Tentang Lari
Dari dulu saya paling malas yang namanya olahraga. Bagi saya, panas-panasan menggerakkan badan demi mencari keringat adalah kegiatan percuma. Masih mending kalau pembahasannya lagi seru, permainan misalnya. Lha kalau yang monoton seperti lari? Apa serunya mengejar waktu tercepat? Kalau bukan karena pelajaran wajib, saya sih lebih pilih nongkrong di kantin sambil ngemil dan minum es teh manis. Sialnya, sudah ikutan capek, eh masih dapat nilai jeblok juga di rapor saat SD. 5,5. Nilai merah pertama dan terakhir di rapor sepanjang sekolah.
Kesialan kedua, dari SD sampai SMA, sekolah saya luar biasa rajin mengadakan kegiatan lari. Tidak cukup menjadi topik di mata pelajaran olahraga, masih ditambah lari wajib keliling sekolah setiap minggu. Kalau punya kenalan alumni Labschool, boleh ditanya soal pengalaman lari Jumat. Rutenya dari depan sekolah di Jalan Pemuda, belok kiri ke Jalan Raya By Pass, belok kiri lagi ke arah Pasar Sunan Giri, terus belok kiri lagi kembali ke Jalan Pemuda. Kelihatannya sih segitu aja rutenya. Tapi coba deh datang terlambat (lari start pukul 06.30), lari sendiri dan keduluan sweeper. Itu lho, anak OSIS yang tugasnya memastikan semua sudah lari. Jadi setiap anak yang lari di belakang sweeper, akan dihukum. Antara push-up atau lari keliling lapangan. Karena keseringan terlambat, jadi saya datang ke sekolah sudah pakai seragam rapi. Tentunya dengan indik-indik supaya tidak ketahuan dan sudah titip absen sama teman.
Keengganan berlari yang menahun ini terasa semakin dikipasi oleh seorang teman dan motto nyelenehnya, “Buat gue, lari itu cuma perlu dilakukan kalau lagi dikejar anjing!”
Masuk akal. Mudah-mudahan teman saya yang barusan mengirimkan pesan WhatsApp dan mengajak lari pagi besok bisa mengerti, atau setidaknya ikut cengengesan saat membaca balasan saya.
Leave a Reply