Membaca Pria dan Bacaannya
Apa yang ada di kepala Anda saat ditanya soal majalah gaya hidup pria? Profil wanita cantik bertubuh molek dan berpakaian minim? Berlembar-lembar artikel dan panduan fashion? Ulasan gadget dan kendaraan terbaru? Atau tips menaklukan wanita?
Jika ya, saya yakin Anda tak sendiri, sebab memang konten-konten seperti itulah yang disuguhkan majalah-majalah pria yang beredar di Indonesia saat ini. Dan saya, yang sempat setahun lebih menulis untuk majalah pria waralaba asal AS, mungkin, turut andil dalam penyebaran konten-konten yang membuat majalah tersebut lebih mirip katalog.
Adalah Bung!, majalah terbitan ruangrupa yang mencoba keluar dari citra yang terlanjur terbentuk tentang majalah pria Indonesia. Alih-alih menarik minat pembeli dengan sampul yang mengumbar lekuk tubuh wanita, majalah ini justru menampilkan wanita yang sedang duduk di bangku yang ditaruh di atas mobil bak terbuka yang penuh barang-barang pindahan. Tak ada halaman fashion yang dengan model-model rupawan berperut kotak-kotak. Yang ada hanya deretan foto kaus kaki dan boxer―yang tentunya tidak sedang dipakai oleh model―dengan bonus pembacaan karakter si pemakai atas pilihannya tersebut. Dan taruh saja di laci, dalam-dalam, harapan Anda untuk mendapatkan informasi anyar soal gadget atau kendaraan, sebab yang anda dapatkan justru artikel soal fenomena pacaran di jembatan layang.
Jadi, ketika majalah ini mengadakan diskusi santai, pembacaan cerpen, dan pertunjukan musik yang diberi nama Ayo Bung!, saya memang tak mengharapkan akan dijamu nuansa glamor seperti yang kerap disuguhkan majalah-majalah gaya hidup pria lainnya; hotel berbintang atau kafe ternama, makanan bufet, atau doorprize berhadiah utama yang bikin ngiler.
Ayo Bung! diadakan di ruangrupa pada 8 Juni lalu. Konsepnya sederhana, diskusi dan pembacaan cerpen berlangsung sambil duduk lesehan, kemudian ditutup dengan pertunjukan musik di teras ruangrupa. Konsep acaranya memang sederhana, namun tidak begitu dengan tujuannya. Betapa tidak, Ayo Bung! dimaksudkan sebagai perayaan tiga edisi majalah yang hanya direncanakan untuk terbit sebanyak empat edisi saja! Ya, aneh―saya tidak memilih kata ‘congkak’ sebab majalah musik Rolling Stone Indonesia sudah lebih dulu menyandang status itu dengan mengadakan pesta setiap penerbitan edisinya―memang.
Diskusi dibuka dengan penuturan Ardi Yunanto, Redaktur majalah Bung!, tentang lima hal yang dalam kepercayaan adat Jawa, harus dimiliki oleh pria demi menjadi seorang ksatria yang paripurna, yakni wisma (rumah), wanita (pasangan), turangga (kendaraan), curiga (senjata), dan kukila (hobi). Kelima hal tersebut kemudian diterjemahkan ulang oleh tim redaksi, lalu diaplikasikan ke dalam rubrikasi majalah sesuai konteks kekinian.
“Kami membaginya menjadi lima rubrik utama; wisma menjadi Pilar, wanita menjadi Kencan, kendaraan menjadi Roda, senjata menjadi Siasat, dan hobi menjadi Senggang.” ujarnya singkat. Ia lanjut menjelaskan bahwa cukup banyak fenomena yang terjadi di masyarakat yang muncul dari kelima unsur tersebut, dan ia beserta tim redaksi berusaha mengambil ide dari masalah-masalah yang ada yang ada.
Diksusi apapun tentunya tak akan sahih jika tak mengulas sedikit―jika enggan banyak―sejarah yang menjadi topik diskusi tersebut. Pembicara lain, Budi Warsito, pemilik dan pengelola perpustakaan Kineruku di Bandung, yang juga memiliki minat khusus pada majalah, mencontohkan salah satu majalah (remaja) pria yang terbit pada 1977, yakni majalah Hai. Budi baru aktif membaca majalah tersebut pada era ’80an. “Majalah remaja pria waktu itu memberikan semuanya, mulai dari olahraga, musik, bahkan sampai soal-soal Ebtanas SMP dan SMA!” kenangnya disusul gelak tawa tamu yang hadir. Ia mengaku belajar banyak dari majalah tersebut. Begitu cintanya, ia bahkan mengumpamakan majalah tersebut sebagai “abang yang asyik”. Untuk yang satu ini, saya setuju. Saya, yang bukan pria, dan juga punya abang betulan, juga sempat rutin membeli Hai karena ketagihan artikel-artikel menarik yang mereka suguhkan. Terutama soal musik, yang menurut saya, pembahasannya lebih unggul dibandingkan dengan yang ada di majalah-majalah (remaja) perempuan.
