Portfolio

Baku Konek: Dari Kolaborasi Lokal ke Panggung Jakarta Biennale 2024


Pertengahan tahun ini saya dipercaya untuk menangani strategi komunikasi digital dan konten sebuah proyek seni rupa berskala nasional bertajuk Baku Konek. Program ini diinisiasi oleh Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan (PTLK) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui program Manajemen Talenta Nasional (MTN) bidang Seni Budaya bersama ruangrupa.

Baku Konek merupakan sebuah program residensi seni yang diikuti oleh seniman-seniman muda tanah air. Berbeda dengan konsep residensi pada umumnya yang ‘mengurung’ para seniman di satu studio atau lokasi yang sama, 23 seniman Baku Konek menjalankan residensinya di 11 lokasi komunitas seni yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia. Mereka melakukan berbagai eksplorasi artistik yang menyoroti topik-topik dan isu lokal di daerah residensinya masing-masing.

Residensinya sendiri telah rampung diselenggarakan secara serentak pada 16 Agustus – 20 September lalu. Saat ini para seniman memamerkan karyanya di perhelatan Jakarta Biennale ke-50 yang diselenggarakan hingga 15 November 2024 mendatang. Buat yang belum sempat hadir, silakan mampir ke Galeri Galeri Emiria Soenassa, Galeri S. Sudjojono, dan Galeri Oesman Effendi di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.

Ini adalah kali pertama Baku Konek diadakan, namun saya menaruh harapan agar program ini bisa berlanjut. Melihat jejaring dan kolaborasi yang terjalin antara seniman, kolektif seni, dan komunitas warga di berbagai daerah di Indonesia rasanya menyegarkan. Seni tidak melulu soal atau berpusat di Jakarta atau Jawa.

Selain itu, program ini juga potensial mendukung praktik seni rupa lokal yang lebih inklusif dan kontekstual. Karya-karya seniman Baku Konek juga sekaligus menunjukkan sisi lain karya seni di luar sisi artistiknya, yakni sebagai cerminan, respons, hingga pendorong perubahan sosial, lingkungan, serta seni budaya.

Keseluruhan program dan aktivitas residensi, profil seniman, komunitas seni, para Teman Nongkrong, serta karya-karya seniman Baku Konek saat dipamerkan di lokasi residensi maupun di Jakarta Biennale bisa dicek di Instagram @bakukonek and website bakukonek.id.

[*]

Keterangan foto karya:

“Dakor” (2024) – Brebes Artdictive (Arief Mujahidin & Bil Ababil)
Intervensi ruang publik dalam bentuk mural ini merupakan karya Kolektif Brebes Artdictive yang berkolaborasi dengan Komunitas TudGam dari Kuningan, Jawa Barat. Mereka menanggapi isu lingkungan di Gunung Ciremai, khususnya terkait pembangunan proyek pembangkit listrik geothermal. Proyek yang direncanakan akan selesai pada 2035 itu telah dihentikan sejak 2015 lalu, namun meninggalkan sejumlah isu lingkungan.

“Maen Pukul” (2024) – M. Nur Fauzi
Seniman asal Aceh ini meneliti jurus-jurus dalam seni pencak silat Betawi seperti Tapak Jejeg, Jurus Keset Bacok, dan Jurus Sikut Maenyang. Dengan misi merawat tradisi dari dari kepunahan, ia mengabadikan jurus-jurus tersebut ke dalam format gambar dan gambar bergerak (motion graphic).

“Alam Takambang Jadi Guru” (2024) – Anisa Nabilla Khairo
Karya instalasi perupa asal padang ini merupakan kolaborasi dengan komunitas di Kampung Cikaramat, Jawa Barat. Piring-piring yang dikumpulkan dari warga merupakan simbol tradisi yang dipelihara melalui memori tubuh, tutur, dan laku hidup setempat dalam mengeksplorasi hubungan antara alam, tubuh, dan pengetahuan. Di sini, gotong royong menjadi esensial dalam menciptakan dan mengembangkan pengetahuan lokal, yang kemudian didistribusikan ke generasi baru oleh sekolah.

“Mengairi Sekitar, Memaknai Kehidupan” (2024) – Komunitas Gulung Tukar (Agustin Dwi Maharani & Muchamad Riduwan)
Melalui penelitian lintas budaya dan pendekatan seni rupa, karya seni partisipatif ini menyoroti pentingnya air sebagai sumber kehidupan serta cerminan ikatan sosial dan nilai-nilai spiritual masyarakat empat kampung sungai yang tinggal di sekitar Sungai Kapuas, yaitu Kampung Kuantan Laut, Kampung Kamboja, Kampung Dalam Bugis, dan Kampung Banjar Serasan.

“Expresi Perasaan dan Ruang” (2024) – Brian Suebu
Brian merupakan seniman Papua pertama yang berpameran di Jakarta Biennale. Karya lukis di atas kulit kayu ini merupakan jukstaposisi pengalaman dan perasaannya atas perbandingan kontras kondisi lingkungan dan manusianya di dua kota, Sentani dan Jakarta.

“Tepung- Pa-Tepung” (2024) – Nani Nurhayati
Bersama komunitas Sikukeluang di Pekanbaru, Nani menyoroti kondisi ekologi yang memburuk di daerah tersebut akibat polusi udara dan bencana lingkungan lainnya. Ia juga terinspirasi dari ritual pengobatan tradisional Melayu Riau yang menjadi simbol keselarasan antara alam dan manusia.

“Tom dan Regi” (2024) – Puji Lestari
Terinspirasi dari cerita dari tanah Papua, Puji menggambarkan kebersamaan yang tak terpisahkan, kasih sayang, dan kebahagiaan lewat karya ini. Ia menjadikan karya ini sebagai memento atas kebersamaan dan kenangan indah Puji bersama teman-temannya di Papua, khususnya dari kolektif Alyakha Art Center, tempat ia menjalankan residensi selama lima minggu.

“Ingatan Kain Mama“ – Widi Asari
Lewat karya ini, Widi menelusuri kisah kain tenun Maumere dari sudut pandang budaya dan hubungan interpersonal warga dalam konteks kota dan pasar. Selama residensi, ia mengembangkan motif tenun berdasarkan ingatan teman-teman Komunitas KAHE dan berkolaborasi dengan Mama Lin, penenun dari Watublapi. WIdi juga mendokumentasikan nyanyian tentang teknik tenun Jata Kapa bersama Dixxxie. Seluruh proses kemudian ia tuangkan dalam film dokumenter yang dikerjakan bersama Bernard Lazar dari Komunitas KAHE.

“Non-linear Archives of Ephemeral Space” – Faida Rachma
Proyek residensi ini mengeksplorasi konsep “singgah” di rumah Riwanua, yang berada di dalam kompleks perumahan dosen Universitas Hasanuddin. Proyek ini mengkaji bagaimana ruang bertransformasi sesuai kebutuhan penghuninya, dan bagaimana perubahan tersebut bisa menjadi sarana untuk berbagi ruang dan bertahan hidup. Dalam konteks modern, rumah ini berkaitan dengan kepemilikan dan hak guna, menciptakan situasi “sementara” yang mengabaikan ikatan emosional.