Jakarta (Harus) Aman untuk Semua!

Belum hilang ingatan saya tentang kasus pemerkosaan seorang pedagang sayur (Ros) yang dilakukan oleh supir dan seorang penumpang mikrolet M26 jurusan Kampung Melayu – Bekasi pada akhir 2011 silam, beberapa hari lalu terjadi lagi pemerkosaan yang dilakukan oleh oknum supir mikrolet C01 (Ciledug – Kebayoran Lama) dan rekan-rekannya. Kali ini korbannya seorang mahasiswi berinisial JM. Berbeda dengan Ros yang diperkosa di dalam angkot, JM sempat kabur terlebih dulu, namun kepalanya dipukul dari belakang hingga tak sadarkan diri. Para pelaku kemudian membawa dan memperkosanya di tempat lain. Keesokan paginya, JM tersadar dan berada di samping rel di sekitar Pasar Kebayoran Lama, dengan cairan putih–yang diduga sperma pelaku–berceceran di atas perutnya. (Penjelasan lihat di bagian Update di bawah)

Tak perlu ditanya lagi bagaimana perasaan saya saat membaca berita tersebut. Sedih, geram, dan marah bercampur aduk! Saya mengutuk para pelaku yang saya anggap sebagai monster penebar teror di Jakarta! Saya adalah pengguna kendaraan umum aktif, yang berarti menggunakan bis, angkot, ojek, bajaj, taksi, dan sebagainya dalam bermobilitas setiap hari. Fenomena pemerkosaan ini tak ayal membuat nyali saya ciut. Apalagi saya tergolong sering beraktifitas hingga malam hari. Saya yakin pengguna kendaraan umum lainnya, terutama yang perempuan, juga merasakan hal yang sama.

Sejak dulu, Ayah kerap menasihati agar saya tak sering pulang larut malam karena alasan saya seorang perempuan. Jauh sebelum pemerkosaan marak terjadi. Beliau sempat berkata bahwa ia tidak akan sekhawatir ini andaikan saya seorang laki-laki. Sampai sekarang sebenarnya saya masih kurang bisa menerima nasihat beralasan gender seperti itu. Laki-laki sekalipun, kalau memang dirasa sebagai target tepat para pelaku, tetap bisa menjadi korban tindak kriminal. Namun demi menghormati ayah saya, yang bisa saya lakukan adalah selalu berusaha mengabari setiap akan pulang larut malam. Maka betapa sedihnya saya karena kekhawatiran ayah saya seolah terbukti oleh maraknya kasus kriminalitas, terutama pemerkosaan, yang terjadi belakangan ini.

Saya sempat riset singkat mengenai pemerkosaan yang terjadi baik di dalam kendaraan umum atau yang dilakukan oleh oknum supir/penumpang kendaraan umum, atau yang terjadi di tempat lain. Hasilnya cukup bikin geram.

Januari – pertengahan September 2011 terjadi 40 kasus pemerkosaan di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Para pelaku paling banyak melakukan aksinya di lingkungan perumahan, yakni mencapai 26 kasus. Lainnya, di jalan umum termasuk angkutan umum (3), kantor (1), keramaian (1), perumahan BTN (8), dan real estate (1). Sementara itu, wilayah yang paling rawan aksi pemerkosaan terletak di Kabupaten Tangerang mencapai 9 kasus. Lainnya, di Kabupaten Bekasi (7), Tangerang Kota (5), Jakarta Barat (4), dan Jakarta Pusat (4). (Sumber: Kompas) Sementara sepanjang 2011, berdasarkan catatan Polda Metro Jaya, tindak pidana pemerkosaan meningkat 13,33 %. Pada tahun 2010 tindak pemerkosaan mencapai 60 kasus, sedangkan di tahun 2011 meningkat menjadi 68 kasus. Kendati jumlahnya meningkat, penyelesaian kasus pemerkosaan di tahun 2011 justru menurun, yakni 73,52 persen. Padahal, di tahun 2010 tingkat penyelesaian kasus pemerkosaan mencapai 75 persen. (Sumber: Kompas)

Berikut beberapa kasus pemerkosaan yang terjadi di dalam kendaraan umum atau yang dilakukan oleh supir dan dibantu temannya yang menyamar sebagai penumpang:

M-24 jurusan Slipi-Binus-Kebon Jeruk
LPS – Mahasiswi
Tewas — Ditemukan 21 Agustus 2011
Pembunuh ditangkap 25 Agustus 2011
 
D-02 jurusan Lebak Bulus – Pondok Labu
SRS (27) – Karyawati
Diperkosa — Kamis, 1 September 2011, Pk 00:00 
Pemerkosa ditangkap pada 13 September 2011
 
M-26 jurusan Kampung Melayu – Bekasi.
Ros (40) – Pedagang Sayur
Diperkosa — Rabu, 14 Desember 2011, Pk 04:00
Pemerkosa ditangkap pada 23 Desember 2011
 
Angkot 38 jurusan Cibinong – Gunung Putri (Bogor) | Nomor polisi F 1915 MB
B (15) – Siswi SMP
Dilecehkan secara seksual dan hampir diperkosa — Selasa 24 Januari 2012, Pk. 20:00
Pemerkosa ditangkap pada 27 Januari 2012

.

Dan berikut beberapa angkot yang juga patut diwaspadai:

U-04 (Rawamangun – Kelapa Gading)
3 penumpang mencurigakan — pertengahan 2011, Pk 22:00
 
M-16 jurusan Kampung Melayu – Pasar Minggu
Adik temannya Rahma Yulianti
Hampir diculik — 22 Januari 2012, 20:00

Rahma Yulianti (@rahmaahmad) pada Senin (23/1) malam, sesaat sebelum tulisan ini diunggah, menceritakan pengalaman naas adik temannya yang hampir diculik oleh supir angkot M-16. Kejadiannya sekitar pk 20:00. Beruntung, ada seorang pengendara motor yang mendengar teriakan permintaan tolongnya, dan berhasil menghentikan mikrolet tersebut setelah mengejar hingga ke Matraman. Kronologisnya bisa dibaca (dari bawah ke atas) di rangkaian tweet-nya berikut ini:

Selama ini saya tidak punya alat khusus untuk digunakan sebagai alat bela diri. Namun ada beberapa benda–yang saya bawa setiap hari–yang sepertinya cukup efektif digunakan jika dalam keadaan terdesak, yakni:

  • Pensil mekanik: Cukup tajam untuk ditancapkan ke anggota tubuh pelaku (Target utama: wajah).
  • Pulpen: Cukup tajam untuk ditancapkan ke anggota tubuh pelaku (Target utama: wajah).
  • Penggaris besi 15 cm: Cukup tajam untuk digoreskan ke anggota tubuh pelaku (Target utama: wajah).
  • Cutter: Cukup tajam untuk digoreskan ke anggota tubuh pelaku (Target utama: wajah).
 

Selain alat tulis, saya juga selalu bawa pisau lipat yang kebetulan menjadi gantungan kunci. Jika tidak ada, alat kikir  yang biasa menempel pada gunting kuku dan sepatu berhak lancip juga memiliki fungsi yang kurang lebih sama. Target utama: wajah pelaku. Selain itu, benda-benda berat seperti buku tebal, payung lipat, sepatu wedges, bisa dimanfaatkan sebagai alat pukul. Target utama: kepala pelaku.

