah untuk menjaga keberadaan telepon umum.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apakah benar telepon umum sudah menjadi barang yang pantas dimuseumkan? Jika ya, berarti secara tidak langsung Pemprov DKI Jakarta mengatakan bahwa tidak ada lagi yang membutuhkan telepon umum di Jakarta. Rasanya terlalu naif kalau menganggap semua orang mampu berkomunikasi melalui telepon selular, atau setidaknya memiliki telepon rumah. Telepon umum merupakan sarana publik standar yang harus ada. Dengan meniadakan sarana tersebut, berarti pemerintah menghilangkan hak berkomunikasi masyarakat, terutama golongan yang tidak mampu. Selain itu, telepon umum juga berfungsi sebagai sarana darurat. Setiap unit telepon umum dapat menghubungi nomor-nomor darurat dengan gratis, misalnya jika terjadi kebakaran. Akan sangat membantu jika masyarakat sekitar dapat langsung menghubungi pemadam kebakaran melalui telepon umum terdekat. Namun rupanya alam berkehendak lain. Di Jakarta, telepon umum dianggap sudah tidak berfungsi lagi bagi masyarakat. Kita telanjur sibuk terbuai promosi penyedia layanan ponsel dengan tarif super murah. Mungkin Abi Rama benar, alam Jakarta sedang “menyeleksi” ulang para penghuni yang mendiaminya, termasuk benda-benda di dalamnya.

Persoalan suka tidak suka
Lain Abi, lain pula Ashtwo yang mempertanyaan kecintaan warga terhadap kotanya. Lewat mural berukuran 25 x 3,5 meter, ia menuliskan sebaris kalimat “Aku ♥ Jakarta?” (Gambar 5), yang mirip dengan teks “I ♥ NY” yang ikonik itu. Tetapi Ashtwo menambahkan tanda tanya di akhir kalimat. Bukan tanpa sebab, ia memang ingin mengajak warga untuk bertanya kepada diri sendiri tentang rasa cinta terhadap Jakarta.

Lokasi yang dipilih adalah dinding pembatas jalan di depan Gedung Antam, Tanjung Barat. Dugaan saya, lokasi itu dipilih karena dianggap strategis. Setiap hari ruas jalan tersebut selalu ramai dilintasi kendaraan. Syukur-syukur jika arus lalu-lintas sedang tersendat, para pengendara dapat memperhatikan mural tersebut lebih lama. Namun ternyata, Ashtwo memilih lokasi tersebut karena di sanalah ia mulai giat membuat graffiti pada 2003 silam.

Mural Aku ♥ Jakarta? yang terasa “sepi” ini sebenarnya dapat lebih berbicara banyak jika ditempatkan di lokasi-lokasi kontras. Dengan begitu, pikiran orang-orang yang melihat akan langsung tergiring pada persoalan konkret yang ada di depan mata mereka. Misalnya saja jika mural Aku ♥ Jakarta? terdapat di tembok yang dekat tempat penuh sampah berserakan dengan bau menyengat, maka kehadiran mural ini bisa langsung menarik perhatian. Selain karena mural yang berukuran besar, tercipta suatu kontras antara tulisan pada mural dan suasana sekitar. Efek psikologis yang ditimbulkan akan lebih terasa dibandingkan dengan mural yang ada sekarang: Apakah kita sungguh-sungguh mencintai Jakarta?

Beralih ke peserta lain, ada kelompok Sevensoul yang membuat mural berupa emoticons atau ikon-ikon ekspresi yang kerap digunakan saat chatting. Karya ini diberi judulSimple Image Strikingly. Ikon yang ditampilkan cukup beragam; ada ekspresi senang, sedih, dan geram, dan marah. Ekspresi senang yang ditampilkan dalam warna kuning terlihat di unit-unit telepon umum di daerah Panglima Polim, Jakarta Selatan (Gambar 6). Di saat Abi Rama mengkritik soal kepunahan telepon umum dengan membuatnya kembali dalam bentuk mural, Sevensoul mencoba memberi tahu masyarakat sekitar bahwa telepon umum yang digambarinya dengan emoticons senang tersebut masih berfungsi. Namun ternyata hanya yang berlokasi di Panglima Polim saja yang diberi tanda oleh mereka. Fungsi ikon tersebut sebenarnya bisa semakin terlihat jika ada pembanding berupa ikon muram di unit-unit telepon umum yang rusak. Atau alternatif lain, menambahkan jumlah ikon senang di unit-unit yang masih berfungsi.

