Usaha Merawat Sejarah di Hari Pers Nasional
Beberapa kejadian belakangan ini berkelindan erat, membuat peringatan Hari Pers Nasional yang jatuh pada 9 Februari kali ini terasa melankolis.
Dimulai dari minggu lalu, saat saya bersama Nidaa, Data Analyst di Nafas, hadir di forum diskusi yang diadakan oleh Resilience Development Initiative (RDI) untuk membahas soal diseminasi informasi hasil pemantauan kualitas udara. Acara tersebut juga dihadiri oleh perwakilan institusi-institusi pemerintahan. Kami berbagi pandangan soal kerja-kerja produksi dan distribusi konten yang dilakukan oleh Nafas. Bagaimana kami mengolah data saintifik dan informasi kompleks ke dalam bahasa visual yang menarik dan mudah dipahami. Jika kemudian memicu diskusi dalam skala yang jauh lebih besar dan menjadi topik nasional pada periode Juni-Agustus 2023, hingga mendapatkan perhatian dari Presiden Jokowi dan pemerintah pusat, artinya ada keresahan warga yang terwakili di konten-konten tersebut. Ada beban harapan yang dititipkan kepada kami.
‘Viralnya’ isu polusi udara di media sosial tersebut rupanya dianggap menarik sebagai bahan penelitian. Beberapa hari lalu, saya dan Nidaa diminta menjadi narasumber oleh seorang mahasiswa S2 Sosiologi UI mengenai ‘viralitas’ topik polusi udara di Jakarta.
Di salah satu pertanyaan, saya menjawab sambil menerangkan rangkuman linimasi ‘viralitas’ topik polusi udara tahun 2023 yang kami sertakan di dalam Laporan Kualitas Udara Nafas bulan Agustus 2023 (selengkapnya di halaman 39-46).
Ia mengapresiasi usaha riset yang tim kami lakukan. Saat itu saya hanya merespons singkat dengan mengucapkan terima kasih. Bagi kami yang rutin memproduksi konten, riset lumrah dilakukan dan sudah menjadi rutinitas. Namun, semakin saya pikirkan, kerja-kerja riset tidaklah mudah. Jadi izinkan saya menggunakan momen ini untuk kembali memberikan apresiasi tertinggi kepada tim konten dan media sosial, tim data, serta tim kreatif Nafas. Mereka-mereka lah, yang selama satu setengah tahun terakhir ini, bersama saya intens memproduksi konten-konten Nafas. You’re all doing fantastic work!
Momen selanjutnya yang cukup melankolis di peringatan Hari Pers Nasional kali ini adalah saat peringatan hari lahir Pramoedya Ananta Toer yang ke-99 pada 6 Februari lalu. Gara-gara satu cuitan di X yang lewat di linimasa, saya jadi bernostalgia pada kenangan nyaris dua dekade silam, saat masih berstatus mahasiswa tahun pertama dan anggota baru pers mahasiswa Media Publica.
Saat itu, saya bersama dua orang kawan, dua senior, dan seorang penghubung berkesempatan bertemu dan mewawancarai Bung Pram langsung di kediamannya di Bojong Gede.
Obrolan kami berlangsung selama kurang lebih 2 jam dan menghabiskan 4-5 kaset mini recorder. Hasil wawancara aslinya diterbitkan sebagai surat kabar Media Publica di kampus dulu, namun versi daringnya masih bisa dibaca di sini: Wawancara Pramoedya Ananta Toer (2005).
Sejak itu, dan tentu saja berkat pengaruh mahakarya-mahakarya Bung Pram, saya semakin yakin bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Sepintar apapun, jika kita tidak menulis, kita akan tenggelam dan hilang dari sejarah. Selain menulis, saya juga belajar bahwa melakukan pengarsipan merupakaan pekerjaan yang tidak kalah penting. Dan itu yang ia giat lakukan hingga akhir hayatnya: mengarsip.
Sebuah kebetulan manis jika beberapa hari setelahnya, Bung Pram kembali ‘hadir’. Kali ini di layar lebar, melalui kutipan yang diucapkan oleh Sarmadji, salah seorang pelajar Indonesia yang dibuang paksa oleh rezim Orde Baru puluhan tahun silam. “Save what can be saved (Selamatkan apa yang bisa diselamatkan),” ujar Sarmadji, mengutip Pramoedya Ananta Toer, salah satu penulis kesukaannya, dalam dokumenter Eksil (2022) besutan Lola Amaria.
Film ini mengisahkan para eksil yang dibuang paksa saat sedang belajar ke luar negeri oleh rezim Orde Baru. Mereka klayaban puluhan tahun tanpa kewarganegaraan di negeri orang. Di antara banyak eksil yang dihadirkan dalam dokumenter ini, sosok Sarmadji yang paling menarik perhatian saya.
Ia diasingkan saat sedang menempuh Pendidikan Luar Sekolah di Tiongkok. Kewarganegaraannya dirampas dan dilarang pulang ke tanah air. Selama di Tiongkok hingga akhirnya tutup usia di Belanda pada Desember 2022, ia tidak pernah berkeluarga ataupun memiliki keturunan. Hidupnya hanya ditemani ribuan buku, arsip, serta dokumentasi sejarah Indonesia, khususnya yang terkait tragedi 1965-1966.
Sarmadji mendirikan Perkumpulan Dokumentasi Indonesia (Perdoi) sebagai usaha menyelamatkan arsip sejarah bangsa yang tercecer dan rentan (di)hilang(kan). Hingga akhir hayatnya, Sarmadji setia melakukan dua hal: mencintai Indonesia dan meneruskan kerja-kerja mulia penulis kesukaannya terdahulu (Pramoedya Ananta Toer); merawat sejarah lewat dokumentasi.
Atas nama Udin, Ersa Siregar, Maraden Sianipar, Herliyanto, dan Naimullah, mewakili seluruh wartawan Indonesia yang dibunuh, diteror, diancam, dan dikriminalisasi saat bertugas, saat berusaha menjadi nyala dalam gelap, saat menyuarakan kebenaran namun dibungkam, dan saat berada di garis depan merawat ingatan lewat cetakan sejarah.
Selamat Hari Pers Nasional dan panjang umur perjuangan!
Leave a Reply