Karena Kota adalah Kanvasmu
Mural Sedia Tisu Sebelum Nafsu oleh Bonds.
Ada yang sedikit berbeda ketika saya melewati Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, di akhir Desember 2010. Di salah satu tiang monorel terdapat gambar menu “klik kanan” pada tetikus (mouse) komputer. Kursor tetikus terlihat aktif menunjuk menu“Delete“. Yang ada di pikiran saya saat itu adalah cibiran, “Yah,andaikan segampang mengklik kanan untuk menghilangkan tiang-tiang yang nggak berguna ini.”
Belakangan saya baru tahu bahwa gambar tersebut merupakan bagian dari seri karya berjudul Klik Kanan yang dibuat oleh salah satu peserta Lokakarya Street Art Jakarta 32°C, yang tergabung dalam kelompok Laskar Artup. Jakarta 32°C sendiri adalah agenda rutin dua tahunan yang diadakan oleh ruangrupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta. Acara ini mewadahi para mahasiswa Jakarta dalam memamerkan karya-karya visual. Meski sudah diadakan sejak 2004, namun baru pada 2010 Jakarta 32°C mengadakan lokakarya street art yang kali ini dibimbing langsung oleh seniman street art Bujangan Urban dari Artcoholic dan Popo dari Kampung Segart.
Lokakarya yang diadakan pada Oktober – November 2010 silam ini mengangkat tema Bongkar Jakarta. Dokumentasi dan artefak lokakarya turut dipresentasikan dalam sesi pameran Jakarta 32°C di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta Pusat, pada 28 Desember – 12 Januari 2010. Dengan tema tersebut, setiap peserta diharapkan mampu membuat karya-karya yang dapat merespon beragam fenomena dan persepsi yang berkembang di Jakarta, mulai dari mobilitas penduduk, identitas, stereotipe dan ingatan kolektif masyarakat kota, hingga ruang dan peristiwa massa.
Dengan berbagai pertimbangan, peserta lokakarya dibatasi hanya bagi mereka yang memiliki portofolio yang cukup, sebab persoalan teknis tak lagi dibahas secara terperinci. Mengingat tema lokakarya cukup kompleks, wajar bila panitia lebih mengutamakan peserta dengan jam terbang yang cukup, berpengalaman membuat karya-karya street art, serta tahu bagaimana cara meracik isu menjadi sebuah karya yang sarat pesan. Ada tujuh peserta yang terpilih, dua di antaranya kelompok, sisanya individu, dan mereka adalah kelompok Sevensoul, kelompok Laskar Artup, Abi Rama, Sidvizeus, Angganoa, Ashtwo, dan Bonds.
Dalam membuat karya, tiap peserta menggunakan teknik yang berbeda. Abi Rama, Ashtwo, Bonds, dan kelompok Sevensoul memakai cat tembok yang dikombinasikan dengan cat semprot dan spidol. Sementara kelompok Laskar Artup dan Sidvizeus menuangkan ide dan gagasan mereka ke dalam bentuk wheat paste, yaitu gambar di atas kertas yang ditempel dengan menggunakan perekat dari tepung kanji (tapioka/aci) yang dididihkan. Wheat paste juga dikenal dengan nama Marxist glue, sebab di masa lampau kerap digunakan oleh organisasi beraliran kiri. Kini cara itu diadopsi untuk berbagai aksi seni rupa, termasuk dalam membuat karya street art, meskipun karyanya tak selalu bermuatan politis. Rudi, salah seorang anggota kelompok Laskar Artup, mengaku pada awalnya mereka berniat membuat karya Klik Kanan dalam bentuk mural atau stensil, namun mengingat jumlah karya dan titik lokasi penyebaran yang cukup banyak, akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan wheat paste. Selain praktis, lebih hemat waktu dan uang.
Isu-isu yang diangkat oleh kelompok Laskar Artup dalamKlik Kanan cukup beragam, meskipun secara tampilan, karya mereka cukup sederhana, yakni hanya berupa menu “klik kanan” pada tetikus tanpa ada teks tambahan. Empat “anjuran” yang mereka muat dalam karya ini antara lainDelete, Refresh, dan Send to. Dalam Delete, mereka “menganjurkan” agar benda-benda yang terpilih segera dibongkar. Pada Refresh, mereka berharap adanya pembaruan pada benda-benda yang kondisinya sudah tak layak. Sementara pada Send to, kelompok ini menganggap bahwa beberapa benda sebaiknya dipindahkan ke daerah lain karena dirasa sudah tak layak lagi untuk ditempatkan di Jakarta.