Selain ekspresi senang, ada pula ikon marah dan geram yang terlihat di dua tiang monorel berbeda. Tiang yang terletak di Jalan Asia-Afrika diberi ikon geram berwarna hijau. Sama dengan Klik Kanan milik kelompok Laskar Artup, ikon ini merupakan ekspresi ketidaksukaan terhadap tiang-tiang bekas rencana monorel. Sedangkan ikon marah berwarna merah yang terdapat di tiang yang ada di jalan Gelora, belakang Gedung DPR, bisa diartikan sebagai tiga hal: tidak suka dengan tiang-tiang monorel, kesal dengan kemacetan di ruas jalan tersebut, dan kecewa dengan para anggota DPR yang dianggap gagal menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Dari enam mural Sevensoul, hampir semua maknanya sulit dimengerti. Saya beruntung dapat berkomunikasi langsung dengan senimannya, sehingga tahu pesan yang ingin ia sampaikan. Jujur saja, menurut saya karya-karya ini hampir tak ada bedanya dengan coretan “Jono was here” yang sering ada di halte-halte, yang hanya menandakan keberadaan senimannya melalui coretan. Pemilihan objek berupa emoticons justru memiuhkan pesan kuat yang ingin mereka sampaikan.

Rangkaian mural yang tidak “berbunyi” ini menjadi semakin membingungkan ketika di satu lokasi ada dua ikon berbeda. Seperti yang ada di Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, kelompok Sevensoul menggambar ikon senang di kotak Telkom sebelah kiri, lalu ikon sedih di kotak sebelah kanan, sekalipun kedua kotak itu berkondisi baik-baik saja. Masih di ruas jalan yang sama, namun kali ini yang dipilih adalah halte bus Pasar Pedok, Jakarta Selatan, mereka menggambar ikon senang di tempat duduk sebelah kiri halte, dan ikon sedih di sebelah kanan. Kedua contoh ini membuat Sevensoul terlihat seperti sedang asik berbicara sendiri tanpa ada niat untuk berinteraksi dengan masyarakat.

Ungkapan perasaan yang lebih tegas ditunjukkan oleh Sidvizeus (Zeus). Ia membuat gambar rantai lengkap dengan gemboknya dengan menggunakan teknik wheat paste. Jika peserta lain kebanyakan memilih tembok-tembok kota, Zeus menjatuhkan pilihannya pada papan-papan reklame yang ada di daerah Fatmawati, Kebayoran Baru, dan Blok M. Entah memang ada maksud tertentu atau kebetulan semata, tiga dari lima papan reklame pilihannya menampilkan iklan pembersih (pakaian dan porselen), sedangkan sisanya iklan mie instan dan operator ponsel. Salah satu contohnya adalah papan reklame deterjen yang terletak di Jalan Sawo, Jakarta Selatan. Zeus menempatkan rantainya secara menyilang di tengah, menutupi hampir seluruh tubuh sang bintang iklan. Contoh lain adalah papan reklame operator ponsel yang terletak di bawah jembatan layang Kuningan. Memanfaatkan objek mobil di reklame ini, Zeus memposisikan rantainya terpasang di bumper belakang, sehingga seolah-olah mobil tidak bisa melaju (Gambar 7). Gambar rantai yang berukuran besar langsung menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Bahkan, karya Zeus hanya bertahan selama beberapa hari saja, sebelum akhirnya dicopot oleh yang merasa terganggu dengan rantai-rantainya tersebut.

Sesuai judul karya wheat paste buatannya, Egoismu Tungganganku, mungkin ini adalah bentuk protes Zeus—yang mewakili teman-teman seniman street art lain—akan papan reklame yang terlalu banyak jumlahnya di Jakarta. Selain secara tidak langsung “rebutan lahan” dengan pemasang iklan karena sama-sama menggunakan ruang publik, Zeus juga ingin mempertanyakan keberadaan reklame tersebut. Jika sejak dulu street art dianggap merusak pemandangan, kini ia ingin menunjukkan bahwa reklame justru lebih mengganggu ruang publik di Jakarta. Akhirnya yang bisa ia lakukan adalah balik mengganggu papan-papan reklame tersebut dengan karya yang jahil dan memberontak.

Masih berhubungan soal iklan dan street art, saya sempat iseng bertanya, manakah yang lebih tidak disukai; papan reklame atau street art. Jawaban yang datang beragam, meskipun rata-rata menjawab “papan reklame”. Alasannya,street art lebih menarik dan menghibur, serta tidak melulu soal “jualan”. Menariknya, salah seorang editor jurnalKarbon, Farid Rakun, ikut menjawab. Ia bilang, yang paling mengganggu adalah street art yang dibuat hanya untuk menjadi “iklan” bagi senimannya sendiri. Saya asumsikan yang ia maksud salah satunya adalah grafiti nama sang seniman atau kelompok street art tanpa ada pesan atau konteks sosial. Namun kini kondisinya lebih rumit, sebab sudah banyak produsen yang beriklan dalam bentuk mural. Sehingga bukan tidak mungkin jika iklan dan karya seni di kemudian hari menjadi tak ada bedanya ketika berada di ruang publik.

