Menara Gading

Sewaktu berhenti di lampu merah Cempaka Putih tadi, dari dalam taksi saya bisa melihat jelas retakan-retakan pada pilar penyangga jalan layang di atasnya yang membentang hingga bandara.

Pemandangan yang ternyata cukup kontemplatif karena bisa menjadi analogi sebuah tim kerja.

Terkadang, hanya orang-orang ‘di bawah’ yang bisa melihat retakan-retakan tersebut. Retakan-retakan yang mungkin belum sampai taraf membahayakan, tapi cukup mengkhawatirkan jika dibiarkan karena bisa menular dan berlipat ganda. Mereka yang terlalu nyaman bertengger di menara gading biasanya tutup mata, atau merasa bahwa semuanya baik-baik saja.

Bom yang tinggal tunggu waktu dan bara yang tinggal tunggu arang.

Jika diibaratkan medan perang, pemimpin yang pergi akan membuat pasukannya limbung tanpa arah. Tapi yang lebih menyedihkan, jika justru pasukan tersebut yang balik kanan bubar jalan. Meninggalkan sang pemimpin di tengah medan perang; menarik mundur dukungan, lantas pergi tanpa salam perpisahan.

Gentrifikasi Pasar Santa?

Beberapa hari ini, di timeline path gue banyak yang share komikazer. Ngehe ya, pas banget memang sama situasi saat ini.

Tapi nanti dulu, ternyata ada yang bisa dibahas lebih lanjut dari sekadar gaya-gayaan.

Pernah dengar istilah gentrifikasi (gentrification) nggak? Ini arti lengkapnya:

“The buying and renovation of houses and stores in deteriorated urban neighborhoods by upper- or middle-income families or individuals, thus improving property values but often displacing low-income families and small businesses.”

Ternyata sejak beberapa tahun belakangan, istilah ini rame lho di Eropa. Jerman khususnya. Malah sampai ada unjuk rasa menentang gentrifikasi (atau hipsterised?) di Berlin. Dan Leipzig, yang kini jadi pusat atraksi wisata yang menyasar kaum muda dan kreatif, disebut-disebut contoh kota yang berhasil dibikin keren.

Kembali ke Jakarta, Kemang bisa jadi contoh gentrifikasi paling kentara. Dan kembali ke Santa, terlepas dari gaya-gayaan, bukan gak mungkin pasar yang awalnya diperuntukkan bagi PKL itu juga merupakan bagian dari ‘rencana besar’ gentrifikasi pemkot? Atau justru masyarakatnya sendiri yang secara gak sadar membuatnya begitu.

Jadi kalo nanti lagi pada ngumpul dan nyindir/sinis soal Pasar Santa yang lagi hip, gue titip obrolan soal gentrifikasi ini. Soalnya, ya kita-kita ini juga yang jadi target utamanya; kaum muda dan kreatif.

Happy weekend!

Bacaan:
http://m.vice.com/en_uk/read/berlins-war-against-gentrification

www.newrepublic.com/article/119394/new-berlin-rise-and-fall-cool-cities

Do we want to kill them or save them?

Nafsiah Mboi di Konferensi AIDS Internasional di Melbourne (Juli 2014)
Nafsiah Mboi di Konferensi AIDS Internasional di Melbourne (Juli 2014)

Saat menghadiri konferensi pers yang digelar Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) beberapa tahun lalu, salah satu pembicara yang hadir yaitu Nafsiah Mboi. Waktu itu ia masih menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif KPA.

Ia banyak menjelaskan langkah-langkah strategis untuk menekan penyebaran AIDS di Indonesia. Dua di antaranya ialah pengadaan jarum suntik baru dan kondom gratis, terutama di daerah-daerah yang tingkat penyebarannya tinggi. Jelas ini bukan pilihan populis, apalagi di tengah masyarakat agamais dan moralis. Meski awalnya ikut mengernyitkan dahi, saya optimis langkah kontroversial tersebut bisa menyelamatkan banyak orang.

Beberapa hari lalu, di acara International AIDS Conference yang diadakan di Melbourne, Nafsiah yang menjabat sebagai Menteri Kesehatan RI sejak 2012, mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan:

“Do we want to kill them? Or do we want to save them? The easiest way is to kill them.”

Saya pikir sudah lewat masanya kita menutup mata. Bahwa pecandu narkoba dan pengidap AIDS itu adalah kenyataan yang mesti kita terima dan hadapi. Karena yang paling penting saat ini adalah bagaimana agar penyakit tersebut tidak mencelakai lebih banyak orang lagi.

