Bingkai Plesir Kota ATLAS

Seorang pengunjung sedang melihat stereo foto dengan View-Master. Foto-foto menampilkan 4 museum di Semarang: Museum Mandala Bhakti, Musem Ronggowarsito, Museum Rekor Indonesia, dan Museum Jamu Nyonya Meneer. (foto: Rizki Lazuardi)

 

KAPAN terakhir kali Anda berkunjung ke Semarang, di luar urusan pekerjaan dan kunjungan tahunan pada hari raya? Sarana rekreasi yang terdapat Semarang memang tidak sevariatif di Jakarta. Keindahan alamnya pun tak bisa disandingkan dengan deretan bukit di Papua. Jangan pula membandingkan Pantai Maros dengan Pantai Nusa Dua yang ada di Bali. Tak heran jika akhirnya Semarang jarang masuk ke dalam daftar destinasi liburan favorit.

Tapi, industri pariwisata Semarang yang kian lesu ternyata tak menyurutkan minat penduduk lokal untuk bersenang-senang, meski kelihatannya pemerintah daerah tak bergairah untuk menggelorakan kembali tempat-tempat rekreasi yang ada. Minimnya fasilitas memacu mereka, terutama muda-mudi, untuk semakin kreatif “menciptakan” tempat baru sebagai tempat berkumpul (melting pot). Alhasil, menjamur lah tempat rekreasi “jadi-jadian” yang kini pamornya jauh mengalahkan tempat rekreasi yang sesungguhnya.

Salah satu contoh yang paling terkenal adalah Lawang Sewu. Bangunan yang namanya berarti “seribu pintu”—meski tidak benar-benar memiliki seribu pintu—ini sudah lama dibiarkan kosong sejak pemakaian terakhir sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau kini PT Kereta Api Indonesia. Sekitar tahun 2003, bangunan ini dijadikan lokasi syuting Dunia Lain, sebuah program televisi bertema horor. Praktis sejak saat itu kehadirannya tak bisa dilepaskan dari nuansa mistis. Anehnya, hal ini justru menjadi daya tarik kuat bagi turis, baik yang berasal dari dalam maupun luar Semarang. Bangunan yang lama tak dihiraukan, kini secara pelahan tapi pasti berubah menjadi salah satu destinasi utama saat berkunjung ke Semarang. Orang-orang seperti tak masalah mengeluarkan sekian puluh ribu sebagai biaya “tiket masuk” dan biaya “pemandu”. Persoalan legalitas kedua hal tersebut, saya tak berani jamin.

Selain Lawang Sewu, ada pula Tugu Muda yang menjadi tongkrongan favorit muda-mudi Semarang. Bagi Anda yang belum tahu, tugu ini layaknya Patung Selamat Datang di Bundaran HI. Sebuah landmark yang berada di pusat kota. Bedanya, tugu tidak dikelilingi kolam air mancur, melainkan taman. Setiap malam, terutama hari Sabtu, lokasi ini dipadati pengunjung yang sekadar mengobrol dan bercanda ria. Kegiatan senang-senang tersebut tak afdol jika tidak ditambah foto-foto. Tak ada kamera, ponsel berkamera pun jadi.

 

Merekam Keriaan

Budaya merekam kegiatan wisata di Semarang tersebut yang dijadikan tema besar dalam pameran kolaborasi dua seniman lokal, Irfan Fatchu Rahman dan Rizki Lazuardi. Pameran bertajuk “ATLAS Holiday” ini diselenggarakan sejak 19 – 26 Maret di Lembaga Budaya Belanda Widya Mitra, Semarang. “ATLAS” yang dimaksud bukanlah buku peta, namun slogan kota Semarang yang merupakan singkatan dari “Aman, Tertib, Lancar, Asri, dan Sehat”. Keduanya mencoba melihat Semarang dari dua sudut pandang berbeda. Irfan lahir dan tinggal di Semarang hingga sekarang. Sedangkan Rizki sejak tiga tahun silam bekerja dan tinggal di Jakarta, sehingga ia sekaligus membawa sudut pandang turis dalam melihat kembali Semarang.