Agar pembahasan lebih apple-to-apple, Budi mengambil contoh majalah pria dewasa yang hingga kini masih menjadi kiblat majalah pria dewasa lokal di Indonesia, yakni Matra. Menurutnya, secara konten, Matra sudah berhasil menghadirkan konten-konten seputar hidup pria yang dikemas dengan menarik, bergaya, dan yang paling penting, baik. Untuk itu ia menyematkan status “om yang seru” pada Matra.
Soal yang satu ini, Hikmat Budiman, penulis, redaktur, pendiri dan direktur Yayasan Interseksi, yang juga hadir sebagai pembicara pun mengamini. Ia yakin, satu poin penting yang dimiliki oleh tim redaksi Matra hingga akhirnya sukses menyuguhkan konten-konten bermutu dan seru adalah dedikasi menulis, authorship; itu yang semakin jarang dimiliki oleh para penulis saat ini. Ia sempat ‘curhat’ bahwa ia dan rekan-rekan sejawatnya di Interseksi juga sedang bergulat dan mendisiplinkan diri untuk mejaga mutu naskah-naskah panjang di yayasan tempatnya aktif saat ini. Gempuran media online yang terkesan tak mengindahkan kualitas karena hanya mementingkan kecepatan informasi, ditambah bujuk rayu kenikmatan semu berkicau di Twitter, meninggalkan pekerjaan rumah yang berat bagi mereka dan siapa saja yang hidup dari menulis. Dengan setengah berguyon, ia menyebut perjuangan ini sebagai ‘perlawanan terhadap tirani 140 karakter’. Saya beserta para tamu yang hadir kompak tertawa―meski tentu saja dalam hati meringis karena merasa dicubit, keras sekali.
Masih tentang authorship, Hikmat juga menyinggung peran editor, yang menurutnya, harus tega―bahkan kalau perlu otoriter―dalam memahat artikel-artikel yang tak selamanya selalu bermutu dari awal hingga akhir. “Boleh otoriter untuk konteks-konteks kecil, asalkan kompeten.” tukasnya singkat.
Bicara soal pria dan bacaannya, sulit untuk melepaskan diri dari topik wanita dan seksualitas. Bagaimana sosok wanita ditampilkan dalam majalah pria, adalah topik yang selalu menarik untuk dibahas. Intan Paramadita, novelis horor dan penulis sinema, gender dan seksualitas, yang juga hadir di antara pengunjung, turut menyampaikan pendapatnya.
“Rubrik profil Bung! edisi pertama menampilkan Lisabona Rahman. Kalau ini majalah Popular, mungkin yang jadi profil adalah Sophia Latjuba. Tapi kalian menampilkan Lisa yang saat itu akan ke Belanda untuk mengambil Master di bidang film archive. Lisa terlihat keren banget di situ!” akunya dengan antusias.
Kenyataan bahwa yang terbuka dari wanita-wanita dalam rubrik profil adalah pikirannya, dan bukan tubuhnya, menjadi keunggulan lain yang dimiliki majalah ini. Dengan sedikit menyimpulkan, Intan mengatakan bahwa pembaca Bung! adalah pria-pria yang mengidolakan sosok cerdas, yang menghargai wanita lebih dari sekadar kemolekan tubuhnya.
Meski begitu, menurut Intan yang pernah menyumbangkan tulisan di edisi pertama tentang perempuan petualang ini, merasa Bung! kecolongan dengan tetap menghadirkan artikel-artikel yang menurutnya justru melanggengkan nilai-nilai patriarkal. Ketika diminta menyebutkan contoh artikel yang dimaksud, wanita yang menempuh pendidikan Doktoral di New York University ini enggan menjawab.
Direktur ruangrupa, Ade Darmawan, angkat suara merespon pendapat Intan, “Kita hidup di Indonesia di tengah struktur masyarakat yang patriarkal. Sulit untuk meruntuhkannya. Jadi wajar saja kalau masih ada ‘bocor’ di sana-sini.” Ia lantas menceritakan suasana rapat redaksi saat membahas sampul depan majalah Bung!, bahwa betapa sulitnya menampilkan sosok wanita di luar citra usang “kecantikan” yang dikonstruksi oleh media; putih, jenjang, rambut panjang dan lurus, namun di saat yang bersamaan tetap harus terasa ‘badung’ dan ‘nakal’.