Contoh pertama adalah karya Delete pada tiang monorel di Jalan Asia-Afrika, Jakarta Pusat, yang pertama kali saya lihat itu (Gambar 1). Karya sederhana ini merespon keberadaan tiang-tiang monorel di sepanjang jalan yang masih tegak berdiri, meski proyeknya sendiri telah bertahun-tahun mandek karena persoalan dana. Kini, tujuh tahun sudah sejak pemancangan tiang pertamanya pada 2004, tiang-tiang tersebut masih berdiri di sepanjang Jalan Asia-Afrika hingga Jalan Gelora. Selain sia-sia dan tidak sedap dipandang, kehadirannya membuat arus lalu lintas di Jalan Gelora, tepat di belakang Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menjadi tersendat. Lebar jalan yang tak seberapa semakin terkikis dengan adanya tiang-tiang yang mejeng di badan jalan. Ya, tidak semua tiang monorel berada di pembatas jalan seperti yang ada di situ. Persoalan-persoalan inilah yang membuat kita pada akhirnya berharap dapat menghilangkan tiang-tiang tersebut semudah “mengklik kanan”.
Selain monorel, Laskar Artup juga menyentil bajaj. Dengan memberi tanda Send to, secara tidak langsung kelompok ini mengatakan bahwa sudah saatnya bajaj dipindahkan ke daerah lain, karena sudah tidak sesuai dengan kondisi Jakarta saat ini. Tak hanya isu transportasi, Laskar Artup juga merespon benda-benda seperti kotak pengaduan masyarakat milik Polsek Metro Kebayoran Baru, gerobak nasi goreng, tempat sampah, serta dinding terowongan, yang seluruhnya ditempeli wheat paste Refresh. Kondisi benda-benda tersebut memang sudah tidak prima, sehingga mesti segera diperbarui. Di lokasi lain, tepatnya di Jalan Blora, ada baliho yang ditempeli karya Delete karena penempatannya yang terlalu rendah mengganggu pejalan kaki. Belasan benda yang direspon Laskar Artup tersebar di sembilan lokasi. Seluruhnya memiliki “anjuran” yang berbeda, sesuai dengan menu klik kanan pada tetikus.
Gejolak kawula muda
Pada topik gaya hidup dan anak muda, Bonds berhasil menarik perhatian dengan mural berukuran 8 x 3 meter. Mural itu bergambar seorang perempuan berambut panjang dan hanya mengenakan bra (Gambar 2). Di sampingnya ada teks “Sedia Tisu Sebelum Nafsu”. Gambar perempuan seksi dan teks tersebut diapit gambar mawar merah dalam sebuah bingkai lengkung. Jelas terlihat bawah mural ini terinspirasi oleh stiker kota, jenis stiker teks klasik. Ciri-cirinya sudah jelas: kulit berwarna kuning, benda-benda di sekitarnya memakai warna-warna terang, berbingkai, dan ada tambahan unsur dekoratif. Terlebih lagi, karakter gambarnya identik dengan gambar-gambar orang pada komik roman 1970-an.[1] Dengan gaya nakal dan jenaka, Bonds menyentil keseharian masyarakat hingga ke level yang paling intim. Saat dihubungi melalui surel (surat elektronik), Bonds mengatakan bahwa ia ingin merespon kehidupan seks yang kerap dilakukan anak kost tanpa berniat menghakimi.
Mural ini berada di dinding jembatan layang Grogol, yang terletak di depan Univesitas Trisakti dan Universitas Tarumanagara; sesuai dengan target utama yang ia sasar, yakni para penghuni kost yang sebagian besar berstatus mahasiswa di sekitar kampus itu. Selain mural, ia juga membuat stiker yang awalnya akan ditempelkan di beberapa rumah kost yang ada di sekitar lokasi tersebut, namun batal karena tidak mendapat izin dari pemilik kost. Akhirnya stiker tersebut ia bagikan saat pembukaan pameran di Galeri Nasional Indonesia.
Dalam mural Sedia Tisu Sebelum Nafsu ini, Bonds sukses meracik humor sebagai bumbu utama karya. Mural buatannya mampu membawa orang-orang yang melihat, beranjak dari keadaan telis (tellic state—keadaan penuh tekanan) ke keadaan paratelis (paratelic state—keadaan lepas dari tekanan).[2] Seks pranikah merupakan isu sensitif di negara ini. Dengan mural ini, isu seks yang sejak lama dianggap sensitif—dan nyaris tabu—untuk dibicarakan, menjadi sebuah topik yang jenaka.