Seri karya pertama mereka yang berjudul Instant Memories menghadirkan 23 foto rekonstruksi di berbagai tempat rekreasi, seperti Kelenteng Sam Poo Kong, Taman Hiburan Wonderia, Kebun Binatang Mangkang, dan lain-lain. Selain itu, ada pula tempat rekreasi “baru” seperti Lawang Sewu, Taman KB, Tugu Muda, dan lain-lain. Sebagian besar tempat baru tersebut sebenarnya  termasuk kedalam kategori ruang publik dan bukan tempat rekreasi. Namun jumlah pengunjung di tempat-tempat baru tersebut cenderung lebih besar dibandingkan yang memadati tempat-tempat rekreasi yang sesungguhnya. Berhubung ini adalah foto rekonstruksi, maka keduapuluh tiga “turis” yang ada dalam foto tersebut bukanlah turis sungguhan, melainkan teman-teman mereka sendiri yang diminta berpose a la turis.

Foto diambil menggunakan kamera instan, lalu dipamerkan dengan menggunakan sampul. Tujuannya untuk menciptakan ilusi bahwa seluruh foto tersebut difoto oleh seorang fotografer keliling. Sampul berfungsi untuk mencegah sidik jari berbekas di permukaan foto.

Jika di seri karya pertama kedua seniman berpura-pura sebagai fotografer keliling, maka di seri karya Order Speculation, sosok tersebut benar-benar dihadirkan lewat foto dalam medium neon box dan rekaman suara. Mereka adalah Sutono dan Bowo. Keduanya beroperasi di Bonbin (kebun binatang) Mangkang. Sutono mewakili kelompok fotografer order yang biasanya ditunjuk secara resmi oleh suatu tempat rekreasi. Sedangkan Bowo adalah seorang fotografer spekulasi yang berkeliaran di tempat-tempat rekreasi dan memotret secara acak pengunjung yang datang. Baru nanti hasil jepretannya digelar di dekat pintu keluar, dengan harapan dibeli oleh pengunjung yang wajahnya terpotret oleh Bowo.

Di masing-masing foto, keduanya terlihat mengalungkan kamera instan. Pada kenyataannya, baik Sutono maupun Bowo menggunakan kamera digital. Penambahan objek yang telah lewat masanya ini bertujuan untuk menunjukkan kepada kita bahwa profesi mereka turut berubah akibat perkembangan teknologi. Meski kini ponsel berkamera menjamur dimana-mana, eksistensi mereka tetap dianggap penting di setiap tempat rekreasi. Fotografer keliling menjadi andalan bagi pengunjung yang ingin mengabadikan momen-momen rekreasional, namun terbentur fasilitas.

Pada seri karya Amusement and Spectacle, kedua seniman menggunakan medium film dalam menampilkan video tiga kanal (triptych video) tentang kegiatan wisata di dua tempat rekreasi, yakni Taman Hiburan Wonderia dan Lawang Sewu. Dua dari tiga kanal video tersebut merupakan rekaman rekonstruksi yang dilakukan oleh mereka, sedangkan satunya lagi merupakan found footage berupa rekaman liburan keluarga di tahun ’70-an yang tak sengaja ditemukan Rizki di tempat penjualan barang loak di Jakarta. Ketiga kanal video tersebut disandingkan, lalu disajikan sebagai sebuah rekaman audio visual kegiatan wisata.

Waktu 40 tahun lebih yang terpaut antara rekaman temuan dan rekaman rekonstruksi menjadi bias karena karakter medium film 8 mm yang digunakan memiliki resolusi rendah. Sehingga detail visual semisal perubahan tempat rekreasi zaman dahulu dan sekarang juga tidak begitu kentara.

Ketiga kanal video ini memperlihatkan bahwa usaha merekam kegiatan wisata sudah sejak lama dilakukan, tak hanya dalam bentuk visual, namun juga audio visual. Terbukti adanya temuan otentik—meski tak sengaja—rekaman dari tahun ’70-an. Hal ini menegaskan bahwa usaha perekaman menjadi sama pentingnya dengan kegiatan wisata itu sendiri. Yang perlu kita ingat adalah, pada masa itu peralatan rekam tidak semudah dan semurah sekarang, sehingga hanya momen-momen tertentu saja yang dianggap berharga dan layak direkam. Hal ini sejalan dengan pernyataan Susan Sontag dalam bukunya On Photography, yang mengatakan bahwa rekaman visual (foto) merupakan miniatur realita atau pengalaman yang terbingkaikan. Kita berhasrat untuk mengabadikan setiap momen rekreasional dengan harapan dapat “merasakan” kembali keriaan tersebut  di masa depan.