Jakarta: Pesan terkirim
Usai memperhatikan satu persatu karya setiap peserta, saya semakin sadar bahwa Jakarta memiliki banyak persoalan yang mesti dibereskan. Sebegitu pelik dan kentaranya, sehingga lima dari tujuh peserta mengangkat isu sosial-politik yang ada di kota ini, sedangkan sisanya lebih memilih untuk mengulas gaya hidup. Masalah yang dianggap paling “mengganggu” adalah soal fasilitas umum. Topik transportasi menjadi yang paling sering dibicarakan dalam karya-karya mereka. Beberapa objek seperti monorel, halte bus, dan kemacetan, muncul lebih dari sekali, yakni dalam karya kelompok Laskar Artup dan Sevensoul.

Sistem transportasi Jakarta yang semrawut memang kerap dikeluhkan masyarakat. Monorel, salah satu moda transportasi yang dulu menjadi tumpuan harapan masyarakat Jakarta akan transportasi yang nyaman, kini hanya berupa tiang-tiang yang terbengkalai. Meskipun kabarnya proyek monorel akan dilanjutkan, masyarakat tampaknya sudah tak berharap banyak.

Di topik lain, yakni kemacetan, kondisinya tidak jauh berbeda. Kemacetan sudah sejak lama menjadi masalah yang harus dihadapi oleh sebagian besar masyarakat Jakarta. Ruas jalan yang ada tidak sebanding dengan jumlah kendaraan bermotor. Angka pertumbuhan kendaraan bermotor sekitar 10 persen per tahun, sehingga setiap harinya Jakarta “kebanjiran” sekitar 250 mobil baru dan 900 sepeda motor baru. Menyiasati hal ini, Pemprov DKI Jakarta yang tak punya banyak pilihan, terpaksa menambah ruas jalan dengan “mengangkat” jalan ke atas. Misalnya yang terlihat pada pembangunan proyek jalan layang non tol (fly over) Antasari – Blok M yang dimulai sejak November lalu. Proyek ini pun bukan tanpa cacat. Banyak pihak yang menyayangkan penebangan ratusan pohon demi terlaksananya proyek ini. Salah satu mentor lokakarya, Popo, sempat “protes” lewat kalimat “Demi fly over, pohon game over” yang ia tuliskan di dinding sepanjang jalan Antasari, Jakarta Selatan, dengan menggunakan cat semprot. Belum lagi ditambah kemacetan yang timbul akibat pengerjaan jalan layang ini. Ironis, mengingat tujuan proyek ini sendiri adalah untuk mengurangi kemacetan.

Masih di topik fasilitas umum, objek lain yang menjadi perhatian peserta adalah telepon umum dan papan reklame. Abi Rama dan kelompok Sevensoul ingin mengingatkan kita bahwa telepon umum adalah sarana publik yang harus tetap ada karena masih dibutuhkan masyarakat, terutama oleh rakyat kecil. Sedangkan kelompok Laskar Artup dan Zeus mempersoalkan papan reklame yang kehadirannya dianggap mengganggu. Selain karena jumlahnya yang terlalu banyak sehingga menimbulkan polusi visual, namun juga karena penempatannya terkadang tidak tepat, semisal terlalu rendah sehingga menghalangi dan membahayakan pejalan kaki.

Munculnya fasilitas umum menjadi topik utama dalam karya para peserta lokakarya street art Jakarta 32°Cbisa diartikan sebagai kritik kepada Pemprov selaku pelayan publik Jakarta, yang dirasa kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat. Selama ini kritik dan saran yang ditujukan kepada pemerintah kebanyakan disampaikan dengan cara-cara konvensional. Mungkin dengan lokakaryastreet art Jakarta 32°C ini, kita memiliki cara baru dalam menyampaikan aspirasi. Jika mengusung pesan yang berisi melalui eksekusi yang baik, citra buruk street art yang lekat dengan vandalisme secara perlahan bisa hilang. Sebagai gantinya, street art akan dianggap sebagai medium aspirasi alternatif, yang tak hanya enak dilihat, namun juga berbunyi nyaring.

Menggunakan sudut-sudut kota sebagai kanvas, ketujuh peserta lokakarya ramai-ramai berkirim pesan tentang Jakarta. Memang tidak semua pesan dapat dengan mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat, namun setidaknya, inilah usaha mereka untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang lebih nyaman dihuni.***

Jakarta, Maret 2011

***

Catatan kaki
[1] Ugeng T. Moetidjo, Ardi Yunanto, Ade Darmawan, Mirwan Andan, Stiker Kota (Jakarta: ruangrupa, 2008).
[2] Dan Sperber & Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (United Kingdom: Blackwell, 1995).


Gambar 1. Klik Kanan oleh Laskar Artup.

 


Gambar 2. Sedia Tisu Sebelum Nafsu oleh Bonds.

 


Gambar 3. Keder oleh Angganoa.

 


Gambar 4. Seleksi Alam oleh Abi Rama.

 


Gambar 5. Aku ♥ Jakarta? oleh Ashtwo.

 


Gambar 6. Simple Image Strikingly oleh Sevensoul.

 


Gambar 7. Egoismu Tungganganku oleh Sidvizeus.

Foto-foto koleksi Jakarta 32°C.

.

*Tulisan ini dimuat pertama kali di Karbon Journal.