14 Excuses

Bel,

I just discovered this young female writer/poet that I instantly love her words. Her name is Warsan Shire. She’s a moslem, so you may found quotation from Al-Qur’an in her poems. You can check her writings at warsanshire.tumblr.com.

One of her writings that captivated me the most is a poem which titled “34 excuses for why we failed at love. This later adapted as a short film. A very beautiful black-white movie, although resonates sad and deep feelings. Of all 34 excuses that were stated, I love 14 of them. I screen-captured 14 of them, taken from the short movie, and attach here for you.

Since you love to free-interpret all of my sayings and actions, I want you to read it without any suspicions, and take it as a beautiful poem as it is. 🙂

Enjoy!

Not your everything (because it’s tiring becomes someone’s everything)*,
Me.

Screen shot 2013-02-27 at 11.38.04 AM
Screen shot 2013-02-27 at 11.40.39 AM Screen shot 2013-02-27 at 11.41.40 AM
Screen shot 2013-02-27 at 11.40.10 AM
 Screen shot 2013-02-27 at 11.42.43 AM Screen shot 2013-02-27 at 11.46.14 AM
Screen shot 2013-02-27 at 11.41.13 AM
Screen shot 2013-02-27 at 11.42.25 AM Screen shot 2013-02-27 at 11.41.59 AM
Screen shot 2013-02-27 at 11.43.16 AM
Screen shot 2013-02-27 at 11.45.59 AM Screen shot 2013-02-27 at 11.45.22 AM
Screen shot 2013-02-27 at 11.47.06 AM
Screen shot 2013-02-27 at 11.47.16 AM
.
.
*This line belongs to my talented artist friend, who tweeted it on a rainy afternoon, Ika Vantiani.

Klik! Jadi

ABG ’90-an pernah sangat intens menggunakan produk teknologi yang bernama photo-box. Generasi Instagram sekarang mungkin asing, atau bahkan tak kenal dengan hiburan tersebut. “Kotak ajaib” kedua setelah televisi, yang hasil gambarnya dapat kita tentukan sendiri. Semacam fitur timer pada kamera konvensional. Bedanya, photo-box memungkinkan kita untuk melihat langsung penampilan kita di layar sebesar televisi 15 inch. Para ABG—yang mayoritas perempuan—asik berpose dan berubah posisi demi hasil foto yang maksimal. Sebagai pelengkap, pemilik studio foto menyediakan berbagai properti penunjang seperti topi, kacamata, dan wig.

Dua dasawarsa berselang, “kotak ajaib” tersebut tak sepenuhnya lenyap. Mereka bervolusi, dengan menciutkan dan mencanggihkan diri. Lahirlah yang kini kita kenal sebagai webcam. Kamera khusus pengguna komputer yang kini tertanam pada laptop, tak bisa dipungkiri memenuhi hasrat berfoto orang banyak. Kita tak perlu lagi capek-capek pergi ke studio foto, dan mengeluarkan uang sebesar harga Slurpee saat ini. Cukup dengan menyalakan laptop, mengaktifkan webcam, dan voila!, kita punya photo-box pribadi. Posisi tak terpaku pada duduk atau berdiri saja. Kini sambil tidur pun jadi.

tumblr_m81gmgEtke1rbeporo1_1280

klik jadi

Webcam telah membalikkan fungsi kamera untuk merekam pemiliknya sendiri. Perubahan ini terjadi seiring berjalannya waktu, menandakan perubahan zaman, dan pergeseran tren serta perilaku merekam itu sendiri.

After Photo-box karya Nissal Berlindung mengajak kita untuk mengalami pergeseran tersebut, dan ikut larut dalam tren yang sedang berlangsung. Dengan webcam, semua bisa menjadi fotografer dan model sekaligus. Jangan lupa bergenit-genit ria mencoba beragam filter yang tersedia.

Silakan submit foto kalian yang diambil menggunakan webcam ke www.klikjadi.tumblr.com, atau ke @klikjadi dengan mencantumkan #klikjadi. Selamat berfoto ria!


eflyer_topcollection3

Tulisan ini awalnya dibuat sebagai teks pelengkap karya After Photo-box oleh Nissal Berlindung dalam pameran Top Collection #3 di RURU Gallery pada 21 Juli – 4 Agustus 2012. Pameran yang dikuratori Julia Sarisetiati ini melibatkan enam seniman muda, antara lain Agan Harahap (Jakarta), Nissal Nur Afryansah (Jakarta), Reza Afisina (Jakarta), Reza Mustar (Jakarta), dan The House is Black (Jakarta). Karena suatu hal, tulisan ini tidak jadi dimuat.