Monas Menjulang, Monas Menantang
Kearifan lokal di balik monumen keagungan
Potongan lagu Hai Monas milik grup musik Naif di atas sedikit banyak menggambarkan perjalanan kami ke Monas hari itu. Bersama JJ Rizal dari Komunitas Bambu dan Ardi Yunanto dari KARBON Journal, saya bertamasya ke objek wisata yang konon paling banyak dikunjungi di Jakarta. Siang itu, kami berlagak turis di kota sendiri. Sayang, minus penganan di atas tikar yang digelar.
Untungnya udara cukup bersahabat. Meski peluh tetap bercucuran, kami tak sampai memerah terpanggang karena cuaca cenderung mendung. Taksi yang kami tumpangi berhenti di pintu Timur, alhasil, kami masuk melalui pintu yang berada persis di sebelah gerbang masuk Stasiun Gambir. Tak biasa memang, karena akses masuk yang banyak digunakan pengunjung adalah yang terletak di sebelah selatan, atau di seberang Gedung Balaikota DKI. Itu pun sebenarnya juga bukan pintu masuk resmi, melainkan lahan parkir dengan pagar pekarangan yang sudah terbongkar. Mengingat jarak dari “pintu masuk” ini ke Tugu Monas lumayan jauh, pengelola menyediakan kereta wisata tiga gerbong yang dapat mengangkut 33 orang pengunjung sekaligus. Namun karena tadi turun di pintu yang lain, berjalan kaki adalah satu-satunya opsi yang kami punya. Tak mengapa, toh dengan begitu kami dapat melihat sekawanan rusa tutul yang dipelihara di taman bagian timur ini. Berhubung dipagari, kami hanya dapat melihat mereka dari kejauhan. Jika beruntung, mereka akan berjalan mendekati pagar pembatas, dan Anda dapat menyentuhnya.
Sudah bukan rahasia umum kalau monumen yang dibangun pada 1959 dan baru diresmikan dua tahun setelahnya ini sering dilambangkan sebagai “lingga dan yoni” atau “penis dan vagina” karena bentuknya yang menyerupai lumpang dan cawan. Namun tak banyak yang tahu kalau Monas juga merupakan simbolisasi hari kemerdekaan RI, “17-8-45”. Pelataran cawan terletak di ketinggian 17 meter dari tanah dan berukuran 45 meter x 45 meter. Sedangkan angka “8” (meter) diwakili oleh tinggi ruang Museum Sejarah atau yang kerap disebut ruang diorama, dari lantai hingga langit-langit.
“Bagi Soekarno, membangun Monas bukan hanya berarti membangun sebuah monumen. Lebih dari itu, ia bermaksud untuk membangun spirit bangsa Indonesia,” ujarRizal di tengah-tengah perjalanan kami menuju tugu. “Ia ingin rakyatnya bisa berdiri dengan kepala tegak.”
Sesampainya di tengah tugu, kami langsung menuruni tangga menuju lorong masuk berlapis marmer. Sepanjang tangga itu banyak pedagang suvenir khas Monas. Mulai dari gantungan kunci hingga miniatur monumen. Karcis masuk seharga 2.500 rupiah saja per orang. Ternyata jalan naik melalui tangga mengantarkan kami kembali ke tempat awal kami masuk. Bedanya, kini kami berada di seberang. Ya, tugu Monas memang kini dipagari sehingga setiap pengunjung yang akan masuk ke tugu harus melewati lorong bawah tanah. “Pagar membuat jarak. Tapi sebagai ruang publik, Monas sudah cukup memuaskan pengunjungnya,” ujar Ardi tanpa menghentikan langkahnya, “Alasan mereka (pengurus Monas -red) memberi pagar, sepertinya hanya untuk memudahkan pengaturan masuk saja, termasuk adanya loket-loket terpisah.”
Tujuan pertama adalah puncak tugu. Ternyata, untuk naik ke atas, setiap pengunjung harus membayar tiket sebesar 7.500 rupiah. Begitu tiket didapat, segera kami masuk dalam antrian bersama pengunjung yang lain. Saya pikir, untuk mencapai ketinggian lebih dari 100 meter di atas tanah, kami akan tiba di lantai berjumlah belasan. Ternyata saya salah, elevator tugu menunjukkan angka “3” ketika kami sampai di puncak tugu.