Ada dua benda yang sering direkomendasikan sebagai alat bela diri, yakni setruman listrik dan semprotan air cabai/ merica. Saya sendiri sudah lama mencari alat ini. Beruntung, seorang teman memberikan informasi bahwa kedua alat ini bisa dibeli di forum jual-beli dengan harga terjangkau. Bagi yang merasa benar-benar membutuhkan, informasi lengkap kedua barang bisa dilihat di sini.

Opsi kedua, kita bisa membuat semprotan air cabai/merica sendiri. Caranya, cukup beli semprotan mini yang banyak dijual di supermarket atau toko kosmetik. Harganya kurang dari Rp 50,000. Lalu diisi air yang dicampur ulekan cabai dan/atau merica bubuk.

Jika kita sudah memiliki satu atau beberapa alat bantu tersebut, pastikan agar kita menaruhnya di lokasi yang mudah dijangkau. Misalnya, taruh pisau lipat/ setruman listrik/ penggaris besi di saku celana. Kebalikan dengan dompet, benda-benda ini sebaiknya ditaruh di saku belakang. Sebab, benda-benda yang ditaruh di saku celana belakang cenderung lebih mudah diambil dibandingkan dengan yang ditaruh di saku depan. Untuk yang pakai rok, benda-benda tersebut bisa ditaruh di saku tas bagian depan, atau tas tambahan yang kerap dibawa. Pastikan saja kita mudah mengambilnya saat dibutuhkan.

Selain alat bantu yang disebutkan di atas bisa, yang tak kalah penting saat menumpang kendaraan umum adalah selalu waspada dan pintar-pintar membaca situasi dan kondisi. Lengah sedikit bukan tidak mungkin kita akan menjadi korban. Saya selalu berusaha untuk memperpendek jalur transportasi jika pulang dalam keadaan mengantuk. Misalnya jika biasanya saya naik bis lalu menyambung angkot, jika sedang mengantuk, saya akan memilih pulang naik ojek atau taksi. Namun terkadang masalah biaya kerap membuat kita pelit untuk mengeluarkan uang lebih. Saya sendiri pun terkadang masih pelit, namun saya sadar saya harus mengubah kebiasaan buruk ini. Saya beruntung selalu pulang dalam kondisi selamat, namun kita tidak tahu kapan bahaya akan mengincar.

Ada beberapa kebiasaan yang saya lakukan saat naik kendaraan umum, yakni sebagai berikut:

  • Pilih kursi dekat pintu. Skenario terburuk, jika terjadi sesuatu, posisi ini memudahkan kita untuk keluar. Jika di bis, pilih kursi bagian depan, dengan pintu bis berada di depan atau samping kiri kita. Jika di angkot, bisa pilih di samping supir (sisi terluar, persis samping pintu), atau di bagian belakang yang persis di sebelah/ depan pintu. Namun saya lebih sering memilih yang persis di samping pintu.

                                        

                                                             Keterangan: Yang ditandai hijau adalah posisi yang biasa saya pilih.

  • Yang sebaiknya dihindari, terutama pada malam hari: 
  1. Angkot yang berkaca gelap dan dengan sound system yang dipasang kencang-kencang. Kedua hal tersebut turut bisa dijadikan peluang terjadinya tindak kriminal.
  2. Angkot kosong, atau berpenumpang laki-laki semua.
  3. Jika supirnya “memaksa” untuk naik, apapun alasannya, misalnya “Ini angkot terakhir!”.
  • Jika penumpang perempuan terakhir akan turun, dan lokasi tujuan kita masih jauh, sebaiknya kita ikut turun. Bukan tidak mungkin sang pelaku akan memanfaatkan momen setelah ini. Dalam kondisi seperti ini, lebih baik berpikiran buruk dan melakukan tindakan preventif ketimbang memaksakan diri berpikiran positif namun akhirnya menyesal.
  • Baca situasi dan kondisi penumpang lain. Umumnya saya tidak suka menghakimi orang lain dari penampilannya, tapi demi keamanan, saya terpaksa melakukannya. Saya sering urung naik bis/angkot jika isinya laki-laki semua, terutama jika sudah malam. Terkesan seksis memang. Hal ini tidak hanya dilakukan sebagai bagian dari kebiasaan pribadi, namun juga sebagai respon maraknya pemerkosaan di kendaraan umum. Siapa korbannya? Perempuan. Siapa pelakunya? Laki-laki. Yes, I do stereotype. It’s faster.
  • Waspadai beberapa penumpang laki-laki yang terlihat saling kenal. Perhatikan posisi duduknya, apakah mereka saling berdampingan atau justru menyebar. Kedua posisi ini bisa dipilih para pelaku karena berbagai pertimbangan. Jika bersebelahan, mereka akan lebih mudah berkordinasi. Namun jangan anggap enteng jika mereka duduk berjauhan. Posisi menyebar bisa menyulitkan calon korban, karena ia akan disergap dari berbagai penjuru.

Saya pernah naik angkot (KWK U-04 jurusan Rawamangun  – Kelapa Gading) dari Arion Rawamangun sekitar pukul 22:00. Saat itu kondisi memang sudah sepi. Di dalam, ada tiga orang penumpang laki-laki yang duduk berdampingan di bagian belakang. Saya mengambil posisi duduk persis di depan mereka, samping pintu. Di samping supir, terdapat penumpang laki-laki tampak seperti pekerja kantoran. Dari awal naik, saya sudah memperhatikan ketiga penumpang tersebut. Remaja 20 tahunan berpakaian kasual yang tampak habis minum-minum. Angkot baru berjalan sekitar 200 meter, penumpang yang di tengah seperti menguap dan memalingkan muka ke teman di sebelah kirinya. Mata saya tak lepas dari dia. Saya perhatikan dengan seksama, ia seperti mencoba membisikkan sesuatu ke temannya itu. Perasaan saya tidak enak. Kontan saja saya menyetop angkot, dan langsung turun saat itu juga. Ketiga penumpang laki-laki tersebut, terutama yang di tengah, tampak sedikit kaget karena saya tiba-tiba turun. Saya langsung mencari posisi “aman” untuk mencari taksi. Untung ada bengkel yang masih buka, dan tak lama ada taksi kosong yang melintas. Saya bergegas pulang.

  • Jika mengantuk atau terlalu lelah, usahakan pulang dengan transportasi yang langsung sampai tujuan (ojek, taksi, bajaj). Lebih baik lagi kalau ada yang bisa menjemput. Rasa lelah atau kantuk dapat mengganggu konsentrasi kita untuk tetap waspada. Usahakan untuk selalu mencatat nomor kendaraan (nomor polisi atau nomor unit), dan kirim SMS ke pasangan atau keluarga. Syukurnya kebiasaan ini masih saya lakukan hingga sekarang.