Bonds cukup berhati-hati dalam karya ini. Ia menghindari teks yang terlalu vulgar, namun tetap terbaca nakal dan menggoda. Ia juga lebih memilih pelesetan peribahasa (Sedia payung sebelum hujan) dibandingkan kalimat larangan apalagi ancaman. Dari awal ia tegas mengatakan bahwa ia dan mural ini tidak hadir untuk menghakimi, dan sepenuhnya sadar bahwa seks merupakan hak masing-masing individu.
Masih di topik gaya hidup, peserta lain, Angganoa, menampilkan mural bergambar ikon situs microbloggingTwitter. Bedanya, burung biru dalam mural ini digambarkan sedang pusing dan bermoncong babi. Keenam mural buatannya tersebar di lima lokasi, yakni Cilandak, Kemang, Panglima Polim, Fatmawati dan Lebak Bulus. Dua di antaranya menampilkan burung biru yang sedang “keder” tersebut dalam posisi terbalik, contohnya seperti yang terlihat di wilayah Kemang (Gambar 3).
Tak banyak pesan yang dapat kita tangkap dari mural berjudul Keder, yang arti sebenarnya justru “takut”, “gentar”, atau “gemetar”. Ketika melihat burung-burung tersebut sedang “pusing”, saya langsung berpikir bahwa mural tersebut ingin mengatakan kalau “Twitter bisa bikin pusing”. Dengan jutaan informasi yang tersebar setiap detiknya di Twitter, tak heran memang jika orang sering lupa untuk mengecek kebenaran informasi tersebut, dan telanjur asik berlomba menjadi yang pertama menyebarkan informasi kepada yang lain.
Sudah begitu banyak contoh kerancuan yang dapat terjadi di Twitter yang mungkin bisa disampaikan Angganoa lewatKeder. Sayangnya, mural-mural tersebut kurang “berbicara” dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat. Idiom “gambar berbicara sejuta kata” tampaknya tidak terlalu mengena bagi mural ini. Ketika melihatnya, kita hanya akan mendapat potongan-potongan pesan saja. Butuh waktu lebih untuk mendapatkan pesan yang utuh. Tambahan teks, misalnya “Twitter bikin keder“, mungkin dapat membuat mural ini berbunyi lebih nyaring.
Hidup segan, mati ya sudahlah
Peserta selanjutnya, Abi Rama, memilih telepon umum sebagai objek utama dalam mural berjudul Seleksi Alam.Kedua karyanya terdapat di dua lokasi, pertama di tiang monorel di daerah Senayan, dan yang kedua di bawah jembatan layang daerah Tanjung Barat, Jakarta Selatan (Gambar 4).
Mengapa Abi memilih telepon umum sebagai objek utama? Suburnya industri telekomunikasi di Indonesia, secara perlahan mematikan telepon umum dan sarana komunikasi yang lebih dulu ada, Sebagai salah satu pengguna, Abi Rama menghadirkan kembali telepon umum tersebut melalui muralnya. Saat ponsel masih menjadi barang mewah, dan biaya menelepon di wartel juga kurang terjangkau, telepon umum pernah hadir sebagai penyelamat. Di era ponsel sudah menjadi kebutuhan primer seperti saat ini, rasanya sulit mengembalikan peran telepon umum seperti dulu lagi. Wajar jika kemudian masyarakat merasa tidak membutuhkan telepon umum lagi. Hal ini menambah ketidakpedulian pemerintah untuk menjaga keberadaan telepon umum.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah, apakah benar telepon umum sudah menjadi barang yang pantas dimuseumkan? Jika ya, berarti secara tidak langsung Pemprov DKI Jakarta mengatakan bahwa tidak ada lagi yang membutuhkan telepon umum di Jakarta. Rasanya terlalu naif kalau menganggap semua orang mampu berkomunikasi melalui telepon selular, atau setidaknya memiliki telepon rumah. Telepon umum merupakan sarana publik standar yang harus ada. Dengan meniadakan sarana tersebut, berarti pemerintah menghilangkan hak berkomunikasi masyarakat, terutama golongan yang tidak mampu. Selain itu, telepon umum juga berfungsi sebagai sarana darurat. Setiap unit telepon umum dapat menghubungi nomor-nomor darurat dengan gratis, misalnya jika terjadi kebakaran. Akan sangat membantu jika masyarakat sekitar dapat langsung menghubungi pemadam kebakaran melalui telepon umum terdekat. Namun rupanya alam berkehendak lain. Di Jakarta, telepon umum dianggap sudah tidak berfungsi lagi bagi masyarakat. Kita telanjur sibuk terbuai promosi penyedia layanan ponsel dengan tarif super murah. Mungkin Abi Rama benar, alam Jakarta sedang “menyeleksi” ulang para penghuni yang mendiaminya, termasuk benda-benda di dalamnya.
