Short Story

Cikini Express (bag. 1)

Bagaimana cuaca Canberra hari ini? Apakah sesejuk angin yang memeluk ruang kosong di sekelilingku saat bertemu denganmu lagi setelah sekian lama? Tak ada yang menyangka bahwa pertemuan itu adalah saat dimana aku justru kembali mengucapkan salam perpisahan denganmu. Kali ini, entah untuk ke berapa kalinya.

Tidak ada pelukan hangat atau air mata. Dua hal yang sebenarnya tak yakin kuperlukan, sebagai tanda sah bahwa aku rela melepasmu pergi. Pada suatu saat nanti, aku pun akan melepaskanmu, bersama dengan ilusi harapan yang lahir dari penawaran-penawaran tidak sempurnamu. Akan ku lepaskan kau untuk terbang bebas mengejar impian-impian besarmu. Aku bukan bagian dari rencana besarmu, begitu juga kau bagiku. Kita hanyalah dua orang turis yang bertemu di tengah, dan mencecap manisnya sebuah persinggahan. Aku bukan tujuanmu, dan kau bukan tujuanku.

Sebagaimana layaknya turis, pernah ku berandai-andai untuk tidak meneruskan perjalanan. Persinggahan menjadi tujuan akhirku, lalu hidup bersamamu. Bersama fantasi roman seorang turis, yang menjadikan setiap perjalanan menjadi begitu menarik.

Kau tentu tahu sensasi itu. Jam terbangmu cukup tinggi dalam hal bepergian, pun soal perempuan-perempuan di perjalanan. Pernah kau memamerkan setumpuk kartu nama mereka yang pernah kau temui di berbagai moda transportasi. Kereta api menjadi favoritmu, karena di sanalah durasi mengobrol berbanding lurus dengan lama perjalanan. Kau pancing mereka dengan kecerdasanmu. Umpan yang nyaris tak pernah gagal, kecuali hanya bagi perempuan-perempuan yang terlalu mengantuk untuk meladenimu. Tapi bagi perempuan-perempuan yang penuh fantasi, atau sekadar butuh teman ngobrol, kau adalah pendamping ideal. Kail yang tak segan-segan mereka sambut. Kau seperti laki-laki Jawa yang menggunakan kemelaratan dan kesederhanaan sebagai komoditi utama. Laki-laki seperti itu selalu sukses menarik simpati perempuan. Kau juga orang Jawa, tapi kau berbeda. Kau melakukannya dengan jauh lebih elegan.

Pernah suatu kali kita menuju rumahku dan melewati baliho yang mempromosikan fasilitas rawat inap kelas VIP dan VVIP. Rumah Sakit yang menyediakan fasilitas ini adalah rumah sakit yang sempat memperkarakan seorang wanita dengan tudingan pencemaran nama baik. Taksi kita berhenti tepat saat lampu lalu-lintas berganti merah. Waktu kita menjadi lebih banyak untuk mengamati baliho yang terpampang angkuh di depan komplek rumahku ini. “Pelayanan eksklusif bagi Anda”, begitu bunyi kalimat jualannya. Rona jijik terlihat jelas dari wajahmu.

“Kalau pada saat yang bersamaan, ada bos retail yang menderita radang tenggorokan ingin dirawat di kamar kelas VVIP, dan seorang tukang bajaj dengan pneumonia akut. Menurutmu mana yang lebih dulu dilayani pihak rumah sakit? Tukang bajaj? Saya ragu.”

Tebakanku benar. Hanya perlu beberapa detik sebelum kau akhirnya membuka mulut dan berkomentar. Aku diam, membiarkanmu bermain dengan pikiranmu sendiri.

Kau masih menatap baliho tersebut lekat-lekat, seolah bisa merobohkannya hanya dengan menatapnya cukup lama. “Katanya nyawa manusia itu setara; tak perlu dibeda, apalagi detempeli label harga.”

“Betul, tapi rasa nyaman punya harga sendiri.” Siapa sangka jawaban spontanku ini cukup mengagetkanmu. Aku yang tanpa persiapan akan responmu, jadi merasa sedikit gugup. Perlahan-lahan taksi mulai bergerak, dan melaju menerobos sisa-sisa malam.

“Kamu benar. Selalu ada harga yang harus kita bayar untuk dapat merasakan rasa nyaman,” ujarmu seolah menegaskan. “Dan itu tak selamanya harus kita bayar dengan uang. Mungkin itu yang membuat kita begini, karena aku dan kamu, tak mampu membayar harga tertentu untuk dapat merasakan kenyamanan sepasang kekasih.” Kali ini kau tidak menoleh ke arahku. Meskipun pundak kita saling beradu, di antara kita hanya ada ruang kosong tempat hasrat yang memadu rindu.

***

Saat menulis surat ini, aku sedang berada di kedai kopi tempat kita biasa bertemu. Obrolan kita lebih dalam dari secangkir dangkal Black Americano yang selalu kau pesan. Ice Lemon tea mengantri di urutan ke dua, untuk mengimbangi durasi obrolan.

Menjelang tengah malam kita beranjak keluar, lalu berjalan kaki sambil mencari taksi. Seakan tak cukup, kita lanjut mengobrol di bawah langit malam yang tak begitu temaram.

“Apa kamu tidak capek?” tanyaku dengan maksud meledekmu yang tak kunjung berada dalam sebuah hubungan yang berkomitmen.

Kau cengengesan, seolah berkata bahwa pertanyaanku barusan sangat konyol. Seperti bocah yang bertanya cabai rasanya pedas atau tidak. Tapi toh kau tetap menjawab, meski singkat sekali.

“Ya capek.” Lantas terdengar desahan panjang.

“Enak sekali ya yang jadi pacarmu. Cuma modal kopi dan jalan-jalan, kamu sudah senang. Diajak ke taman, lantas diumbar, toh sudah girang.” Ujarmu mengalihkan topik. Sejurus kemudian poni tanggungku menjadi korban jahil tanganmu. Sukses diacak-acak. Membiarkanku yang cuma bisa bersungut-sungut.

“Kamu terdengar seperti dia. Dia dulu juga pernah bilang bahwa ia bersyukur mendapatkan gadis sepertiku. Nggak neko-neko dan mudah dibuat senang.”

“Dan kau selalu sukses dibuatnya senang?”

“Hmm.. Ya. Hampir selalu.”

“Lalu apa yang kau lakukan saat ia gagal menyenangkanmu?”

“Bertemu denganmu.”

Tak terasa kita sudah menyusuri Cikini hingga Jalan Raya Salemba. Di muka Rumah Sakit St. Carolus kita berpisah, setelah masing-masing memilih supir taksi yang sekiranya bisa dipercaya untuk mengantarkan sampai rumah dengan selamat.

Kedai kopi ini menyimpan banyak jejak dirimu. Lantai dua, di pojok dekat jendela. Tempat pertama kita sebagai teman dalam rahasia. Aku ingat saat itu kau menceritakan pengalaman atas kasurmu dengan perempuan dari luar kota. Teman lama katamu, yang datang ke Jakarta, lantas diculik oleh sepi. Atas nama pertemanan, kau pun setuju untuk bertukar cairan tubuh. Aku tak pernah menyalahkanmu, apalagi menghakimi perempuan itu. Tapi kalau kau tanya bagaimana perasaanku saat itu, sejujurnya aku heran. Betapa kita berdua begitu santai; kau menceritakan pengalaman seksualmu dengan perempuan lain kepadaku, dan aku mendengarkan nyaris tanpa emosi.

Malam semakin larut; di sudut Cikini kita saling melangut.

(bersambung)