Angin berhembus cukup kencang. Untuk ukuran hari kerja, yang datang hari itu cukup banyak. Pengunjungnya beragam, mulai dari anak-anak, remaja, hingga para orang tua yang terlihat berada di dalam sebuah rombongan.
“Monas bagai Ka’bah bagi banyak orang. Mereka berbondong- bondong datang kemari untuk melakukan ‘tawaf’,” ujar JJ Rizal, yang spontan membuat kami tersenyum. Tawaf atau mengelilingi ka’bah adalah salah satu ritual dalam ibadah haji. Pernyataan Rizal ada benarnya, karena hampir dipastikan, setiap orang yang datang ke Monas pasti pernah berjalan mengelilingi tugu.
Saya iseng bertanya kepada seorang bapak yang terlihat bersama rombongan keluarganya. Ilyas, nama bapak itu, beserta keluarganya datang jauh-jauh dari Pontianak untuk berlibur, dan Monas menjadi tujuan utamanya. “Kami sudah beberapa kali ke mari dan tidak pernah bosan. Di antara tempat rekreasi lain di Jakarta seperti Ancol, Taman Mini, dan lain-lain, saya lebih suka Monas. Bentuknya yang menjulang tinggi menciptakan kesan megah,” ujar Ilyas tentang kunjungannya ke Monas. Mendengar jawaban Ilyas, Rizal terlihat senyum-senyum sendiri. “Monas di mata masyarakat sekarang, tepat seperti tujuan Soekarno saat membangun Monas, agar masyarakat bisa berdiri dengan kepala tegak,” ujarnya.
Di puncak tugu, terdapat empat teropong yang bisa digunakan untuk melihat landscape Jakarta. Satu teropong untuk satu sisi. Anda hanya perlu membayar 2.500 rupiah untuk ditukarkan dengan uang logam untuk mengaktifkan teropong. Setelah puas melihat-lihat, kami beranjak turun. Elevator hanya cukup menampung 11 orang termasuk seorang petugas. Sesampainya di bawah, kami berbelok ke kiri menuju Ruang Kemerdekaan. Di ruangan berbentuk amphiteater empat sisi inilah terdapat rekaman suara saat Soekarno membacakan teks proklamasi. Terdapat dinding berbentuk kubus yang tiap sisinya terdapat simbol-simbol kenegaraan; teks proklamasi, burung Garuda, peta Indonesia, dan miniatur gapura untuk memperdengarkan pembacaan teks proklamasi.
Jika selama ini Anda mengira bahwa teks asli proklamasi tersimpan di ruangan ini, bersiaplah kecewa. Ketika miniatur gapura terbuka dan suara Soekarno membahana, teks proklamasi yang terpajang di dalamnya bukanlah teks asli, melainkan fotokopi dari versi yang sudah diketik. Lagi-lagi, JJ Rizal terlihat menyunggingkan senyum. Kali ini terasa masam. “Ungkapan ‘jas merah’ yang diserukan Soekarno seperti tidak ada harganya,” katanya gemas. “Teks proklamasi versi fotokopi, penulisan tahun di teks proklamasi yang terpatri di dinding juga salah. Di teks yang aslinya, tertulis menggunakan tahun Jepang ‘05’, bukan ‘45’.”
