Bosan
Sering aku merasa, kita tinggal di sebuah rumah yang dibangun oleh kebohongan. Tipu sana tipu sini, entah apa yang membuat kita bertahan.
Saat kamu tidak mengangkat telepon atau membalas SMS, pikiranku berkecamuk. Campur aduk antara prasangka dan yang berusaha positif. Kamu mungkin sedang bersama perempuan lain di rumahmu, di depan televisi dengan pose favoritku. Selonjoran. Atau mungkin kalian sedang berada di kedai kopi, di smoking area dan saling mengepulkan asap perselingkuhan. Baru ketika lelah, kamu kembali pulang. Kembali ke pangkuanku, untuk melengkapi hidupmu di zona malam.
Begitu juga aku. Saat tak bersamamu, mungkin aku sedang berhaha-hihi dengan lelaki lain. Namun aku lebih cerdik, tak pernah sekalipun ku lewatkan telepon atau alpa membalas sms darimu. Aku memposisikan diri sebagai pihak yang mudah dihubungi dan selalu ada untukmu. Kamu tidak perlu tahu, di mana dan dengan siapa aku saat menerima telepon atau membalas pesan singkatmu. Bisa jadi aku di kamar berukuran 5 x 5 meter, di bilangan pusat Jakarta, ditemani berbotol-botol bir dan lelaki yang tak kalah memabukkan. Ucapan manja saat mengakhiri telepon denganmu terdengar begitu natural. Kamu tidak (perlu) tahu bahwa itu berkat latihan intens selama ini.
Entah apa yang membuat kita tetap bersama selama bertahun-tahun. Aku tak cukup bagimu, dan kamu tak cukup bagiku. Lebih dari sekali aku berpikir, mungkin lebih baik jika kita tetap berhubungan, tanpa embel-embel status yang kian terasa palsu. Setidaknya dengan begitu, kita saling membuka topeng dan berkata dengan lantang, “Kau tidak mencukupkanku, meski aku tetap membutuhkanmu.” Aku akan menemuimu saat butuh penghibur tanpa cela, yang bisa memberi oksigen tambahan saat aku mulai menyusut. Dan kamu akan kuterima dengan tangan terbuka, saat seks tak cukup memuaskanmu, dan kau haus akan obrolan-obrolan bernas, atau sekadar rindu mencibir para makhluk syok teknologi di mal-mal terkemuka.
Selamat dini hari, Jakarta. Apakah ‘bosan’ itu berperikemanusiaan?
. 8 Agustus 2011 Pk. 22:20
Leave a Reply