Commentary Portfolio

Destination: Unknown

DRIFT

Pada musim panas 1953, sekelompok ilmuwan melakukan perjalanan keliling kota Paris. Tak ada rencana, tak ada daftar tempat yang mesti dikunjungi, semua diserahkan pada impuls, yang saat itu tampak menjadi satu-satunya hal yang mendorong mereka untuk melakukan ‘pengelanaan’ tersebut. Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan seseorang dari suku Kabyle—etnis terbesar di Algeria—yang kemudian tanpa disadari, apalagi direncanakan sebelumnya, akan mengubah hidup mereka.

Tak ditemukan literatur yang menjelaskan isi obrolan antara kelompok tersebut dan seorang Kabyle yang buta huruf tersebut. Besar kemungkinan sekadar sapaan dan tanya-jawab basa-basi saja yang keluar dari mulut mereka sebagai pencair suasana. Hingga saatnya istilah “Psychogeography” terlontar dari mulut seorang Kabyle itu sebagai respon atas ‘jalan-jalan tak tentu arah’ yang sedang mereka lakukan. Guy Debord, teorikus Marxist asal Prancis dan salah satu pendiri Situationist International (SI), ikut dalam ‘pengelanaan’ itu.

Lalu apakah psikogeografi hanya membahas soal jalan-jalan tak juntrung, sebagaimana komentar orang Kabyle itu? Tidak juga. Kelompok revolusioner Situationist International tersebutlah yang kemudian mempolitisasi konsep psikogeografi dan menjadikannya kritik politis. Psikogeografi, menurut definisi Debord, secara lebih presisi, sekaligus berbeda dengan definisi orang Kabyle, adalah sebuah studi tentang efek lingkungan geografis atau tempat yang mengendalikan perilaku individu yang berada di dalamnya. Debord lebih jauh mengembangkan definisi psikogeografi tersebut dengan teori ciptaannya, dérive (drift), yaitu perjalanan tanpa rencana yang seluruhnya diatur oleh perasaan individual atas lingkungan sekitar, untuk pemetaan dan investigasi psikogeografi pada beberapa area berbeda. Singkatnya, arsitektur sesungguhnya mempengaruhi kehidupan orang-orang yang hidup di dalamnya, jauh lebih besar daripada yang biasa diperkirakan.

Berjalan santai di ruang kota, para pejalan kaki mencoba “membaca” kota dan memahami arsitekturnya. Layaknya seorang pengagum rahasia, mereka melihat kota dengan penuh hasrat yang terpendam. Pada saat yang sama, mereka terlibat “rekonstruksi main-main”: berbalik menatap kota secara menyeluruh.

Ilustrasi teks lengkap Psychogeography Game of The Week yang diterbitkan di Potlatch #1, edisi 22 Juni 1954.
Ilustrasi teks lengkap Psychogeography Game of The Week yang diterbitkan di Potlatch #1, edisi 22 Juni 1954.

Proses berbalik inilah yang menjadi kunci strategi kelompok SI, atau yang mereka sebut sebagai “détournment. Mereka memakainya sebagai alat berdialektika, atau berpikir secara teratur, logis, dan teliti. Gaya ‘pemberontakan’ ini menggunakan kondisi masa lalu untuk menunjukkan ketidakberesan masa kini yang penuh kebohongan lagi berbalut ideologi. Sehingga jika dianalogikan, proses “berbalik” adalah proses melihat ke masa lalu dan berusaha “membaca” kota untuk menyingkap fakta-fakta tersembunyi di balik pulasan ideologi—yang dalam dimensi waktu sekarang berwujud arsitektur kota—yang menawan, namun sebenarnya menipu (deceiving).