Jika di tiga seri karya sebelumnya kedua seniman menggunakan medium standar dalam menampilkan rekaman visual dan audio, maka di seri karya terakhir yang berjudul Amusing Museums, mereka menggunakan perangkat hiburan kuno View-Master. Benda yang dikategorikan sebagai mainan ini digunakan untuk melihat tujuh foto yang terdapat pada sebuah piringan kertas. Ketujuh foto tersebut nantinya terlihat seperti sebuah gambar tiga dimensi atau disebut juga sebagai stereo foto. Di negara asalnya, Amerika Serikat, View-Master awalnya digunakan untuk keperluan promosi objek wisata. Piringan kertas diisi foto-foto pemandangan alam dan berbagai atraksi yang menarik perhatian para turis. Di Indonesia sendiri, mainan ini sempat populer di akhir ’80-an.

Ada empat buah View-Master yang tersedia, dengan total 28 buah stereo foto empat musem di Semarang, yakni Museum Mandala Bhakti, Musem Ronggowarsito, Museum Rekor Indonesia, dan Museum Jamu Nyonya Meneer.

Masyarakat Indonesia memang kurang terbiasa dengan “promosi wisata” menggunakan cara ini, namun Irfan dan Rizki berniat mengembalikan fungsi View-Master yang sesunguhnya. Meskipun demikian, keduanya tak berniat menjadikan pameran ini sebagai pameran promosi wisata Semarang. Itu sebabnya mereka merasa tidak perlu melengkapi karya dengan keterangan lokasi.

Pameran ini memang tak sempurna. Presentasi karya yang kurang maksimal mengurangi kenyamanan dalam menikmati karya yang ada, terutama pada seri karya Amusement and Spectacle. Dalam menayangkan video, mereka tidak menggunakan layar standar, tetapi dinding galeri yang dicat putih seadanya. Video pun tidak dibuat otomatis memutar ulang begitu durasinya habis, sehingga hampir setiap tiga menit, kedua seniman sibuk meminta pihak galeri, atau bahkan melakukan sendiri, memutar ulang video dari awal. Namun, terlepas dari segala kekurangan yang ada, pameran ini pantas diapreasiasi. Jika dibandingkan dengan Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta; seniman asal Semarang kurang terdengar gaungnya. Hadirnya pameran ini menyemarakkan dunia seni rupa Semarang yang seolah ikut lesu seperti industri pariwisata kota ini.

Tema rekreasi yang diusung kembali mengingatkan kita, bahwa sesungguhnya manusia senang mencari hiburan, yang salah satu caranya adalah dengan berwisata. Keriaan berwisata tersebut lantas kita abadikan menjadi sebuah rekaman visual, agar sewaktu-waktu dapat dinikmati kembali. Pada akhirnya, mungkin itu pula tujuan Tuhan menciptakan akhir pekan, agar manusia memiliki waktu luang dan dapat menunaikan kodrat sebagai makhluk bermain (Homo ludens). ***

 

Foto-foto lain:

 

 

*Catatan penulis
Ada sedikit perubahan pada tulisan ini. Sementara versi aslinya bisa dibaca di situs Indonesia Art News.

 

Let’s get lost!

In about three days, I will become an independent writer. Most of you might ask “where am I going to move?” or even the simple “why”?

The answer is, “nowhere” or “why not?”.

When I said earlier I will become an independent writer, I meant literally. Freelancer, or you might called it. I haven’t signed any contract to any company nor sent application letters. I have some plans, one of them is writing an illustrated children story book with my fella artist since like couple years ago and I haven’t done a single thing to make it real. So I think it’s the right time for me to end my job as a journalist by the end of the year, and start accomplishing my dream. A simple new year’s resolution.

When I told my friends about my resignation plan, one of them gave me a “get real” look and asked me to think twice. Or more than twice if I could. She’s worried about me; especially about the financial thing. She couldn’t believe how or why I act so calm without any certainty on my hands. If she was in my case, getting resign without a new better job is an impossible thing to do.