Dengan sedikit rasa kecewa, kami melanjutkan trip kali ini menuju Ruang Museum Sejarah atau yang lebih dikenal dengan ruang diorama. Ruangan berisi 48 diorama sejarah bangsa ini dimulai dari diorama Kehidupan Masyarakat Indonesia Purba (3000-2000SM) hingga diorama Penentuan Pendapat Rakyat Irian Barat (1969). Rizal pernah menulis sebuah esai kritik di Karbonjournal.org tentang diorama-diorama ini. (Tulisannya yang berjudul Merombak warisan, menyetir sejarah: Penyelewengan diorama Museum Sejarah MonumenNasional bisa Anda baca di bit.ly/JJ-Rizal)
Selain jajaran diorama, ada yang baru di ruangan ini. Bentuknya mentereng sendiri dengan warna merah mencolok: Infobox Transportasi Makro Jakarta. Di dalamnya terdapat maket skema transportasi Jakarta, termasuk kawasan intermoda Dukuh Atas – Sudirman, dan juga rencana pembangunan monorail di Jakarta yang terlihat mengambil contoh-contoh monorail yang ada di Malaysia. Untuk yang satu ini, sepertinya giliran kita yang ‘mencontek’ mereka. “Keberadaan infobox ini aneh. Kalau mau lebih informatif, kenapa tidak taruh di depan dekat loket saja?” tanya Ardi tak habis pikir dengan benda yang menurutnya seperti alien. Canggih sekaligus asing di antara diorama yang terkesan usang dan remang-remang. Kebingungannya beralasan. Saya jadi bertanya-tanya apakah peletakan infobox di ruang museum atas dasar asumsi bahwa pengunjung paling banyak adalah di area ini? Tapi bagaimana dengan kenyataan bahwa tak semua pengunjung bukan masyarakat Jakarta? “Keberadaan pagar pembatas dan infobox adalah sebuah keangkuhan,” cetus Rizal menimpali.
Tujuan terakhir adalah tembok relief yang terletak di bagian luar. Tembok putih bersudut siku ini terpahat banyak relief, di antaranya Barong Bali, polisi, pramuka, beragam fauna Indonesia, Gelora Bung Karno, atlet bulutangkis, tari- tarian tradisional, pemusik angklung, Gatot Kaca, Gajah Mada, dan lain-lain. Begitu banyak hal yang dimasukkan dalam tembok relief ini, kira-kira apa ya maksudnya? Setengah berkelakar, Rizal menjawab singkat, “Semua harus mengabdi pada pembangunan.” disambung Ardi yang hanya bisa ngedumel, “Absurd! Relief ini absurd!” Saya dan Rizal pun tertawa lepas.
Trip Monas kami berakhir sampai di sini. Sepanjang perjalanan menuju lapangan rumput yang ada di sekeliling, Rizal dan Ardi yang kala itu bertugas sebagai tour guide masih melanjutkan cerita soal keberadaan Monas bagi masyarakat. Kata Rizal, Soekarno tidak pernah memenangkan kaum menengah. Oleh karena itu Jakarta mungkin terasa menyusahkan bagi mereka, tapi tidak begitu dengan rakyat kecil. “Khusus untuk Monas”, sambungnya, “ia masih menjadi daya tarik bagi sebagian besar masyarakat, tapi bukan mereka yang berkata Monas tidak penting.”
Saya sempat tertegun mendengar pernyataannya. Benarkah Jakarta dan Monas-nya memang dipersembahkan untuk rakyat kecil? Benarkah kemewahan dan keagungan yang tercipta dari monumen yang menjulang ini hanya bisa dinikmati mereka yang bukan kalangan menengah ke atas yang sudah terbiasa hidup mewah? Saya teringat satu bait kalimat yang pernah ditunjukkan Ardi, yang ia kutip dari salah satu buku Ali Sadikin, yang menurutnya, gubernur terbaik yang pernah dimiliki Jakarta:
“Saya bangun Lapangan Monas, saya bangun Ancol. Saya sengaja melarang orang yang lagi pacaran diganggu. Awas lu ya, kalau menganggu. Kalau melacur tidak boleh. Tetapi kalau pacaran, lho itu kan anugerah Allah. Sudah pernah pacaran? Kan senang, bahagia… Makanya tidak boleh diganggu. Sebab apa? Di kampung tidak bisa pacaran. … Halaman tidak ada, yang ada gang satu meter. Orang sedang bercinta-cintaan ketahuan. Ini saya hayati. Berikan tempat untuk berhibur. Nah, orang tidak mengerti bagaimana sengsaranya hidup rakyat jelata. Dus, pikiran kita harus sampai ke sana.”
*****
Foto-foto lainnya:
Leave a Reply