Persoalan suka tidak suka
Lain Abi, lain pula Ashtwo yang mempertanyaan kecintaan warga terhadap kotanya. Lewat mural berukuran 25 x 3,5 meter, ia menuliskan sebaris kalimat “Aku ♥ Jakarta?” (Gambar 5), yang mirip dengan teks “I ♥ NY” yang ikonik itu. Tetapi Ashtwo menambahkan tanda tanya di akhir kalimat. Bukan tanpa sebab, ia memang ingin mengajak warga untuk bertanya kepada diri sendiri tentang rasa cinta terhadap Jakarta.
Lokasi yang dipilih adalah dinding pembatas jalan di depan Gedung Antam, Tanjung Barat. Dugaan saya, lokasi itu dipilih karena dianggap strategis. Setiap hari ruas jalan tersebut selalu ramai dilintasi kendaraan. Syukur-syukur jika arus lalu-lintas sedang tersendat, para pengendara dapat memperhatikan mural tersebut lebih lama. Namun ternyata, Ashtwo memilih lokasi tersebut karena di sanalah ia mulai giat membuat graffiti pada 2003 silam.
Mural Aku ♥ Jakarta? yang terasa “sepi” ini sebenarnya dapat lebih berbicara banyak jika ditempatkan di lokasi-lokasi kontras. Dengan begitu, pikiran orang-orang yang melihat akan langsung tergiring pada persoalan konkret yang ada di depan mata mereka. Misalnya saja jika mural Aku ♥ Jakarta? terdapat di tembok yang dekat tempat penuh sampah berserakan dengan bau menyengat, maka kehadiran mural ini bisa langsung menarik perhatian. Selain karena mural yang berukuran besar, tercipta suatu kontras antara tulisan pada mural dan suasana sekitar. Efek psikologis yang ditimbulkan akan lebih terasa dibandingkan dengan mural yang ada sekarang: Apakah kita sungguh-sungguh mencintai Jakarta?
Beralih ke peserta lain, ada kelompok Sevensoul yang membuat mural berupa emoticons atau ikon-ikon ekspresi yang kerap digunakan saat chatting. Karya ini diberi judulSimple Image Strikingly. Ikon yang ditampilkan cukup beragam; ada ekspresi senang, sedih, dan geram, dan marah. Ekspresi senang yang ditampilkan dalam warna kuning terlihat di unit-unit telepon umum di daerah Panglima Polim, Jakarta Selatan (Gambar 6). Di saat Abi Rama mengkritik soal kepunahan telepon umum dengan membuatnya kembali dalam bentuk mural, Sevensoul mencoba memberi tahu masyarakat sekitar bahwa telepon umum yang digambarinya dengan emoticons senang tersebut masih berfungsi. Namun ternyata hanya yang berlokasi di Panglima Polim saja yang diberi tanda oleh mereka. Fungsi ikon tersebut sebenarnya bisa semakin terlihat jika ada pembanding berupa ikon muram di unit-unit telepon umum yang rusak. Atau alternatif lain, menambahkan jumlah ikon senang di unit-unit yang masih berfungsi.
Selain ekspresi senang, ada pula ikon marah dan geram yang terlihat di dua tiang monorel berbeda. Tiang yang terletak di Jalan Asia-Afrika diberi ikon geram berwarna hijau. Sama dengan Klik Kanan milik kelompok Laskar Artup, ikon ini merupakan ekspresi ketidaksukaan terhadap tiang-tiang bekas rencana monorel. Sedangkan ikon marah berwarna merah yang terdapat di tiang yang ada di jalan Gelora, belakang Gedung DPR, bisa diartikan sebagai tiga hal: tidak suka dengan tiang-tiang monorel, kesal dengan kemacetan di ruas jalan tersebut, dan kecewa dengan para anggota DPR yang dianggap gagal menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat.