Menggunakan teknik tersebut, para Situationist menyingkap kemiskinan yang menjadi skandal kehidupan sehari-hari di negara asal mereka, Prancis, pada 1950-an. Mereka berusaha memperlihatkan perbedaan yang nyata, antara apa yang terjadi dengan yang semestinya terjadi. Mereka ingin masyarakat dapat melepaskan hasrat terpendamnya, dan berhenti menjadi bagian dari masyarakat yang terkomodifikasi. Jika hal ini terlaksana, agaknya suasana keguyuban, kesatuan dalam ruang publik akan lebih diinginkan dibandingkan komodifikasi, perpecahan, dan privatisasi.1

Contoh pemetaan atmosfer kota berbasis ide-ide pergerakan Lettrist dan Situationist International. Peta Paris dipotong di beberapa area berbeda, yang oleh sebagian orang dialami sebagai lingkungan dengan karakter yang berbeda. Potongan-potongan area tadi diletakkan secara menyebar, sehingga menciptakan jarak mental yang terasa jauh. Dengan mengembara, membiarkan diri 'mengapung' atau 'melayang' (dérive), setiap orang dapat menemukan kesatuan hubungannya di suatu kota. Tanda panah berwarna merah tersebut menunjukkan jalur penyeberangan yang paling sering dilakukan, terpisahkan oleh arus lalu lintas.
Contoh pemetaan atmosfer kota berbasis ide-ide pergerakan Lettrist dan Situationist International. Peta Paris dipotong di beberapa area berbeda, yang oleh sebagian orang dialami sebagai lingkungan dengan karakter yang berbeda. Potongan-potongan area tadi diletakkan secara menyebar, sehingga menciptakan jarak mental yang terasa jauh. Dengan mengembara, membiarkan diri ‘mengapung’ atau ‘melayang’ (dérive), setiap orang dapat menemukan kesatuan hubungannya di suatu kota. Tanda panah berwarna merah tersebut menunjukkan jalur penyeberangan yang paling sering dilakukan, terpisahkan oleh arus lalu lintas.

Di negara-negara Barat, makna konsep psikogeografi kemudian mengalami pergeseran. Berangkat dari definisi milik Debord, bahwa efek lingkungan geografis mengendalikan perilaku individu, salah satu kasus yang bisa menjadi contoh adalah yang terjadi di Inggris. Pada 1980-an, Inggris mulai dipenuhi CCTV alias kamera pengintai di berbagai penjuru kota.2 Sejak itu, perilaku masyarakat otomatis dipengaruhi oleh kehadiran CCTV. Sehingga berjalan kaki dapat dianggap sebagai bentuk perlawanan jika bisa menghindar dari pandangan mesin-mesin pengintai itu. Dapat dibayangkan, bagaimana kikuknya masyarakat Inggris di luar rumah karena ‘terpaksa’ menjadi ‘teratur’ di depan kamera. Bagi yang tak suka dengan kondisi ini, mungkin akan membuat jalur khusus yang berisi rute-rute mana yang dianggap “cukup aman”, yang memiliki kamera dengan jumlah paling sedikit.3

Pergeseran-pergeseran yang terjadi tersebut turut meresahkan Iain Sinclair, penulis dan sineas asal Inggris yang juga kerap disebut sebagai psikogeografer kontemporer. Definisinya tentang psikogeografi memang lebih cair—yang menurutnya dicetuskan pertama kali oleh esais Thomas De Quincey: “Wanderings, slightly druggy, no pattern, and mapping out the city (pengelanaan, sedikit teler, tidak berpola, dan memetakan kota).”4 Namun pergeseran-pergeseran tersebut membuatnya menyimpulkan bahwa yang tersisa dari psikogeografi adalah makna samar antara “berjalan kaki” dan “keliling kota”. Pernyataan itu masih merupakan bagian dari rangkaian kritiknya atas Will Self, penulis asal Inggris yang sempat memiliki kolom khusus tentang ‘psikogeografi’ di surat kabar The Independent periode 2003 – 2008. Sinclair menyatakan dengan tegas bahwa kolom-kolom Self tak mengusung semangat psikogeografi yang sebenarnya, melainkan sekadar deskripsi-deskripsi ruang dan tempat saja yang tak ada hubungannya dengan psikogeografi.

Di Indonesia sendiri, gaung psikogeografi belum begitu kentara. Namun, kita mengenal istilah yang memiliki makna dan mengusung semangat yang serupa dengan konsep yang ditawarkan oleh psikogeografi: “berjalan-jalan”. Dalam percakapan sehari-hari kita kerap mempersingkatnya menjadi “jalan-jalan”, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya “bersenang-senang dengan berjalan kaki”. Tujuannya bukan lagi abstrak, seringkali justru tidak ada. Sehingga tanpa disadari, sebenarnya kita telah menerapkan konsep psikogeografi sejak lama.