Masih berhubungan dengan stereotipe yang saya lakukan saat menumpang kendaraan umum tadi, tanpa sadar saya membuat tiga kategori penumpang; hijau (aman), kuning (waspada), merah (siaga). Berikut pembagiannya:

  • Hijau (aman): Manula, anak-anak, ibu-ibu, perempuan/laki-laki berpenampilan pekerja kantoran, yang membawa banyak barang, pelajar.
  • Kuning (waspada): Grup pelajar (khususnya SMA) laki-laki, yang pakai jaket dan/atau kacamata hitam,
  • Merah (siaga): Grup laki-laki dewasa (yang duduknya berdampingan atau justru menyebar), yang berpakaian cenderung lusuh dan terlihat mabuk, laki-laki yang bahasa tubuhnya tubuhnya mengisyaratkan dia berkuasa dan harus ditakuti.

Kriteria pelaku kejahatan memang tidak kaku merujuk pada kategorisasi amatir buatan saya di atas. Banyak juga pelaku yang lihai menyamar sehingga radar kewaspadaan kita sukar mendeteksi keberadaannya. Sekali lagi saya ingin menegaskan, kategori tersebut seolah-olah mengatakan bahwa “laki-laki = penjahat”, namun saat naik kendaraan umum, penghakiman di awal kadang diperlukan. Apalagi tindak kriminalitas yang marak terjadi belakangan adalah pemerkosaan.

Selain alat bantu, kebiasaan, dan kategorisasi penumpang, cara lain yang bisa digunakan untuk menjaga diri adalah tak lain dan tak bukan mengikuti kursus bela diri. Pilihannya banyak, tinggal disesuaikan dengan minat, misalnya pencak silat, merpati putih, taekwondo, karate,  Thai boxing, atau bahkan capoeira. Gerakan-gerakan yang diajarkan bisa berguna bagi kita untuk melawan jika dalam kondisi terdesak.

Sumber: Self Defense Indonesia

Salah seorang teman menginformasikan tentang Krav Maga. Krav Maga adalah seni bela diri tangan kosong asal Israel, yang salah satu metodenya adalah pertahanan diri (self defense). Kurikulum Krav Maga ada yang khusus ditujukan bagi perempuan yang ingin melindungi dirinya dari ancaman tindak kejahatan. Beberapa hal yang diajarkan antara lain membaca situasi, perkiraan skenario yang mungkin terjadi, dan cara melucuti senjata.  Beberapa prinsip dasar yang terdapat dalam Krav Maga antara lain:

  • Jangan terluka
  • Menetralkan penyerang secepat mungkin
  • Melakukan transisi dari teknik bertahan ke teknik menyerang secepat mungkin
  • Eksploitasi semua reflek alami dalam tubuh
  • Eksploitasi semua bagian tubuh yang mudah diserang (termasuk mata, tenggorokan, selangkangan, dan lain-lain)
  • Penggunaan semua benda yang ada sebagai bantuan
Penjelasan lebih lengkap bisa dibaca di Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Krav_Maga. Jika berminat, berikut beberapa lokasi yang menyediakan latihan Krav Maga:
.
Self Defense Indonesia
Gelora Bung Karno
Pintu 6 – Hall Tinju PERTINA
Jadwal: Sabtu, pk 10:00 -12:00
Biaya: Rp 350,000/ bulan
.
Krav Maga Indonesia/Komando Indonesia
Kompleks Depsos
Jl. Depsos XI/3 Bintaro
Jakarta Selatan
http://streetfightmma.blogspot.com
.
ADRIA Fitness Center
Jl. Cempaka V No.33, Bintaro
Jakarta Selatan
Telp: (021) 736 90174/ 5 (Pepi / Imel)

.

Jika ada yang ingin berbagi informasi terkait bisa melalui blog ini atau melalui akun Twitter @elsara. Sebisa mungkin informasi tersebut akan saya sebarkan agar orang-orang semakin waspada akan bahaya yang mengintai.

Siapa yang rela kalau kota ini dikacaukan oleh monster bejat yang bergentayangan mengincar mangsa? Jakarta, seharusnya tidak semengerikan monster kolong tempat tidur yang menjelma menjadi mimpi buruk anak-anak setiap malam. Jakarta, seharusnya tidak punya tempat bagi para pengusik brengsek yang bisanya cuma menebar teror. Karena Jakarta, seharusnya aman bagi seluruh penghuninya tanpa terkecuali.

 
 
.. 
Sumber foto: GenuiBarnes & Noble
..


Update 25 Januari: 

Baca juga “Bersiaga di Jalan Jakarta” yang ditulis oleh seorang kawan, Haris Firdaus. Saya sepakat dengan pernyataannya bahwa siap siaga tak berarti sama dengan kecurigaan dan ketakutan yang berlebihan. Di tulisan ini, kita juga bisa menemukan beberapa link artikel menarik perihal beraktifitas di jalanan Jakarta.

Update 27 Januari: 
Angkot 38 jurusan Cibinong – Gunung Putri (Bogor) | Nomor polisi F 1915 MB
B (15) – Siswi SMP
Dilecehkan secara seksual dan hampir diperkosa — Selasa 24 Januari 2012, Pk. 20:00
Pemerkosa ditangkap pada 27 Januari 2012

Miris! Baru kemarin pemerkosa JM berhasil ditangkap, hari ini muncul lagi berita pemerkosaan di daerah Bogor, Jawa Barat. Modus operandi sang pelaku–yang merupakan supir angkot itu sendiri–adalah menyuruh B, penumpang terakhir di angkot, pindah ke kursi depan di sebelahnya. B sempat dilecehkan secara seksual. Karena kurang puas, sang pelaku menyuruh B pindah ke kursi belakang lagi agar ia bisa meneruskan niat bejatnya. Ia kemudian berhenti, karena ternyata B sedang menstruasi. Kemudian ia menurunkan B di tengah jalan. Menurut berita tersebut, darah menstruasi B masih tertinggal di kursi belakang. Berita selengkapnya bisa di baca di “Lagi, Sopir Angkot Coba Memerkosa“.

Update 30 Januari

Terjadi perubahan minor pada paragraf yang menjelaskan soal stun gun (setruman listrik). Saya menambahkan pernyataan bahwa stun gun sebaiknya dimiliki oleh mereka yang benar-benar merasa butuh. Pasalnya, beberapa waktu lalu Jakarta Globe melansir berita (http://bit.ly/zGLXEW) tentang Kabid Humas Polda Metro Jaya, Rikwanto, yang menganjurkan agar perempuan pengguna kendaraan umum mempersenjatai dirinya dengan semprotan merica atau setruman listrik. Pro kontra soal anjuran ini menyeruak dari berbagai kalangan, terlihat dari komentar-komentar yang masuk.

Alat bervoltase tinggi ini memang perlu penanganan khusus, tak hanya dalam menyimpan, namun juga dalam menggunakan. Karena penasaran bentuk dan cara kerjanya, akhirnya saya beli satu buah di forum jual-beli yang cukup populer di negeri ini. Alat ini datang dalam paket yang terdiri dari stun gun, sarung, dan kabel untuk mengecas. Saya terpaksa meraba-raba sendiri cara menggunakannya, karena alat ini tidak disertai petunjuk penggunaan yang jelas. Saya sempat terlonjak kaget saat listrik mengalir ke kedua permukaan besi di penghujung alat ini, karena suara yang dihasilkan cukup keras. Sayangnya alat ini tidak dilengkapi tutup yang dapat melindungi kita dari kecelakaan menyetrum diri sendiri. Untuk itu saya mencoba mereka skenario yang mungkin terjadi, seperti bagaimana posisi alat ini tersimpan di tas, lalu bagaimana saya mengambilnya jika saat kondisi terdesak. Secara hati-hati saya menggerakkan tangan dalam tas, meraba-raba dan mencoba menggapai stun gun, mengeluarkannya dari sarung, menekan tombol “On”, lalu mengarahkan alat tersebut kepada pelaku. Harus dilakukan dengan cepat dan tepat! Semua itu dapat terjadi jika kita bisa mengendalikan emosi, berpikir strategis, dan pada akhirnya menguasai keadaan.

