Dakwah Multimedia Irfan ‘Ipang’ Wahid
“Saya ingin mengubah pola pikir masyarakat Indonesia. Dan itu yang menjadi jihad saya.”
Bicara dunia industri kreatif tanah air yang sedang naik daun belakangan ini, rasanya sulit untuk tidak memasukkan nama Ipang Wahid. Di tangan pria 40 tahun ini, telah lahir lebih dari 400 iklan. Piala Citra Pariwara kategori Best Directing pun bolak-balik berada di tangannya. Namanya pun semakin diperhitungkan karena dalam beberapa tahun belakangan ini Ipang mulai memasuki ranah komunikasi politik dengan memproduksi berbagai iklan kampanye. Klien yang pernah ditanganinya beragam, mulai dari calon walikota, partai politik, hingga calon presiden. Anda mungkin masih ingat berbagai iklan kampanye calon presiden Jusuf Kalla pada pemilu lalu? Itu salah satu hasil oleh kreatifnya.
Keseimbangan pemikiran menjadi salah satu kunci keberhasilannya. Dalam iklan menurutnya terdapat dua aspek, yaitu kreatif dan sales. “Keduanya harus seimbang, jangan sampai iklan yang kita buat hanya kreatif tapi produknya tidak laku. Karena kita menjual produk, bukan kreativitas,” ujarnya.
Dalam berkreasi, Ipang juga merasa memiliki tanggung jawab kepada masyarakat luas. Atau menurut istilahnya, “dakwah multimedia”. Ia pun menjelaskan istilah itu dengan caranya yang mbeling, “Dakwah itu berarti menebarkan kebaikan. Saya ingin membuat karya yang dapat memberikan manfaat positif kepada orang banyak. Bagi saya, dakwah itu bukan ceramah pagi-pagi di televisi, tapi Sabtu malam jam tujuh di kafe. Itu yang lebih sulit.”
Sedangkan keterlibatannya pada dunia iklan politik tentu sedikit banyak akibat “gen”politik yang mengalir di dalam tubuhnya. Kedua kakeknya, KH Wahid Hasyim dan KH Saifuddin Zuhri merupakan ulama besar Nahdlatul Ulama (NU). Namun mengenai pengaruh latar belakang keluarga terhadap bidang yang baru ia geluti, ia menjawab dengan bijak, “Dalam politik memang tidak ada yang bersih, makanya saya memilih klien yang satu visi dan misi dengan saya.”
Meskipun telah menyutradarai banyak iklan, Ipang masih memiliki obsesi yang hingga kini belum tercapai. Salah satunya adalah membuat suatu lembaga yang menaungi kreativitas, “Seperti Lemhanas, mungkin namanya akan menjadi Lembaga Kreativitas Nasional.” Alasannya karena ia percaya kreatifitas bukan hanya milik para seniman. Ia kemudian bercerita tentang kesuksesan seorang pemuda dusun yang memanfaatkan produksi utama desanya dengan mengembangkan bisnis kudapan berbahan dasar ketela. “Industri kreatif di Indonesia sudah ada dari dulu,” sambungnya singkat.
Lalu, apa obsesinya yang kedua? “Saya ingin mengubah pola pikir masyarakat Indonesia,” ujarnya tegas. Untuk melancarkan obsesinya itu, Ipang memilih televisi sebagai media jihad, karena menurutnya sampai saat ini penyebaran informasi terbesar di Indonesia melalui televisi. Ia mencontohkan korupsi sebagai budaya laten di negara ini. “Korupsi tidak hanya terjadi di kantor pejabat negara, tapi juga di rumah pada pagi hari ketika seorang anak berbohong pada ibunya masalah uang jajan. Pola pikir semacam itu yang harus diubah, dan itu yang menjadi “jihad” saya,” ujarnya sembari mantap menutup perbincangan.
MERANGKAK DARI BAWAH
Terlahir dari pasangan orangtua Salahuddin Wahid dan Farida Saifuddin, pria yang bernama lengkap Irfan Asy’ari Sudirman ini sempat mengenyam pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) jurusan Desain Komunikasi Visual. Namun karena merasa ilmu yang didapat belum cukup, Ipang kemudian melanjutkan studi di Art Institute of Seattle dan mengambil jurusan Music & Video Business. Perjalanan karier Ipang dimulai ketika ia kembali ke Jakarta pada tahun 1993 dan bekerja di sebuah rumah produksi bernama Katena Films. “Dulu saya kerja mulai dari bawah, semua lini saya jalani. Pernah menjadi asisten produksi, line producer, dan lain- lain. Saya juga pernah kuliah sambil kerja di agensi iklan yang cukup besar di Jakarta,” jelasnya singkat. Baru pada sekitar 1996, ia dipercaya untuk memproduksi iklan sebagai seorang sutradara.
…
Foto: Rinal Wiratama Publikasi: Esquire Indonesia edisi Desember 2009.
Leave a Reply