Umumnya, seseorang berjalan-jalan dengan alasan mencari udara segar, melepas ketegangan otot, pikiran, dan sebagainya. Dari kegiatan iseng-iseng itulah terkadang kita menemukan “hadiah” yang mungkin tanpa sadar kita harapkan. Secara sederhana misalnya, kita berjalan-jalan keliling kompleks perumahan hanya untuk mencari udara segar setelah seharian berkutat di depan layar komputer. Di tengah perjalanan, kita berpapasan dengan teman lama yang kebetulan baru pindah rumah. Usai mengobrol singkat, kita meneruskan perjalanan ke blok selanjutnya. Dibandingkan yang lain, blok ini terlihat dijaga lebih ketat. Selain ada pos satpam di ujung gang, ternyata lebih dari satu pemilik rumah di gang ini yang memelihara seekor anjing yang cukup bikin nyali ciut. Haus lalu mulai terasa saat kita melewati area ketiga di mana ada penjual es kelapa muda yang mangkal. Di sana, kita singgah untuk istirahat dan melepas dahaga. Setelah puas, sore beranjak senja. Saatnya untuk pulang.

Dari pengelanaan singkat tersebut, sebuah peta mental telah tercipta. Di sana terdapat jejak-jejak virtual berbentuk acak, yang menyimpan karakter-karakternya sendiri. Jejak acak tersebut akan menemukan polanya, jika pengelanaan ini dilakukan berulang-ulang, meski melewati rute-rute yang berbeda sekalipun. Jika garis-garis pada peta lebih menunjukkan isi pikiran seorang perencana perkotaan,5 maka tidak demikian dengan peta mental yang telah melalui serangkaian pengalaman langsung. Di masa depan, peta tersebut akan membantu kita mencapai tujuan tertentu. Kalau pun tidak, ia masih dapat membuat kita seolah-oleh mengalami kembali pengelanaan tiga blok tersebut. Jika enggan berurusan dengan anjing galak, maka dengan sendirinya otak akan memerintahkan anggota tubuh yang lain untuk segera mengambil rute yang berbeda.

Ilustrasi peta mental psikogeografi berjudul The Cityman.
Ilustrasi peta mental psikogeografi berjudul “The Cityman”.

Pengelanaan-pengelanaan berbasis coba-coba juga dapat dipraktikkan saat kita beraktivitas menggunakan kendaraan. Karena suatu hal, macet misalnya, terkadang kita tergerak untuk segera mencari rute lain yang tidak memiliki hambatan serupa. Satu lokasi tujuan dapat dicapai dengan beberapa rute dengan suasana yang berbeda.

Hingga kini di Indonesia, tampaknya psikogeografi lebih banyak digunakan sebatas kepentingan individu. Jika ada yang yang mengeksplorasi untuk hal yang lebih besar dan lingkup yang lebih luas, jumlahnya tak banyak. Salah satunya barangkali komunitas Peta Hijau (Green Map Indonesia). Komunitas yang berdiri sejak 2001 itu mengemban misi mewadahi berbagai inisiatif lokal demi terciptanya kehidupan yang sehat dan berkelanjutan. Komunitas mereka tersebar di beberapa kota di Indonesia. Hasil program komunitas ini cukup menarik untuk disimak, misalnya peta hijau keanekaragaman hayati dan peta informasi kawasan. Keduanya menghadirkan informasi yang dapat mendukung gaya hidup ramah sosial dan ramah lingkungan.

Green Map Indonesia juga kerap mengadakan lokakarya. Salah satu yang pantas dicermati adalah Lokakarya Peta Hijau Pejalan Kaki yang diadakan pada akhir Mei 2012 di Yogyakarta. Mereka mengajak masyarakat untuk mengenali berbagai permasalahan seputar isu pejalan kaki beserta fasilitasnya. Mereka memetakan kondisi trotoar serta perilaku pengguna jalan terhadap fasilitas jalanan yang ada.6 Pernah pula mereka mengadakan lokakarya bertajuk Kampung Memori yang pesertanya tak lain adalah anak dan para keponakan salah seorang anggota Green Map Yogyakarta sendiri, Maria Hidayatun. Ia ingin agar memori masa lalu mengenai kampung Nyutran, tempat di mana mereka lahir dan dibesarkan sebelum kemudian berpencar ke kota-kota lain, turut dirasakan oleh anak-cucu mereka.7