Alat ini tergolong ilegal di banyak negara. Masih dalam artikel yang sama, Rikwanto juga menyarankan agar kepemilikan alat ini terdaftar secara resmi. Oke, ada dua hal “lucu” yang saya tangkap dari pernyataan Rikwanto dalam artikel tersebut. Pertama, dengan menyarankan masyarakat mempersenjatai dirinya dengan alat bela diri, seperti sayup-sayup mendengar ia dan jajaran Polri berkata “Kami tidak sanggup melindungi kalian“. Kedua, sudah disuruh melindungi diri sendiri, kita masih disuruh untuk mendaftarkan alat bela diri, yang mungkin cuma ia-dan-Tuhan yang tahu di mana dan bagaimana cara mendaftarkannya. Selama ini tidak pernah ada sosialisasi yang jelas mengenai kepemilikan “senjata”. Semakin lucu karena saya membeli alat ini di sebuah forum internet, tempat di mana semua orang bisa dengan bebas menjual sesuatu.

Saya anggap apa yang keluar dari mulut Rikwanto adalah pernyataan resmi Polisi, jadi sudah seharusnya ia juga memikirkan kelanjutan dari sarannya tersebut, yakni sosialisasi penggunaan stun gundan cara mendaftarkannya–jika memang alat tersebut diposisikan sama dengan senjata api. Jangan hanya bisanya menyuruh masyarakat saja, lantas kemudian lepas tangan seolah tidak peduli dengan masyarakat yang kian cemas dengan keselamatan mereka.

Bagi saya, keamanan adalah hak asasi setiap orang, dan memiliki alat bela diri adalah salah satu cara untuk mempertahankan rasa aman tersebut. Jika memang merasa perlu memiliki saatu atau bahkan beberapa alat bela diri, sebaiknya disesuaikan dengan kenyamanan diri kita saat menggunakannya. Jika Anda adalah seorang yang ceroboh, mudah panik, dan kurang bisa mengontrol emosi, saya tidak menganjurkan untuk memiliki stun gun. Selain alat-alat yang sudah saya sebutkan di bagian awal tulisan ini, ada opsi lain–diberikan oleh salah seorang komentator di artikel Jakarta Globe tadi–yang menurut saya patut dipertimbangkan, yakni alarm pribadi. Alat ini berfungsi seperti alarm-alarm pada umumnya, namun bisa kita bawa kemana-mana karena bentuknya yang hanya sebesar gantungan kunci. Di negara lain, alarm pribadi diberikan orangtua kepada anaknya, sebagai penanda jika ada yang berniat buruk kepada buah hati mereka. Alat ini memang hanya berfungsi mengeluarkan suara saja, namun suaranya yang keras (direkomendasikan yang 140 desibel) tersebut dapat menarik perhatian banyak orang jika suatu saat kita sedang dalam kondisi terdesak. Harapannya tentu orang-orang yang mendengar akan berhamburan keluar dan menolong kita. Saya tidak menemukan banyak informasi soal di mana bisa membeli alat ini, namun semoga ketiga link ini cukup membantu: http://bit.ly/a9wLOV,  http://bit.ly/y4vwe3, dan http://bit.ly/zVkd96.

Update 30 Januari, pk. 11:00 WIB

Beberapa hari lalu menyeruak kabar bahwa kasus pemerkosaan yang dialami JM (18) pada 20 Januari lalu adalah palsu. Supir-supir C-01 merasa dirugikan oleh  berita yang terlanjur menyebar di berbagai media. Pada Jumat, 27 Januari silam, mereka berunjuk rasa dan menuntut media–terutama TV One–untuk meluruskan berita dan membersihkan nama baik mereka. Menurut berita yang dilansir Kompas pada Minggu 29 Januari, JM memalsukan laporan karena takut orangtuanya mengetahui bahwa ia telah melakukan hubungan seksual dengan Su.

Saya pribadi menyesalkan apa yang telah dilakukan JM. Ia memanfaatkan kondisi demi “menyelamatkan” dirinya sendiri. Ia tak sadar bahwa “kasus pemerkosaan” yang ia laporkan tersebut dapat meningkatkan kecemasan masyarakat, dan merugikan orang lain–dalam hal ini supir-supir C-01 yang mengaku pendapatannya langsung turun drastis.

Dengan ini, saya menghapus kasus JM dari daftar kasus tindakan kriminal di kendaraan umum, yang terdapat di tulisan ini. Satu yang tidak boleh berubah, kita harus tetap waspada. Semoga selamat sampai di tujuan!

Update 26 Februari

Seorang mahasiswi di Bandung menceritakan pengalamannya menjadi korban penodongan dengan senjata api di angkot. Saat itu, ia bukan penumpang satu-satunya, ada enam orang penumpang lainnya. Ia menceritakan dengan detail kronologis kejadian penodongan tersebut, dan respon yang ia terima saat melaporkannya kepada polisi. Kisah selengkapnya bisa dibaca di “Saya Ditodong Pistol dan Petugas Pelayan Masyarakat Itu Dingin“.

Angkot  jurusan Cicadas-Cibiru (Bandung)
Nafielah Mahmudah
Ditodong oleh oknum bersenjata api — Selasa 24 Februari 2012
Pelaku berhasil melarikan diri.
Update 14 Maret

Beberapa waktu lalu, seorang siswi SMP diperkosa oleh supir dan rekannya di angkot di  daerah Bogor. Ini patut diwaspadai, sebab berarti tingkat kriminalitas di kota Bogor tergolong tinggi!

Angkot 03  jurusan Ciapus-Ramayana (Bogor)
Siswi SMP
Diperkosa oleh supir angkot (R) dan rekannya (P) — Selasa 24 Februari 2012, Pk. 17:00
R ditangkap pada 6 Maret 2012, sementara P masih buron.

Anehnya, Detik.com (Duh! Siswi SMP di Bogor Diperkosa Bergilir Sopir Angkot) memberitakan bahwa korban diperkosa, sementara Seputar Indonesia (Siswi SMP Nyaris Diperkosa Sopir Angkot) memberitakan bahwa korban nyaris diperkosa.

Karena Kota adalah Kanvasmu

Mural Sedia Tisu Sebelum Nafsu oleh Bonds.

Ada yang sedikit berbeda ketika saya melewati Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, di akhir Desember 2010. Di salah satu tiang monorel terdapat gambar menu “klik kanan” pada tetikus (mouse) komputer. Kursor tetikus terlihat aktif menunjuk menu“Delete“. Yang ada di pikiran saya saat itu adalah cibiran, “Yah,andaikan segampang mengklik kanan untuk menghilangkan tiang-tiang yang nggak berguna ini.”

