Romantisme
Kemarin siang, saya menuliskan sesuatu melalui akun Twitter. Begini kalimatnya:
Tahun lalu, jam segini perdebatan batin dimulai; terus berharap atau mengikhlaskan. Dijawab 18 jam kemudian. #29Juli
Bagi yang tak mengenal saya dengan dekat, twit tadi terasa ambigu. Benar saja, tak lama dua orang teman saya merespon dengan dugaan bahwa kalimat tersebut berhubungan dengan percintaan. Salah seorang dari mereka langsung ‘menuduh’ tahun lalu adalah saat saya mendeklarasikan hubungan dengan pasangan saya–padahal tahun ini hubungan kami sudah jalan lima tahun–dan yang seorang lagi bertanya apakah twit tadi berhubungan dengan pekerjaan atau romantisisme.
Saya memutuskan untuk menanggapi yang ke dua. Begini balasan saya:
#29Juli romantis banget, nu. Lebih intim dari persetubuhan. Well, gue memang pernah setubuh sama beliau sih. :’)
Ya, sebenarnya saya memang hanya ingin mengenang ibu saya yang wafat tepat setahun lalu, dan sehari sebelumnya, saya mulai goyah, antara terus berharap dan berdoa demi kesembuhannya, atau mulai mengikhlaskan diri dan memasrahkan segalanya.
Akhirnya saya memutuskan untuk memilih opsi ke dua. Sekuat tenaga saya coba enyahkan sifat egois yang selama ini menggelayut. Saya ingin terus bersama ibu, hinga saya melupakan kemungkinan bahwa jangan-jangan sebenarnya ibu sudah lelah berjuang melawan penyakitnya, dan hanya ingin beristirahat dengan tenang.
Kamis siang, 29 Juli 2010, sambil menahan isak tangis, dan berusaha menegar-negarkan diri, saya berbisik di telinga ibu, “Ma, Sara ikhlas. Mama sudah berjuang sekuat tenaga selama ini. Kalau mama sudah capek, dan mau istirahat, Sara ikhlas. Maaf kalau selama ini Sara egois dan kepingin mama terus ada buat Sara dan keluarga. Mama bisa istirahat sekarang. Sara ikhlas ma…”
Ibu seakan ‘menunggu’ saya. Tak sampai lima belas menit kemudian, ia menghembuskan nafas terakhirnya…
***
Hai ma, apa kabar? Tak terasa ya sudah setahun. Kami merindukanmu. Segala memori tentang dirimu bisa tiba-tiba menjelma menjadi zat kasat mata yang menyesakkan dada. Sungguh. Tapi kau tak perlu kuatir. Kami baik-baik saja, karena kami tahu, kau pun begitu di atas sana.
saya kehilangan ayah tanpa sempat mengikhlaskan sar. dia diambil seolah-olah tanpa menunggu saya 🙂
Mungkin beliau nggak sampai hati, ris, kalau mesti “pamit”. 🙂