Commentary

Eksistensi Kaum Marjinal

“I’m not a boy, not yet a girl. All I need is time, a moment that is mine. While I’m in between.. ”

Sepenggal lirik di atas adalah pelesetan dari lagu Britney Spears yang aslinya berjudul “I’m Not a Girl, Not Yet a Woman”. Lirik tersebut cukup menggambarkan eksistensi kaum waria yang hingga saat ini masih terpinggirkan.

Laki-laki itu kini bernama Eno. Ia salah seorang dari kaum marjinal tersebut. Meskipun begitu, ia tidak malu mengakui bahwa ia adalah waria. Bahkan ia cukup bangga dengan statusnya tersebut. Sejak kecil ia memang sudah merasa bahwa dirinya adalah seorang perempuan, bukan laki-laki sebagaimana ia terlahir.

Eno terlahir 34 tahun lalu dengan nama Trino Suharianto. Lelaki berbintang Capricorn ini merupakan anak ketujuh dari sebelas bersaudara. Masa kecilnya banyak dihabiskan di Sumatera, namun sejak tahun 1990 lalu ia hijrah ke Jakarta untuk mengadu nasib.

Sehari-harinya Eno menjalankan beberapa profesi sekaligus. Siang hari sampai malam pukul delapan, Eno bekerja sebagai kapster salon di daerah Utan Kayu. Sedangkan malam hari, ia menjelma menjadi pribadi lain, yaitu seorang penjaja kenikmatan dunia atau biasa disebut pekerja seks komersil (PSK).

Saat itu Eno tidak sedang bersiap pergi kerja. Ia merias diri khusus untuk wawancara ini.

Sebagai seorang waria, Eno cukup berprinsip. Buktinya, Eno rutin mengirimkan penghasilannya kepada orangtua meskipun jalan hidupnya ini ditentang oleh keluarga besar di Sumatera. Yang ia kirimkan adalah penghasilan kerjanya di salon. Ia tidak ingin membiayai keluarganya dengan uang haram. Sedangkan uang yang didapat dari pelanggan, ia gunakan untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Selain itu, lelaki penyuka warna hijau ini mengaku tidak akan menerima pelanggan pada hari Kamis dan Jumat. Karena menurutnya, kedua hari itu adalah hari yang pantang untuk dinodai. Eno juga kerap diundang menyanyi di resepsi pernikahan dan menari untuk acara-acara peresmian gedung.

Sebagai PSK, ia tidak mangkal di pinggir jalan seperti rekan-rekannya yang lain. Ia biasa dihubungi oleh pelanggannya langsung dan kemudian bertemu di tempat yang telah disepakati. Bahkan menurut pengakuannya, ia juga kerap dihubungi melalui website dan email pribadinya. “Meskipun jablay, eke tetep elite dong bo’!”, kira-kira begitu selorohnya.

Bermodalkan rambut palsu, Eno menjalani hidup keduanya.

Eno tidak mematok harga khusus untuk tarifnya. Semua tergantung kemampuan pelanggan dan masih bisa dinegoisasi. Sedangkan masalah tempat, ia menyerahkan sepenuhnya kepada si pelanggan. Hotel, kost-kostan, dan diskotik adalah tempat yang menjadi langganannya. Bahkan ia pernah memboyong pelanggan ke kostannya sendiri. Tentu saja tarif yang dikenakan pun berbeda. Jika tempat yang dipilih adalah kostannya sendiri, maka ia akan meminta tarif tempat sebesar uang sewa bulanan kost, dan tarif servis. Namun bila mereka bertemu diluar, maka Eno hanya mengenakan tarif servis saja.

Selama menjalankan profesi sebagai seorang waria PSK, Eno yang juga terkenal dengan nama Eno Garnis (Gahar dan Manis), pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pelanggannya sendiri yang kebetulan berkebangsaan Korea. Pukulan bertubi-tubi dan sundutan rokok ia terima dengan pasrah. Sejak saat itu, ia cukup selektif dalam memilih pelanggam. Ia tidak akan menerima pelanggan yang berasal dari Korea lagi. Pelanggan bule menjadi incaran utama dan favoritnya kini. Karena menurutnya, pelanggan bule lebih royal dan halus memperlakukan mereka. Tidak seperti pelanggan lokal yang menurutnya mau enaknya saja tetapi pelit jika menyangkut bayaran.