Saat sesi tanya jawab, muncul pertanyaan mengapa persoalan homoseksualitas tidak mendapat porsi di majalah ini. Ardi menjawab bahwa hal ini bukannya tidak pernah dipikirkan, bahkan, sudah menjadi perdebatan di awal penerbitan majalah ini. “Kami tidak menutup mata, dan mengakui bahwa homoseksualitas merupakan bagian dari masyarakat. Hanya saja, memang tidak ada porsi khusus bagi topik homoseksualitas.”
“Di edisi pertama ada artikel soal keperjakaan. Penulisnya, Mikael Johani, tak hanya membahas soal keperjakaan pria heteroseksual, tapi juga homoseksual.” imbuhnya lagi.
Bebagai usaha telah dilakukan oleh majalah ini untuk tidak sekadar menjadi majalah pria yang berbeda. Mulai dari pemilihan topik, pencarian penulis yang ternyata tidak mudah, maupun kehadiran fotografi yang turut menegaskan posisi majalah yang menganggap bahwa menjadi pria lebih dari sekadar gaya hidup, namun sebuah jalan hidup. Saya pun penasaran, sebenarnya sosok pria Indonesia seperti apa yang disasar majalah ini? Jika majalah-majalah gaya hidup pria yang ada menargetkan pria dengan tingkat pendidikan dan pekerjaan yang umumnya menengah ke atas―sehingga rubrik profil kerap menampilkan sosok eksekutif muda―saya tak yakin majalah ini berada di posisi yang sama dengan mereka. Apalagi majalah ini pernah menampilkan sosok tukang ojek di rubrik foto Pria Indonesia Hari Ini.
“Saya tidak terlalu percaya pembagian kelas sosial berdasarkan tingkat ekonomi. Yang pasti target pembaca Bung! adalah pria dewasa, berusia sekitar awal 20-an sampai 45 tahun. Mereka yang masih rindu dengan bacaan-bacaan mendalam dan jujur.” jelas Ardi menerangkan. Budi kemudian menimpali dengan mengatakan bahwa Matra yang dulu sudah jalan empat tahun saja, pernah mendapat pertanyaan melalui kolom surat surat pembaca tentang sasaran target mereka. Jadi menurutnya, persoalan mendefinisikan pria di Indonesia, adalah persoalan yang tidak pernah selesai.
Setelah hampir 90 menit bergulir, diskusi santai tentah majalah pria di Indonesia usai juga. Pengisi kolom cerpen di edisi pertama Bung!, Yusi Avianto Pareanom, didaulat untuk membacakan salah satu karyanya yang berjudul Cara-cara Mati yang Kurang Aduhai. Cerpen ini dimuat dalam buku kumpulan cerpen terbarunya yang berjudul Rumah Kopi Singa Tertawa.
Selama sekitar 15 menit, hadirin dibuai cerpen yang ia bacakan. Sesekali tawa pengunjung membahana di RURU Gallery yang menjadi tempat diskusi dan pembacaan cerpen malam ini. Yang lebih lucu adalah, cerpen ini sebenarnya menyedihkan, bahkan mengerikan, karena berkisah soal eksekusi mati. Namun berkat pilihan diksi yang memikat, Yusi sukses mengundang tawa setiap orang yang hadir di ruangan di ruangan berukuran 6 x 4 meter tersebut.
Efek Rumah Kaca hadir di penghujung acara Ayo Bung! dengan membawakan 10 lagu yang beberapa diantaranya adalah crowd pleaser seperti Cinta Melulu, Kenakalan Remaja di Era Informatika, Desember, Di Udara, dan Balerina. Tak urung sekitar 30 pengunjung yang memadati teras ruangrupa kompak menyanyikan bait-bait lirik setiap lagu yang dilantunkan Cholil, sang vokalis, meski malam itu hujan sempat mampir di Tebet.
Berakhirnya Ayo Bung! malam itu juga terasa seperti akhir dari ‘hubungan’ antara Bung! dan pembacanya. Namun saya sadar bahwa perpisahan ini memang sudah diniatkan di awal, sejak tercetusnya ide untuk menerbitkan majalah pria sejumlah empat edisi saja.
Di waktu yang singkat ini tentu masih banyak hal yang belum tuntas dibahas. Namun, di waktu yang singkat ini pula, majalah yang menyapa pembacanya dengan sebutan ‘Bung’ dan ‘Nona’ ini telah sukses tampil beda dengan menyuguhkan isu-isu menarik seputar hidup pria, namun tidak diberi porsi oleh majalah pria lainnya. Dan untuk itu, saya cukup bangga memproklamirkan diri sebagai salah satu pembaca majalah ini.
Sampai jumpa lagi, Bung!.
Leave a Reply