Belakangan saya baru tahu bahwa gambar tersebut merupakan bagian dari seri karya berjudul Klik Kanan yang dibuat oleh salah satu peserta Lokakarya Street Art Jakarta 32°C, yang tergabung dalam kelompok Laskar Artup. Jakarta 32°C sendiri adalah agenda rutin dua tahunan yang diadakan oleh ruangrupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta. Acara ini mewadahi para mahasiswa Jakarta dalam memamerkan karya-karya visual. Meski sudah diadakan sejak 2004, namun baru pada 2010 Jakarta 32°C mengadakan lokakarya street art yang kali ini dibimbing langsung oleh seniman street art Bujangan Urban dari Artcoholic dan Popo dari Kampung Segart.

Lokakarya yang diadakan pada Oktober – November 2010 silam ini mengangkat tema Bongkar Jakarta. Dokumentasi dan artefak lokakarya turut dipresentasikan dalam sesi pameran Jakarta 32°C di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, pada 28 Desember – 12 Januari 2010. Dengan tema tersebut, setiap peserta diharapkan mampu membuat karya-karya yang dapat merespon beragam fenomena dan persepsi yang berkembang di Jakarta, mulai dari mobilitas penduduk, identitas, stereotipe dan ingatan kolektif masyarakat kota, hingga ruang dan peristiwa massa.

Dengan berbagai pertimbangan, peserta lokakarya dibatasi hanya bagi mereka yang memiliki portofolio yang cukup, sebab persoalan teknis tak lagi dibahas secara terperinci. Mengingat tema lokakarya cukup kompleks, wajar bila panitia lebih mengutamakan peserta dengan jam terbang yang cukup, berpengalaman membuat karya-karya street art, serta tahu bagaimana cara meracik isu menjadi sebuah karya yang sarat pesan. Ada tujuh peserta yang terpilih, dua di antaranya kelompok, sisanya individu, dan mereka adalah kelompok Sevensoul, kelompok Laskar Artup, Abi Rama, Sidvizeus, Angganoa, Ashtwo, dan Bonds.

Dalam membuat karya, tiap peserta menggunakan teknik yang berbeda. Abi Rama, Ashtwo, Bonds, dan kelompok Sevensoul memakai cat tembok yang dikombinasikan dengan cat semprot dan spidol. Sementara kelompok Laskar Artup dan Sidvizeus menuangkan ide dan gagasan mereka ke dalam bentuk wheat paste, yaitu gambar di atas kertas yang ditempel dengan menggunakan perekat dari tepung kanji (tapioka/aci) yang dididihkan. Wheat paste juga dikenal dengan nama Marxist glue, sebab di masa lampau kerap digunakan oleh organisasi beraliran kiri. Kini cara itu diadopsi untuk berbagai aksi seni rupa, termasuk dalam membuat karya street art, meskipun karyanya tak selalu bermuatan politis. Rudi, salah seorang anggota kelompok Laskar Artup, mengaku pada awalnya mereka berniat membuat karya Klik Kanan dalam bentuk mural atau stensil, namun mengingat jumlah karya dan titik lokasi penyebaran yang cukup banyak, akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan wheat paste. Selain praktis, lebih hemat waktu dan uang.

Isu-isu yang diangkat oleh kelompok Laskar Artup dalamKlik Kanan cukup beragam, meskipun secara tampilan, karya mereka cukup sederhana, yakni hanya berupa menu “klik kanan” pada tetikus tanpa ada teks tambahan. Empat “anjuran” yang mereka muat dalam karya ini antara lainDelete, Refresh, dan Send to. Dalam Delete, mereka “menganjurkan” agar benda-benda yang terpilih segera dibongkar. Pada Refresh, mereka berharap adanya pembaruan pada benda-benda yang kondisinya sudah tak layak. Sementara pada Send to, kelompok ini menganggap bahwa beberapa benda sebaiknya dipindahkan ke daerah lain karena dirasa sudah tak layak lagi untuk ditempatkan di Jakarta.

Contoh pertama adalah karya Delete pada tiang monorel di Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, yang pertama kali saya lihat itu (Gambar 1). Karya sederhana ini merespon keberadaan tiang-tiang monorel di sepanjang jalan yang masih tegak berdiri, meski proyeknya sendiri telah bertahun-tahun mandek karena persoalan dana. Kini, tujuh tahun sudah sejak pemancangan tiang pertamanya pada 2004, tiang-tiang tersebut masih berdiri di sepanjang Jalan Asia-Afrika hingga Jalan Gelora. Selain sia-sia dan tidak sedap dipandang, kehadirannya membuat arus lalu lintas di Jalan Gelora, tepat di belakang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menjadi tersendat. Lebar jalan yang tak seberapa semakin terkikis dengan adanya tiang-tiang yang mejeng di badan jalan. Ya, tidak semua tiang monorel berada di pembatas jalan seperti yang ada di situ. Persoalan-persoalan inilah yang membuat kita pada akhirnya berharap dapat menghilangkan tiang-tiang tersebut semudah “mengklik kanan”.

Selain monorel, Laskar Artup juga menyentil bajaj. Dengan memberi tanda Send to, secara tidak langsung kelompok ini mengatakan bahwa sudah saatnya bajaj dipindahkan ke daerah lain, karena sudah tidak sesuai dengan kondisi Jakarta saat ini. Tak hanya isu transportasi, Laskar Artup juga merespon benda-benda seperti kotak pengaduan masyarakat milik Polsek Metro Kebayoran Baru, gerobak nasi goreng, tempat sampah, serta dinding terowongan, yang seluruhnya ditempeli wheat paste Refresh. Kondisi benda-benda tersebut memang sudah tidak prima, sehingga mesti segera diperbarui. Di lokasi lain, tepatnya di Jalan Blora, ada baliho yang ditempeli karya Delete karena penempatannya yang terlalu rendah mengganggu pejalan kaki. Belasan benda yang direspon Laskar Artup tersebar di sembilan lokasi. Seluruhnya memiliki “anjuran” yang berbeda, sesuai dengan menu klik kanan pada tetikus.

Gejolak kawula muda
Pada topik gaya hidup dan anak muda, Bonds berhasil menarik perhatian dengan mural berukuran 8 x 3 meter. Mural itu bergambar seorang perempuan berambut panjang dan hanya mengenakan bra (Gambar 2). Di sampingnya ada teks “Sedia Tisu Sebelum Nafsu”. Gambar perempuan seksi dan teks tersebut diapit gambar mawar merah dalam sebuah bingkai lengkung. Jelas terlihat bawah mural ini terinspirasi oleh stiker kota, jenis stiker teks klasik. Ciri-cirinya sudah jelas: kulit berwarna kuning, benda-benda di sekitarnya memakai warna-warna terang, berbingkai, dan ada tambahan unsur dekoratif. Terlebih lagi, karakter gambarnya identik dengan gambar-gambar orang pada komik roman 1970-an.[1] Dengan gaya nakal dan jenaka, Bonds menyentil keseharian masyarakat hingga ke level yang paling intim. Saat dihubungi melalui surel (surat elektronik), Bonds mengatakan bahwa ia ingin merespon kehidupan seks yang kerap dilakukan anak kost tanpa berniat menghakimi.