Dari enam mural Sevensoul, hampir semua maknanya sulit dimengerti. Saya beruntung dapat berkomunikasi langsung dengan senimannya, sehingga tahu pesan yang ingin ia sampaikan. Jujur saja, menurut saya karya-karya ini hampir tak ada bedanya dengan coretan “Jono was here” yang sering ada di halte-halte, yang hanya menandakan keberadaan senimannya melalui coretan. Pemilihan objek berupa emoticons justru memiuhkan pesan kuat yang ingin mereka sampaikan.
Rangkaian mural yang tidak “berbunyi” ini menjadi semakin membingungkan ketika di satu lokasi ada dua ikon berbeda. Seperti yang ada di Jalan Saharjo, Jakarta Selatan, kelompok Sevensoul menggambar ikon senang di kotak Telkom sebelah kiri, lalu ikon sedih di kotak sebelah kanan, sekalipun kedua kotak itu berkondisi baik-baik saja. Masih di ruas jalan yang sama, namun kali ini yang dipilih adalah halte bus Pasar Pedok, Jakarta Selatan, mereka menggambar ikon senang di tempat duduk sebelah kiri halte, dan ikon sedih di sebelah kanan. Kedua contoh ini membuat Sevensoul terlihat seperti sedang asik berbicara sendiri tanpa ada niat untuk berinteraksi dengan masyarakat.
Ungkapan perasaan yang lebih tegas ditunjukkan oleh Sidvizeus (Zeus). Ia membuat gambar rantai lengkap dengan gemboknya dengan menggunakan teknik wheat paste. Jika peserta lain kebanyakan memilih tembok-tembok kota, Zeus menjatuhkan pilihannya pada papan-papan reklame yang ada di daerah Fatmawati, Kebayoran Baru, dan Blok M. Entah memang ada maksud tertentu atau kebetulan semata, tiga dari lima papan reklame pilihannya menampilkan iklan pembersih (pakaian dan porselen), sedangkan sisanya iklan mie instan dan operator ponsel. Salah satu contohnya adalah papan reklame deterjen yang terletak di Jalan Sawo, Jakarta Selatan. Zeus menempatkan rantainya secara menyilang di tengah, menutupi hampir seluruh tubuh sang bintang iklan. Contoh lain adalah papan reklame operator ponsel yang terletak di bawah jembatan layang Kuningan. Memanfaatkan objek mobil di reklame ini, Zeus memposisikan rantainya terpasang di bumper belakang, sehingga seolah-olah mobil tidak bisa melaju (Gambar 7). Gambar rantai yang berukuran besar langsung menarik perhatian orang-orang yang melihatnya. Bahkan, karya Zeus hanya bertahan selama beberapa hari saja, sebelum akhirnya dicopot oleh yang merasa terganggu dengan rantai-rantainya tersebut.
Sesuai judul karya wheat paste buatannya, Egoismu Tungganganku, mungkin ini adalah bentuk protes Zeus—yang mewakili teman-teman seniman street art lain—akan papan reklame yang terlalu banyak jumlahnya di Jakarta. Selain secara tidak langsung “rebutan lahan” dengan pemasang iklan karena sama-sama menggunakan ruang publik, Zeus juga ingin mempertanyakan keberadaan reklame tersebut. Jika sejak dulu street art dianggap merusak pemandangan, kini ia ingin menunjukkan bahwa reklame justru lebih mengganggu ruang publik di Jakarta. Akhirnya yang bisa ia lakukan adalah balik mengganggu papan-papan reklame tersebut dengan karya yang jahil dan memberontak.
Masih berhubungan soal iklan dan street art, saya sempat iseng bertanya, manakah yang lebih tidak disukai; papan reklame atau street art. Jawaban yang datang beragam, meskipun rata-rata menjawab “papan reklame”. Alasannya,street art lebih menarik dan menghibur, serta tidak melulu soal “jualan”. Menariknya, salah seorang editor jurnalKarbon, Farid Rakun, ikut menjawab. Ia bilang, yang paling mengganggu adalah street art yang dibuat hanya untuk menjadi “iklan” bagi senimannya sendiri. Saya asumsikan yang ia maksud salah satunya adalah grafiti nama sang seniman atau kelompok street art tanpa ada pesan atau konteks sosial. Namun kini kondisinya lebih rumit, sebab sudah banyak produsen yang beriklan dalam bentuk mural. Sehingga bukan tidak mungkin jika iklan dan karya seni di kemudian hari menjadi tak ada bedanya ketika berada di ruang publik.