People are afraid of uncertainty. It horrifies them.

I couldn’t agree more. Certainty is a light in the dark. An elastic rope that keeps you from falling. What I don’t agree about it is, we make uncertainly like a big monster. No wonder we tend to change the line into “uncertainty is like a big dark room where the big evil monster lives”.  I believe there will be a new good thing that we can find there. Instead of a monster, why not think of some glow-in the dark cool things or a secret message that can lead you “treasure box”? Or maybe, as simple as a quality time for you to sleep? Well I’m just trying to give some examples.

Like today. I got myself an evening ride. A short one around Kelapa Gading. It was a sudden plan actually. I had no particular direction, all I wanted to do just ride my bike. I turned right/left whenever I feel like I wanted to turn, I kept taking straight every time I feel that way. Bottom line, it was a total free ride. I was worried I’d wet myself in the middle of the ride, because the breeze chilled me. I thought it was gonna rain. Plus, both my tires are a bit flat. But thank God, it went alright.

As I rode around, there were so many things I haven’t seen/known before. Like a shortcut to a finger-lickin’ good fried tofu hawker, or a place to buy stationary with good price. I also found an interesting thing. There was a house who sell traditional cake from West Java, serabi. The owner creatively created a rhyming brand for it, “Serabi Chubby”. There are plenty of it, a home-store/restaurant. Kelapa Gading really has a charm for food business.

See, uncertainty sometimes brings you to new cool things. It may not as “big” as bumped into, let say, Leonardo DiCaprio who all of the sudden, craving for Kelapa Gading’s infamous seafood. But it was alright. I met many people that I passed by. Those who I’ve met and I haven’t met before. Not to mention the fresh air, a rare thing you have in Jakarta.

It went smooth, until some men, the workers, gave me their flirtatious whistle. A classic pervert style. But it didn’t bugging me. I took it as a minor distraction which I might get on my freelance time later. It’s a good reminder for me so I’ll always stay focused on what I do.

Since i had no direction, i turned my bike to the right/left everytime I wanted to. Until one point, I  was on a street, which I recognized. It was a street where my veterinarian (pet doctor) lives. I used to take my bunny there to get a scabies injection. I was so confident I took the straight way when I passed his street. But then I  ended up in the wrong street. It took me further from my house. I should’ve turned right. So I took a u-turn later on.

Somehow, I feel it was another “sign” for me. Sometimes we were so confident about what we’ve been doing all the time because it looks like the right thing to do. The right way to choose. No wonder if most of the time, we’ve keep taking the “straight” street. There is no such thing as never-ending straight street. We forget the fact if sometimes, or in the end, we need to take a turn. Get out from our so-called comfort zone and take the wild card! All we need to do is giving ourselves a full attention to every  “sign” out there. Let alone our own intuition.

The wind blew stronger than before, and the sky was getting darker and darker. It’s already 5PM though. Without a second thought, I rode my bike home because I didn’t want to wet myself.

Today’s evening ride was fun. It gave me time to contemplating. I’d lie if I said I don’t feel anxious at all thinking what would happen in my near-future, but until now, thank God, the excitement I got still can beat the shit out of it. I think I’m going to make this evening-ride as my new routine. The researcher said we need new hobby to increase our life’s quality, including our health. Especially the one who allows us to meet other people. It makes us happy. And I believe them.

My fella editor once said to my fella journalist who’ve been dreaming about living abroad. When my fella journalist said it’s not a common short-term vacation, so he must prepared anything yet before, the fella editor shocked him with an easy reply, so easy I even awe myself: “Where’s the fun part if you’ve already planned about everything?”.

He was right. It’s like what you’ve seen on “Into the Wild” the movie, but exclude the extreme part (or include if you think you’re on that level to dare yourself). That’s what I called a “wild card”, a “turn”. Being spontaneous is not a crime. As long as we’re happy, and not breaking any law. Maybe you, us, should’ve tried it sometimes. Open ourselves up to accept every uncertainty in life and let the universe lead us.

In the meantime, all I wanted to say is happy new-you and let’s get lost! 🙂

Images: Marc Johns