Mural ini berada di dinding jembatan layang Grogol, yang terletak di depan Univesitas Trisakti dan Universitas Tarumanagara; sesuai dengan target utama yang ia sasar, yakni para penghuni kost yang sebagian besar berstatus mahasiswa di sekitar kampus itu. Selain mural, ia juga membuat stiker yang awalnya akan ditempelkan di beberapa rumah kost yang ada di sekitar lokasi tersebut, namun batal karena tidak mendapat izin dari pemilik kost. Akhirnya stiker tersebut ia bagikan saat pembukaan pameran di Galeri Nasional Indonesia.

Dalam mural Sedia Tisu Sebelum Nafsu ini, Bonds sukses meracik humor sebagai bumbu utama karya. Mural buatannya mampu membawa orang-orang yang melihat, beranjak dari keadaan telis (tellic state­—keadaan penuh tekanan) ke keadaan paratelis (paratelic state—keadaan lepas dari tekanan).[2] Seks pranikah merupakan isu sensitif di negara ini. Dengan mural ini, isu seks yang sejak lama dianggap sensitif—dan nyaris tabu—untuk dibicarakan, menjadi sebuah topik yang jenaka.

Bonds cukup berhati-hati dalam karya ini. Ia menghindari teks yang terlalu vulgar, namun tetap terbaca nakal dan menggoda. Ia juga lebih memilih pelesetan peribahasa (Sedia payung sebelum hujan) dibandingkan kalimat larangan apalagi ancaman. Dari awal ia tegas mengatakan bahwa ia dan mural ini tidak hadir untuk menghakimi, dan sepenuhnya sadar bahwa seks merupakan hak masing-masing individu.

Masih di topik gaya hidup, peserta lain, Angganoa, menampilkan mural bergambar ikon situs microbloggingTwitter. Bedanya, burung biru dalam mural ini digambarkan sedang pusing dan bermoncong babi. Keenam mural buatannya tersebar di lima lokasi, yakni Cilandak, Kemang, Panglima Polim, Fatmawati dan Lebak Bulus. Dua di antaranya menampilkan burung biru yang sedang “keder” tersebut dalam posisi terbalik, contohnya seperti yang terlihat di wilayah Kemang (Gambar 3).

Tak banyak pesan yang dapat kita tangkap dari mural berjudul Keder, yang arti sebenarnya justru “takut”, “gentar”, atau “gemetar”. Ketika melihat burung-burung tersebut sedang “pusing”, saya langsung berpikir bahwa mural tersebut ingin mengatakan kalau “Twitter bisa bikin pusing”. Dengan jutaan informasi yang tersebar setiap detiknya di Twitter, tak heran memang jika orang sering lupa untuk mengecek kebenaran informasi tersebut, dan telanjur asik berlomba menjadi yang pertama menyebarkan informasi kepada yang lain.

Sudah begitu banyak contoh kerancuan yang dapat terjadi di Twitter yang mungkin bisa disampaikan Angganoa lewatKeder. Sayangnya, mural-mural tersebut kurang “berbicara” dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Idiom “gambar berbicara sejuta kata” tampaknya tidak terlalu mengena bagi mural ini. Ketika melihatnya, kita hanya akan mendapat potongan-potongan pesan saja. Butuh waktu lebih untuk mendapatkan pesan yang utuh. Tambahan teks, misalnya “Twitter bikin keder“, mungkin dapat membuat mural ini berbunyi lebih nyaring.

Hidup segan, mati ya sudahlah
Peserta selanjutnya, Abi Rama, memilih telepon umum sebagai objek utama dalam mural berjudul Seleksi Alam.Kedua karyanya terdapat di dua lokasi, pertama di tiang monorel di daerah Senayan, dan yang kedua di bawah jembatan layang daerah Tanjung Barat, Jakarta Selatan (Gambar 4).

Mengapa Abi memilih telepon umum sebagai objek utama? Suburnya industri telekomunikasi di Indonesia, secara perlahan mematikan telepon umum dan sarana komunikasi yang lebih dulu ada, Sebagai salah satu pengguna, Abi Rama menghadirkan kembali telepon umum tersebut melalui muralnya. Saat ponsel masih menjadi barang mewah, dan biaya menelepon di wartel juga kurang terjangkau, telepon umum pernah hadir sebagai penyelamat. Di era ponsel sudah menjadi kebutuhan primer seperti saat ini, rasanya sulit mengembalikan peran telepon umum seperti dulu lagi. Wajar jika kemudian masyarakat merasa tidak membutuhkan telepon umum lagi. Hal ini menambah ketidakpedulian pemerintah untuk menjaga keberadaan telepon umum.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apakah benar telepon umum sudah menjadi barang yang pantas dimuseumkan? Jika ya, berarti secara tidak langsung Pemprov DKI Jakarta mengatakan bahwa tidak ada lagi yang membutuhkan telepon umum di Jakarta. Rasanya terlalu naif kalau menganggap semua orang mampu berkomunikasi melalui telepon selular, atau setidaknya memiliki telepon rumah. Telepon umum merupakan sarana publik standar yang harus ada. Dengan meniadakan sarana tersebut, berarti pemerintah menghilangkan hak berkomunikasi masyarakat, terutama golongan yang tidak mampu. Selain itu, telepon umum juga berfungsi sebagai sarana darurat. Setiap unit telepon umum dapat menghubungi nomor-nomor darurat dengan gratis, misalnya jika terjadi kebakaran. Akan sangat membantu jika masyarakat sekitar dapat langsung menghubungi pemadam kebakaran melalui telepon umum terdekat. Namun rupanya alam berkehendak lain. Di Jakarta, telepon umum dianggap sudah tidak berfungsi lagi bagi masyarakat. Kita telanjur sibuk terbuai promosi penyedia layanan ponsel dengan tarif super murah. Mungkin Abi Rama benar, alam Jakarta sedang “menyeleksi” ulang para penghuni yang mendiaminya, termasuk benda-benda di dalamnya.

Persoalan suka tidak suka
Lain Abi, lain pula Ashtwo yang mempertanyaan kecintaan warga terhadap kotanya. Lewat mural berukuran 25 x 3,5 meter, ia menuliskan sebaris kalimat “Aku ♥ Jakarta?” (Gambar 5), yang mirip dengan teks “I ♥ NY” yang ikonik itu. Tetapi Ashtwo menambahkan tanda tanya di akhir kalimat. Bukan tanpa sebab, ia memang ingin mengajak warga untuk bertanya kepada diri sendiri tentang rasa cinta terhadap Jakarta.

Lokasi yang dipilih adalah dinding pembatas jalan di depan Gedung Antam, Tanjung Barat. Dugaan saya, lokasi itu dipilih karena dianggap strategis. Setiap hari ruas jalan tersebut selalu ramai dilintasi kendaraan. Syukur-syukur jika arus lalu-lintas sedang tersendat, para pengendara dapat memperhatikan mural tersebut lebih lama. Namun ternyata, Ashtwo memilih lokasi tersebut karena di sanalah ia mulai giat membuat graffiti pada 2003 silam.

