Bohlam
boh·lam n cak bola lampu listrik; lampu busur
Semalam, saya baru sampai rumah sekitar pukul satu dini hari. Sepulang kerja, saya mampir dulu ke ruangrupa untuk mengantarkan oleh-oleh cokelat kepada teman-teman di sana, sebagai hasil perburuan singkat di kios duty-free bandara Schiphol, Amsterdam, akibat tak punya waktu jalan-jalan di tengah padatnya agenda Impakt Festival di Utrecht. Lalu, sempat juga ke pembukaan pameran Gambar Selaw di Om Duleh, yang lokasinya masih di daerah Tebet.
Sesampai di rumah, ritual yang biasa saya lakukan adalah melucuti semua benda yang melekat di tubuh—mulai dari pakaian dan aksesori seperti jam tangan dan gelang, berganti baju dengan kostum kamar yang longgar dan nyaman, menggantung celana jeans di loteng dalam keadaan sisi dalam di luar, mengambil handuk, lalu istirahat sebentar sebelum mandi, atau ‘mengeringkan keringat’ istilah yang sering dipakai orang-orang. Ya, saya terbiasa mandi malam (dengan air dingin—red) jam berapapun itu. Kecuali, tentunya, jika sedang tidak enak badan.
Jeda sebelum mandi itu biasa saya isi dengan berbagai kegiatan. Semalam, saya mengisinya dengan mengganti bohlam kamar mandi.
Posisi kamar mandi di rumah saya berhadapan dengan tangga. Saat hendak menuju loteng itulah saya mendapati bohlam kamar mandi kedap-kedip; salah satu pertanda bahwa ajalnya kian dekat dan mesti segera diganti. Usai menggantung celana dan mengambil handuk di loteng, saya menyelinap masuk ke kamar ayah saya untuk mengambil bohlam yang baru. Beliau terbiasa menyimpan persediaan bohlam yang cukup banyak di lemari kamarnya.
Berhubung saya agak pengecut dalam hal perlistrikan atau perkomporan, saya akan menggunakan alat bantu saat berurusan dengan keduanya. Untuk mengganti bohlam, biasanya saya menggunakan tongkat khusus agar tak perlu naik kursi dan memegang bohlam secara langsung. Tujuannya agar terhindar dari insiden tersetrum. Sayangnya tongkat yang dicari tak kunjung ketemu. Alhasil saya harus melakukannya dengan cara manual.
Sempat tergoda juga untuk minta bantuan adik yang lagi asyik mengulik gadget DJ (entah apa namanya) di ruang keluarga, tapi akhirnya toh saya kerjakan sendiri. Dengan bantuan kursi yang diambil dari ruang makan, serta kain lap yang saya gunakan agar tak kepanasan saat memegang bohlam, saya sukses mengganti bohlam kamar mandi sendiri.
Saat itulah saya teringat ledekan abang saya dulu.
“Cewek Indonesia kok nggak bisa ganti bohlam lampu sendiri?”
Saya, yang saat itu masih berseragam putih-biru, menganggap ledekan itu berlebihan, atau ‘lebay’ istilah anak zaman sekarang. Masa untuk urusan ganti bohlam bawa-bawa negara segala?
Semalam, saya cuma bisa cengengesan saat mengenang kembali wajah abang saya saat melontarkan ledekan tersebut sebelum menggantikan bohlam di kamar saya yang saat itu mirip diskotik; lampunya kedap-kedip. Tentu saja semalam saya paham betul maksud ledekan tersebut. Ia mengharapkan adiknya untuk tumbuh mandiri, yang tidak sedikit-sedikit minta bantuan orang lain. Alhasil, adiknya ini merasa sedikit bangga setelah sukses mengganti bohlam kamar mandi semalam. Meskipun sebenarnya saya sendiri merasa urusan perbohlaman ini sepele.
***
Abang saya bukan tipe role model yang segala tingkah lakunya selalu bisa dijadikan panutan. Ia bukan pula tipe siswa yang secara akademis memuaskan. Ia bahkan tak pernah kuliah. Pendidikan pascasekolah yang pernah ia jalani adalah beberapa kursus singkat berbagai bidang, mulai dari sinematografi, komputer, desain grafis, sablon, hingga teknik mesin. Sisanya, ia pelajari secara otodidak sembari mengisi waktu luang dengan membaca karya sastra atau mendengarkan Iwan Fals dan Jimi Hendrix. Saya belajar banyak hal darinya, dan seringnya, dengan cara dan dalam waktu yang tak biasa.
Suatu hari ia mengajarkan saya cara menulis deskripsi dalam cerita pendek, dalam waktu kurang dari lima menit di ruang tamu. Saat itu saya sedang asyik membaca majalah, dan ia hendak ke luar rumah bersama teman-temannya. Sepertinya ia habis membaca salah satu cerita pendek buatan saya di buku tulis. Kira-kira begini ucapannya waktu itu:
“Kalau nulis cerpen, tambahin deskripsi biar suasananya lebih lengkap, dan ceritanya lebih bewarna. Jadi, daripada mengakhiri dialog cuma dengan ‘ujarnya’ atau ‘katanya’, bikin begini aja: ‘Ra, Bang Aan pergi dulu ya!’ ujarnya seraya mengambil bungkus rokok yang ada di atas meja.”
Reseknya, ia langsung ngeloyor pergi usai memberi contoh soal deskripsi tersebut.
Pernah juga suatu hari ia menasihati soal nasihat. Jika tak salah ingat, saat itu saya mengabaikan nasihatnya untuk tak pulang malam, karena toh ia sendiri juga kerap pulang malam. Melihat pemberontakan kecil-kecilan yang dilakukan adiknya, ia pun berujar “Kalau dinasihati, lihat isi nasihatnya, bukan siapa yang menasihati.” Tapi tentu, saya jiwa ABG saya yang bergolak saat itu tak mampu mencerna nasihatnya dengan cermat.
Tepat hari ini, 2 November, ia yang bernama lengkap Ryan Novian dan yang saya panggil ‘Bang Aan’ ini berulang tahun. Jika masih bersama kita, ia genap berusia 36 tahun hari ini. Namun kita tak kuasa melawan kehendak semesta. Delapan tahun lalu, tepatnya 9 Agustus 2004, ia ‘mengucapkan salam perpisahan’ kepada keluarga, teman, dan siapapun yang pernah mengenalnya. Dalam kesunyian dan berada jauh dari rumah, ia menghembuskan napas terakhirnya. Namun saya percaya, ia bersama semua kenangan yang menyertainya, akan tetap hidup selama yang saya inginkan. Seperti bohlam yang pijarnya dapat kita nyala-matikan sekehendak hati.
Selamat ulang tahun, Bang Aan.
.
And I continue
To burn the midnight lamp
Alone
Now the smiling portrait of you
Is still hangin’ on my frowning wall
It really doesn’t, really doesn’t bother me too much at all
It’s just the ever falling dust
That makes it so hard for me to see
That forgotten earring layin’ on the floor
Facing coldly towards the door
I continue
To burn the midnight lamp
Lord, alone
— Burning Of The Midnight Lamp, Jimi Hendrix
.
Gambar diambil dari sini
Leave a Reply