Commentary

Perjuangan Sunyi Sondang Hutagalung

Jumat lalu, senior kampus saya, “W”, menuliskan sesuatu melalui akun Twitter-nya. “Dengan segala hormat terhadap gerakan mahasiswa sekarang, aksi bakar diri anak UBK di depan Istana itu tolol skali, jadi mahasiswa kok bodo?”

“W” yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Senat, sudah tidak asing lagi dengan yang namanya pergerakan mahasiswa. Ia berasal dari angkatan yang sempat terjun langsung bersama puluhan ribu mahasiswa se-Indonesia pada era ’97-’98. Tak lama setelah mengirimkan tweet tadi, ia kebanjiran repson dari orang-orang yang pro dan kontra terhadap dirinya.

Alih-alih mengikuti diskusi antara “W” dan follower-nya, saya memilih untuk menenggelamkan diri ke dalam situs berita untuk mencari tahu sosok pemuda yang rela menjadi martir demi perubahan yang ia dan banyak orang harapkan segera dilakukan oleh sang penguasa.

Namanya Sondang Hutagalung. Ia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta angkatan 2007. Saat ini ia menjabat sebagai Ketua Himpunan Aksi Mahasiswa Maharenisme untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi). Selain aktif di kampus, Sondang juga sering terlibat berbagai aksi unjuk rasa. Organisasi yang ia pimpin juga terbilang aktif di kegiatan Sahabat Munir.

Sebelum melakukan aksi bakar diri di depan Istana Negara pada Rabu (7/12), Sondang sempat berkirim pesan singkat kepada salah seorang teman kampusnya, Darma, yang isinya menitipkan Hammurabi. Dilihat dari isi pesan singkat tersebut, saya berasumsi bahwa Sondang tidak menceritakan rencana bakar diri kepada teman-temannya.

Sabtu (10/12) sore menjelang maghrib, Sondang menghembuskan napas terakhir. Tubuhnya tak kuasa menahan sakit akibat luka bakar yang mencapai 98%. Ia wafat tepat di saat para pegiat hak asasi sedang memperingati hari HAM sedunia.

Tanpa mengecilkan peran pergerakan mahasiswa ataupun pengorbanan Sondang, dengan segala hormat saya menyampaikan ketidaksepakatan atas apa yang ia lakukan. Bakar diri bukan solusi yang dapat mengurai masalah politik nasional yang karut marut. Apa yang diharapkan Sondang dari aksi bakar dirinya? Presiden dan Wapres turun kah? Perombakan kabinet kah? Atau segudang tuntutan lain yang kerap diserukan orang-orang saat unjuk rasa? Saya sependapat dengan Haris Firdaus dalam blog-nya yang mengatakan bahwa perubahan sektoral dan setahap demi setahap jauh lebih penting dan berguna ketimbang melengserkan SBY-Boediono.

Sondang memang bukan yang pertama melakukan aksi bakar diri sebagai sikap politis. Pada dekade 1960-an, tercatat kejadian serupa di Vietnam Selatan yang dilakukan oleh biksu Buddha Mahayana, Thich Quang Duc, saat menentang Presiden No Dinh Diem. Apa yang melatarbelakangi aksi nekat mereka ini, keberanian atau keputusasaan? Jika alasannya adalah yang ke dua, maka keputusasaan bisa lebih berbahaya dibandingkan seluruh senjata yang ada sekalipun. Tapi apa benar Sondang sedemikian putus asanya? Kita tidak akan pernah tahu jawabannya.

Kini Sondang telah pergi, membawa semua harapan dan nilai-nilai yang ia yakini. Jika Rabu lalu ia memiliki rencana lain, mungkin hari ini ia masih berjuang bersama rekan-rekan yang ia cintai; di bawah bendera Hammurabi, Universitas Bung Karno, dan yang paling utama, kemanusiaan. Namun kenyataan berkata lain.

Selama ini tuntutan-tuntutan yang datang dari mahasiswa memang kerap dianggap angin lalu oleh penguasa. Dua hari pasca kepergian Sondang, tidak ada perubahan signifikan—apalagi revolusi—yang terjadi di negara ini. Hanya sebatas bela sungkawa yang dikirimkan oleh sang penguasa. Tiba-tiba, kini kesunyian yang ada terasa jauh lebih menusuk dibandingkan semilir angin yang sekadar lalu.

Selamat jalan, Sondang..

..

Sumber foto: Vivanews