Mural Aku ♥ Jakarta? yang terasa “sepi” ini sebenarnya dapat lebih berbicara banyak jika ditempatkan di lokasi-lokasi kontras. Dengan begitu, pikiran orang-orang yang melihat akan langsung tergiring pada persoalan konkret yang ada di depan mata mereka. Misalnya saja jika mural Aku ♥ Jakarta? terdapat di tembok yang dekat tempat penuh sampah berserakan dengan bau menyengat, maka kehadiran mural ini bisa langsung menarik perhatian. Selain karena mural yang berukuran besar, tercipta suatu kontras antara tulisan pada mural dan suasana sekitar. Efek psikologis yang ditimbulkan akan lebih terasa dibandingkan dengan mural yang ada sekarang: Apakah kita sungguh-sungguh mencintai Jakarta?

Beralih ke peserta lain, ada kelompok Sevensoul yang membuat mural berupa emoticons atau ikon-ikon ekspresi yang kerap digunakan saat chatting. Karya ini diberi judulSimple Image Strikingly. Ikon yang ditampilkan cukup beragam; ada ekspresi senang, sedih, dan geram, dan marah. Ekspresi senang yang ditampilkan dalam warna kuning terlihat di unit-unit telepon umum di daerah Panglima Polim, Jakarta Selatan (Gambar 6). Di saat Abi Rama mengkritik soal kepunahan telepon umum dengan membuatnya kembali dalam bentuk mural, Sevensoul mencoba memberi tahu masyarakat sekitar bahwa telepon umum yang digambarinya dengan emoticons senang tersebut masih berfungsi. Namun ternyata hanya yang berlokasi di Panglima Polim saja yang diberi tanda oleh mereka. Fungsi ikon tersebut sebenarnya bisa semakin terlihat jika ada pembanding berupa ikon muram di unit-unit telepon umum yang rusak. Atau alternatif lain, menambahkan jumlah ikon senang di unit-unit yang masih berfungsi.

Selain ekspresi senang, ada pula ikon marah dan geram yang terlihat di dua tiang monorel berbeda. Tiang yang terletak di Jalan Asia-Afrika diberi ikon geram berwarna hijau. Sama dengan Klik Kanan milik kelompok Laskar Artup, ikon ini merupakan ekspresi ketidaksukaan terhadap tiang-tiang bekas rencana monorel. Sedangkan ikon marah berwarna merah yang terdapat di tiang yang ada di jalan Gelora, belakang Gedung DPR, bisa diartikan sebagai tiga hal: tidak suka dengan tiang-tiang monorel, kesal dengan kemacetan di ruas jalan tersebut, dan kecewa dengan para anggota DPR yang dianggap gagal menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.

Dari enam mural Sevensoul, hampir semua maknanya sulit dimengerti. Saya beruntung dapat berkomunikasi langsung dengan senimannya, sehingga tahu pesan yang ingin ia sampaikan. Jujur saja, menurut saya karya-karya ini hampir tak ada bedanya dengan coretan “Jono was here” yang sering ada di halte-halte, yang hanya menandakan keberadaan senimannya melalui coretan. Pemilihan objek berupa emoticons justru memiuhkan pesan kuat yang ingin mereka sampaikan.

Rangkaian mural yang tidak “berbunyi” ini menjadi semakin membingungkan ketika di satu lokasi ada dua ikon berbeda. Seperti yang ada di Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, kelompok Sevensoul menggambar ikon senang di kotak Telkom sebelah kiri, lalu ikon sedih di kotak sebelah kanan, sekalipun kedua kotak itu berkondisi baik-baik saja. Masih di ruas jalan yang sama, namun kali ini yang dipilih adalah halte bus Pasar Pedok, Jakarta Selatan, mereka menggambar ikon senang di tempat duduk sebelah kiri halte, dan ikon sedih di sebelah kanan. Kedua contoh ini membuat Sevensoul terlihat seperti sedang asik berbicara sendiri tanpa ada niat untuk berinteraksi dengan masyarakat.

Ungkapan perasaan yang lebih tegas ditunjukkan oleh Sidvizeus (Zeus). Ia membuat gambar rantai lengkap dengan gemboknya dengan menggunakan teknik wheat paste. Jika peserta lain kebanyakan memilih tembok-tembok kota, Zeus menjatuhkan pilihannya pada papan-papan reklame yang ada di daerah Fatmawati, Kebayoran Baru, dan Blok M. Entah memang ada maksud tertentu atau kebetulan semata, tiga dari lima papan reklame pilihannya menampilkan iklan pembersih (pakaian dan porselen), sedangkan sisanya iklan mie instan dan operator ponsel. Salah satu contohnya adalah papan reklame deterjen yang terletak di Jalan Sawo, Jakarta Selatan. Zeus menempatkan rantainya secara menyilang di tengah, menutupi hampir seluruh tubuh sang bintang iklan. Contoh lain adalah papan reklame operator ponsel yang terletak di bawah jembatan layang Kuningan. Memanfaatkan objek mobil di reklame ini, Zeus memposisikan rantainya terpasang di bumper belakang, sehingga seolah-olah mobil tidak bisa melaju (Gambar 7). Gambar rantai yang berukuran besar langsung menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Bahkan, karya Zeus hanya bertahan selama beberapa hari saja, sebelum akhirnya dicopot oleh yang merasa terganggu dengan rantai-rantainya tersebut.

Sesuai judul karya wheat paste buatannya, Egoismu Tungganganku, mungkin ini adalah bentuk protes Zeus—yang mewakili teman-teman seniman street art lain—akan papan reklame yang terlalu banyak jumlahnya di Jakarta. Selain secara tidak langsung “rebutan lahan” dengan pemasang iklan karena sama-sama menggunakan ruang publik, Zeus juga ingin mempertanyakan keberadaan reklame tersebut. Jika sejak dulu street art dianggap merusak pemandangan, kini ia ingin menunjukkan bahwa reklame justru lebih mengganggu ruang publik di Jakarta. Akhirnya yang bisa ia lakukan adalah balik mengganggu papan-papan reklame tersebut dengan karya yang jahil dan memberontak.

Masih berhubungan soal iklan dan street art, saya sempat iseng bertanya, manakah yang lebih tidak disukai; papan reklame atau street art. Jawaban yang datang beragam, meskipun rata-rata menjawab “papan reklame”. Alasannya,street art lebih menarik dan menghibur, serta tidak melulu soal “jualan”. Menariknya, salah seorang editor jurnalKarbon, Farid Rakun, ikut menjawab. Ia bilang, yang paling mengganggu adalah street art yang dibuat hanya untuk menjadi “iklan” bagi senimannya sendiri. Saya asumsikan yang ia maksud salah satunya adalah grafiti nama sang seniman atau kelompok street art tanpa ada pesan atau konteks sosial. Namun kini kondisinya lebih rumit, sebab sudah banyak produsen yang beriklan dalam bentuk mural. Sehingga bukan tidak mungkin jika iklan dan karya seni di kemudian hari menjadi tak ada bedanya ketika berada di ruang publik.