Berbagai inisiatif yang dilakukan warga di kotanya, salah satunya adalah untuk menjadikan kota sebagai hunian yang lebih manusiawi. Pemahaman psikogeografi dapat menjadi salah satu bekal untuk melaksanakan misi tersebut. Amat disayangkan jika akhirnya nilai yang tersisa dari studi ini hanya sekadar berjalan kaki keliling kota, alias sebuah bentuk baru pariwisata belaka.***


1 Sadie Plant, The Most Radical Gesture: The Situationist International in A Postmodern Age (Routledge, 1992). Tautan: http://www.geog.leeds.ac.uk/people/a.evans/psychogeog.html, diakses pada 1 Juni 2012, pukul 01:00 WIB.

2 Tidak sedikit yang berspekulasi bahwa hal ini dipicu oleh novel fenomenal karya George Orwell yang berjudul 1984. Novel distopia tersebut diterbitkan pada 1949, namun ceritanya mengambil waktu tahun 1984, saat kediktatoran partai Oligarki sedang berkuasa. Begitu fenomenalnya, hingga hal ini dianggap sebagai respon berlebihan—bahkan paranoid—terhadap sang penguasa.

3 Hingga kini, Inggris masih menjadi negara dengan jumlah CCTV terbanyak. Menurut situs Cctv.co.uk, jumlah CCTV di Inggris pada 2011 menunjukkan angka yang cukup fantastis, yakni 1,5 juta buah. Protes warga banyak bermunculan. Salah satu aksi protes paling terkenal akan serbuan kamera pengintai ini adalah karya street artist, Banksy, yang menuliskan “One Nation under CCTV” berukuran besar di dinding sebuah gedung. Tautan: http://www.cctv.co.uk/how-many-cctv-cameras-are-there-in-the-uk-in-2011. Karya Banksy bisa dilihat pada: http://www.telegraph.co.uk/news/uknews/1895625/Banksy-pulls-off-daring-CCTV-protest-in-London.html

4 Caff Masters: Iain Sinclair at The Copper Grill, tautan: http://www.classiccafes.co.uk/isinclair.htm. Diakses pada 31 Mei 2012, pukul 23:00 WIB.

5 Ade Darmawan, Tin Ribbon, Swarms, rhizomes, swarms, liquid spaces and gLÖbAL PosITioÑ deViCEs, katalog proyek seni rupa (Jakarta: ruangrupa, 2001). Versi lengkap kutipan adalah, Lines on the map tell more about thecity-planners’ mind than about the self-organizing systems.

6 Sudah bukan rahasia lagi jika pejalan kaki kerap diperlakukan sebagai pengguna jalan yang dipandang sebelah mata. Fasilitas trotoar yang jumlahnya tak seberapa dan kondisinya memprihatinkan, masih sering diserobot oleh para pengendara sepeda motor. Di video berjudul Pembela Hak Pejalan Kaki yang diunggah oleh wierki14 pada 3 September 2009 ini, tampak seorang ibu yang kesal dan memarahi pengendara sepeda motor yang menyerobot naik ke atas trotoar: http://www.youtube.com/watch?v=_Q84iAN0WVY. Di dunia maya sendiri, gerakan serupa hadir melalui akun Twitter @JalanKaki yang khusus menyoroti permasalahan pejalan kaki di Jakarta.

7 Adriani Zulva, Anak Kota Memeta Kampung, http://greenmap.or.id/peta-hijau-indonesia/34-yogyakarta/227-anak-kota-memeta-kampung.html. Diakses pada 1 Juni 2012, pukul 17:00 WIB.

 

*) Tulisan ini dibuat sebagai pengantar pameran DRIFT yang diselenggarakan pada 7 – 16 Juni 2012 di RURU Gallery, Jakarta. Pameran seni multimedia ini dikuratori oleh Mahardika Yudha dan melibatkan tiga seniman muda yakni Prilla Tania, Bagasworo Aryaningtyas, dan Ricky Janitras.