Eno berusaha untuk tidak terlihat hubungan serius dengan pelanggannya, karena menurutnya, hubungan dengan pelanggan adalah murni bisnis, peluangnya untuk mendapatkan uang. Di luar itu, penyuka film horor ini mengaku memiliki pacar seorang laki-laki yang sudah berjalan beberapa tahun. Meskipun sebenarnya ia adalah seorang biseksual, penyuka lak-laki dan perempuan.

Sebagai seorang muslim, laki-laki penggemar Dorce ini tetap berusaha untuk melakukan kewajiban sholat lima waktu. Meskipun masih sering absen, ia tetap menyempatkan diri untuk sholat. Meskipun demikian, ia tidak melakukan sholat Jumat di mesjid sebagaiana lazimnya muslimin yang lain. Ia tidak melakukan itu karena perlakuan warga sekitar terhadap dirinya. Ia merasa mendapat penolakan dan dipandang rendah, berbeda dengan di tempat asalnya dulu. Eno juga tidak pernah absen untuk membawa buku Yassin di dalam tasnya.

Buku Yasin yang selalu ia bawa ke mana-mana.

Selain kesibukannya sehari-hari, Eno juga sempat memenangkan berbagai kontes kecantikan. Misalnya, baru-baru ini ia menjadi juara di ajang kontes Ratu Bunga yang diadakan di Pasaraya Manggarai. Ia juga pernah menjadi Ratu PIK Pulo Gadung pada 2006 silam. Bahkan, Eno pernah menjadi Waria Tercantik se-Jakarta Timur pada tahun 2005. Untuk urusan tampil di layar kaca, sudah banyak sinetron yang ia bintangi, meskipun hanya sebagai figuran. Namun Eno bosan karena selalu ditawari peran menjadi seorang waria, sehingga ia tidak pernah menerima lagi tawaran yang datang padanya.

Ada satu hal yang menjadi penyesalan terbesar dalam hidup Eno. Ia sangat menyesal karena telah mengambil peran dalam sebuah film porno. Meskipun video itu untuk diedarkan di Jepang, ia mengaku tidak akan pernah bisa melupakan kejadian itu. Karena menurutnya, sampai mati pun orang-orang akan tetap menontonnya beradegan mesum.

Ketika ditanya tentang harapan dan cita-citanya, Eno ingin berubah dan menjalankan hidup seperti masyarakat pada umumnya. Namun ia tidak akan memaksakan itu. Ia hanya akan menunggu hidayah Tuhan. Jika hidayah itu datang, ia akan menyambutnya. Namun jika tidak, maka ia akan tetap menjalankan kehidupannya seperti sekarang. Selain itu, Eno ingin sekali membangun sebuah wisma yang diperuntukkan khusus bagi para waria. Alasannya sederhana, ia tidak tega melihat banyak waria yang sehari-harinya hidup di pinggir jalan. Sedangkan keinginannya yang paling utama adalah, Eno ingin sekali memberangkatkan sang ibunda ke tanah suci dengan hasil keringatnya sendiri. “Nyokap itu kekasih dunia akhirat. Jadi gue bakal lakuin apapun demi dia,” imbuhya menegaskan.

Dari Trisno menjadi Eno.

Begitulah Eno dengan segala keterbukaan dan kerendahan hatinya. Ia tidak malu menjadi seorang waria dan menjalankan berbagai profesi dengan dua sisi sekaligus, jalan halal dan haram. Yang bisa ia lakukan hanya berpegang teguh ada prinsipnya, pantang membiayai keluarga dengan uang haram dan tidak pernah memusyrikkan Tuhan, yakni tidak melibatkan dukun demi meningkatkan kecantikan dan daya tariknya. Eno adalah salah satu contoh nyata individu dari kaum yang terpinggirkan. Eksistensinya kerap dipandang sebelah mata oleh banyak orang. Namun, segala usaha yang ia lakukan hanyalah untuk bertahan hidup. Dan memang pada akhirnya, waria juga manusia..

*)
Artikel ini ditulis sebagai tugas mata kuliah Fotografi Jurnalistik. Saya lupa persisnya pertama kali diunggah kapan dan di mana, tapi ada jejak digitalnya di blog lama saya tertanggal 11 Desember 2007. Saya unggah lagi sekarang karena isu LGBT kembali hangat, sekaligus merespon status Facebook Hikmat Darmawan yang membicarakan isu yang sama.