Jakarta: Pesan terkirim
Usai memperhatikan satu persatu karya setiap peserta, saya semakin sadar bahwa Jakarta memiliki banyak persoalan yang mesti dibereskan. Sebegitu pelik dan kentaranya, sehingga lima dari tujuh peserta mengangkat isu sosial-politik yang ada di kota ini, sedangkan sisanya lebih memilih untuk mengulas gaya hidup. Masalah yang dianggap paling “mengganggu” adalah soal fasilitas umum. Topik transportasi menjadi yang paling sering dibicarakan dalam karya-karya mereka. Beberapa objek seperti monorel, halte bus, dan kemacetan, muncul lebih dari sekali, yakni dalam karya kelompok Laskar Artup dan Sevensoul.

Sistem transportasi Jakarta yang semrawut memang kerap dikeluhkan masyarakat. Monorel, salah satu moda transportasi yang dulu menjadi tumpuan harapan masyarakat Jakarta akan transportasi yang nyaman, kini hanya berupa tiang-tiang yang terbengkalai. Meskipun kabarnya proyek monorel akan dilanjutkan, masyarakat tampaknya sudah tak berharap banyak.

Di topik lain, yakni kemacetan, kondisinya tidak jauh berbeda. Kemacetan sudah sejak lama menjadi masalah yang harus dihadapi oleh sebagian besar masyarakat Jakarta. Ruas jalan yang ada tidak sebanding dengan jumlah kendaraan bermotor. Angka pertumbuhan kendaraan bermotor sekitar 10 persen per tahun, sehingga setiap harinya Jakarta “kebanjiran” sekitar 250 mobil baru dan 900 sepeda motor baru. Menyiasati hal ini, Pemprov DKI Jakarta yang tak punya banyak pilihan, terpaksa menambah ruas jalan dengan “mengangkat” jalan ke atas. Misalnya yang terlihat pada pembangunan proyek jalan layang non tol (fly over) Antasari – Blok M yang dimulai sejak November lalu. Proyek ini pun bukan tanpa cacat. Banyak pihak yang menyayangkan penebangan ratusan pohon demi terlaksananya proyek ini. Salah satu mentor lokakarya, Popo, sempat “protes” lewat kalimat “Demi fly over, pohon game over” yang ia tuliskan di dinding sepanjang jalan Antasari, Jakarta Selatan, dengan menggunakan cat semprot. Belum lagi ditambah kemacetan yang timbul akibat pengerjaan jalan layang ini. Ironis, mengingat tujuan proyek ini sendiri adalah untuk mengurangi kemacetan.

Masih di topik fasilitas umum, objek lain yang menjadi perhatian peserta adalah telepon umum dan papan reklame. Abi Rama dan kelompok Sevensoul ingin mengingatkan kita bahwa telepon umum adalah sarana publik yang harus tetap ada karena masih dibutuhkan masyarakat, terutama oleh rakyat kecil. Sedangkan kelompok Laskar Artup dan Zeus mempersoalkan papan reklame yang kehadirannya dianggap mengganggu. Selain karena jumlahnya yang terlalu banyak sehingga menimbulkan polusi visual, namun juga karena penempatannya terkadang tidak tepat, semisal terlalu rendah sehingga menghalangi dan membahayakan pejalan kaki.

Munculnya fasilitas umum menjadi topik utama dalam karya para peserta lokakarya street art Jakarta 32°Cbisa diartikan sebagai kritik kepada Pemprov selaku pelayan publik Jakarta, yang dirasa kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat. Selama ini kritik dan saran yang ditujukan kepada pemerintah kebanyakan disampaikan dengan cara-cara konvensional. Mungkin dengan lokakaryastreet art Jakarta 32°C ini, kita memiliki cara baru dalam menyampaikan aspirasi. Jika mengusung pesan yang berisi melalui eksekusi yang baik, citra buruk street art yang lekat dengan vandalisme secara perlahan bisa hilang. Sebagai gantinya, street art akan dianggap sebagai medium aspirasi alternatif, yang tak hanya enak dilihat, namun juga berbunyi nyaring.

Menggunakan sudut-sudut kota sebagai kanvas, ketujuh peserta lokakarya ramai-ramai berkirim pesan tentang Jakarta. Memang tidak semua pesan dapat dengan mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat, namun setidaknya, inilah usaha mereka untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang lebih nyaman dihuni.***

Jakarta, Maret 2011

***

Catatan kaki
[1] Ugeng T. Moetidjo, Ardi Yunanto, Ade Darmawan, Mirwan Andan, Stiker Kota (Jakarta: ruangrupa, 2008).
[2] Dan Sperber & Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (United Kingdom: Blackwell, 1995).


Gambar 1. Klik Kanan oleh Laskar Artup.

 


Gambar 2. Sedia Tisu Sebelum Nafsu oleh Bonds.

 


Gambar 3. Keder oleh Angganoa.

 


Gambar 4. Seleksi Alam oleh Abi Rama.

 


Gambar 5. Aku ♥ Jakarta? oleh Ashtwo.

 


Gambar 6. Simple Image Strikingly oleh Sevensoul.

 


Gambar 7. Egoismu Tungganganku oleh Sidvizeus.

Foto-foto koleksi Jakarta 32°C.

.

*Tulisan ini dimuat pertama kali di Karbon Journal.

Kapok Berurusan dengan Pemerintah

Ketika ditemui di tenda solidaritas Pedagang Barito, ibu beranak satu ini sedang mengobrol dengan teman-teman sesama pedagang yang senasib dengan dirinya.

 

Meskipun sudah lewat lebih dari seminggu, kejadian penggusuran yang terjadi dini hari itu menyisakan trauma mendalam bagi Mira dan teman-temannya, terutama para perempuan. Ia melihat sendiri bagaimana  ibu-ibu yang sedang duduk menghalangi para satpol yang berusaha ingin melakukan penggusuran, menginjak-injak mereka dengan memakai sepatu lars. “Padahal kita cuma mau aksi damai, nggak pakai senjata. Ibu-ibu yang ada di barisan depan juga cuma bawa bunga!” jelasnya emosi.

Perempuan kelahiran Banda Aceh empat puluh tahun silam ini menyesalkan sikap Pemda DKI yang terkesan bodo amat dan tak mau mendengarkan suara warganya. Padahal Pasar Barito tak hanya tempat mencari nafkah bagi bara pedagang, tapi banyak memori tersimpan seiring berjalannya waktu. Asal tahu saja, Pasar Barito sudah ada sejak tahun ’70-an, dan kini yang berdagang disana sudah memasuki generasi kedua.

Meskipun harus mengalami kejadian yang tak mengenakkan, Mira tetap mencintai Jakarta, kota yang ia jadikan tempat tinggal sejak berusia dua tahun. Mira juga pernah menetap di Bali untuk beberapa waktu, namun ia tidak betah. Karena menurutnya, masih lebih enak tinggal di ibukota, semua fasilitas tersedia.

Kemacetan parah di ibukota meresahkan banyak orang, namun tidak begitu bagi Mira. Menurutnya itu sudah menjadi konsekuensi bagi kita yang memutuskan untuk tinggal di kota metropolitan. Lantas, apa hal yang tidak ia suka dari Jakarta? Dengan cepat dan tegas Mira menjawab, “Birokrasi pemerintahnya yang saya nggak suka! Saya kapok berurusan sama pemerintah. Nggak lagi-lagi deh!”

 

Publikasi: Majalah Area #104 (6Februari 2008)