Commentary

Refleksi Kelas Advokasi Kebijakan Publik

“Ini akun [pilih sendiri topik/ fokus isumu] atau politik sih? Fokus aja lah sama isu [pilih sendiri topik/ fokus isumu]!”

Buat kami yang bekerja di bidang komunikasi, berarti harus siap berada di garis depan yang bertanggung jawab memproduksi dan mendistribusikan informasi. Sering kali hal ini membuat kami terpapar dan ‘berbenturan’ dengan komentar apolitis warganet seperti contoh di atas. Tak mengapa, tandanya kami masih punya PR besar menjelaskan kepada publik bahwa isu apa pun yang berkaitan dengan warga pasti bersifat politis.

Sederhananya seperti ini:

Kamu batuk-batuk terkena pneumonia karena udara kotor? Kamu dicuekin saat melapor ke polisi karena bukan berasal dari golongan mayoritas? Harga tiket pesawat domestik melejit tak masuk akal? Konser yang kamu tunggu-tunggu batal, sementara promotor kabur atau lambat mengurus refund? Hanya seniman dari Jakarta yang mendapat perhatian, sementara kamu yang berkesenian di luar Jawa tidak pernah mendapatkan perhatian pemerintah? Banyak pungli di sekolah anakmu? Kasus penyiksaan ART tetanggamu mencuat?

Semua itu adalah contoh keseharian yang politis.

Memiliki pengetahuan dasar dan pengalaman soal bagaimana advokasi bekerja memang membuat kita ingin menyelami lebih dalam bagaimana sebuah isu bergulir, berkembang, hingga akhirnya didorong menjadi kebijakan publik. Namun, tidak semua orang memiliki jam terbang yang cukup untuk mengikuti prosesnya dari awal: siapa saja yang terlibat, apa saja yang harus dilakukan, hingga bagaimana cara menghimpun kekuatan dari dalam maupun luar.

Maka, ketika Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera membuka kelas Advokasi Kebijakan Publik, tanpa pikir panjang saya langsung mendaftar.

Menyerap ilmu langsung dari figur-figur kunci bidang hukum dan kebijakan publik seperti Bivitri Susanti (akademisi dan pakar hukum tata negara) dan Asfinawati (advokat HAM dan eks-Direktur YLBHI) adalah keputusan tepat.

Kelas ini berlangsung secara daring setiap Selasa dan Kamis selama satu bulan. Meskipun tidak semua materi yang diajarkan baru, tapi saya tetap menikmati setiap prosesnya.

Secara khusus, saya benar-benar menyukai materi Pemetaan Pemangku Kepentingan dalam Advokasi. Saya menyadari bahwa ada begitu banyak teknik dalam melakukan pemetaan pemangku kepentingan (stakeholder mapping)—jauh lebih detail dan variatif dari pendekatan yang selama ini saya lakukan. Semua teknik pemetaan bisa kita pakai, tergantung objektif apa yang ingin dicapai.

Selama kelas berlangsung, para peserta saling berbagi pandangan dan pengalaman, serta mencoba mencari solusi atas kendala masing-masing. Dari cerita mereka, saya semakin menyadari bahwa tidak semua isu se-fancy isu lain. Tidak semua persoalan mendapatkan panggung bersorot lampu.

Ada isu yang tergopoh-gopoh di fase kampanye, tetapi masih banyak pula yang terhambat pada tahap penentuan strategi advokasi, bahkan pada pemetaan aktor dan pengaruhnya.

Selama beberapa hari, saya terus memikirkan bagaimana kelanjutan perjuangan kawan-kawan tuli yang sulit mendapatkan akses Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Saya juga ikut cemas memikirkan cara mendorong agar darurat kasus kekerasan seksual di dalam institusi pendidikan, khususnya asrama agama atau boarding school, dapat menjadi kebijakan yang melindungi para murid sekaligus menghukum para pelaku.

Yang juga mengusik adalah mengapa Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) masih mandek di DPR meski telah diperjuangkan selama 20 tahun.

Apakah ketiadaan perempuan di pimpinan Komisi VIII DPR akan menyulitkan perjuangan RUU ini? Komisi yang membidangi agama, sosial, perempuan, dan anak, namun ironisnya posisi ketua dan wakilnya diisi sepenuhnya oleh laki-laki.

Salah satu peserta yang juga merupakan perwakilan koalisi sipil mengatakan bahwa mereka perlu melakukan pemetaan pemangku kepentingan lebih lanjut. Kabar terbaru, RUU PPRT telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas DPR RI periode 2024–2029.

Kelas advokasi kebijakan publik memang telah rampung, sertifikat keikutsertaan pun sudah saya terima. Tapi saya yakin, rekaman sesi dan modul materi-materi presentasi masih akan sering saya gunakan untuk membantu pendalaman isu saat bekerja, atau sekadar membantu berpikir lebih jernih sebagai warga negara dalam memahami isu-isu publik yang ada.

Sebab saya sepenuhnya sadar, bahwa advokasi kebijakan publik adalah sebuah marathon yang nasib jarak dan garis akhirnya dapat digantungkan setiap 5 tahun sekali.

Di sela-sela kecemasan memikirkan nasib sebagai WNI, sayup-sayup suara Morgue Vanguard dalam lagu “Bersemi Sekebun” milik Efek Rumah Kaca terus terngiang dalam pikiran:

“Pada yang perlahan padam / Ada sejenis api dari kemustahilan / Sejenis harapan yang datang dari pelan nyala sekam / Sejenis badai lahir dari rajutan bukan kepalan / […] Dan dalam rentetan kekalahan / Bertahanlah sedikit lebih lama / Tumbuhlah liar serupa gulma…”

*Tulisan ini pertama kali diterbitkan sebagai konten media sosial di Instagram @d.elsara pada 19 November 2024.