Jakarta: Pesan terkirim
Usai memperhatikan satu persatu karya setiap peserta, saya semakin sadar bahwa Jakarta memiliki banyak persoalan yang mesti dibereskan. Sebegitu pelik dan kentaranya, sehingga lima dari tujuh peserta mengangkat isu sosial-politik yang ada di kota ini, sedangkan sisanya lebih memilih untuk mengulas gaya hidup. Masalah yang dianggap paling “mengganggu” adalah soal fasilitas umum. Topik transportasi menjadi yang paling sering dibicarakan dalam karya-karya mereka. Beberapa objek seperti monorel, halte bus, dan kemacetan, muncul lebih dari sekali, yakni dalam karya kelompok Laskar Artup dan Sevensoul.
Sistem transportasi Jakarta yang semrawut memang kerap dikeluhkan masyarakat. Monorel, salah satu moda transportasi yang dulu menjadi tumpuan harapan masyarakat Jakarta akan transportasi yang nyaman, kini hanya berupa tiang-tiang yang terbengkalai. Meskipun kabarnya proyek monorel akan dilanjutkan, masyarakat tampaknya sudah tak berharap banyak.
Di topik lain, yakni kemacetan, kondisinya tidak jauh berbeda. Kemacetan sudah sejak lama menjadi masalah yang harus dihadapi oleh sebagian besar masyarakat Jakarta. Ruas jalan yang ada tidak sebanding dengan jumlah kendaraan bermotor. Angka pertumbuhan kendaraan bermotor sekitar 10 persen per tahun, sehingga setiap harinya Jakarta “kebanjiran” sekitar 250 mobil baru dan 900 sepeda motor baru. Menyiasati hal ini, Pemprov DKI Jakarta yang tak punya banyak pilihan, terpaksa menambah ruas jalan dengan “mengangkat” jalan ke atas. Misalnya yang terlihat pada pembangunan proyek jalan layang non tol (fly over) Antasari – Blok M yang dimulai sejak November lalu. Proyek ini pun bukan tanpa cacat. Banyak pihak yang menyayangkan penebangan ratusan pohon demi terlaksananya proyek ini. Salah satu mentor lokakarya, Popo, sempat “protes” lewat kalimat “Demi fly over, pohon game over” yang ia tuliskan di dinding sepanjang jalan Antasari, Jakarta Selatan, dengan menggunakan cat semprot. Belum lagi ditambah kemacetan yang timbul akibat pengerjaan jalan layang ini. Ironis, mengingat tujuan proyek ini sendiri adalah untuk mengurangi kemacetan.
Masih di topik fasilitas umum, objek lain yang menjadi perhatian peserta adalah telepon umum dan papan reklame. Abi Rama dan kelompok Sevensoul ingin mengingatkan kita bahwa telepon umum adalah sarana publik yang harus tetap ada karena masih dibutuhkan masyarakat, terutama oleh rakyat kecil. Sedangkan kelompok Laskar Artup dan Zeus mempersoalkan papan reklame yang kehadirannya dianggap mengganggu. Selain karena jumlahnya yang terlalu banyak sehingga menimbulkan polusi visual, namun juga karena penempatannya terkadang tidak tepat, semisal terlalu rendah sehingga menghalangi dan membahayakan pejalan kaki.
Munculnya fasilitas umum menjadi topik utama dalam karya para peserta lokakarya street art Jakarta 32°C, bisa diartikan sebagai kritik kepada Pemprov selaku pelayan publik Jakarta, yang dirasa kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat. Selama ini kritik dan saran yang ditujukan kepada pemerintah kebanyakan disampaikan dengan cara-cara konvensional. Mungkin dengan lokakaryastreet art Jakarta 32°C ini, kita memiliki cara baru dalam menyampaikan aspirasi. Jika mengusung pesan yang berisi melalui eksekusi yang baik, citra buruk street art yang lekat dengan vandalisme secara perlahan bisa hilang. Sebagai gantinya, street art akan dianggap sebagai medium aspirasi alternatif, yang tak hanya enak dilihat, namun juga berbunyi nyaring.
Menggunakan sudut-sudut kota sebagai kanvas, ketujuh peserta lokakarya ramai-ramai berkirim pesan tentang Jakarta. Memang tidak semua pesan dapat dengan mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat, namun setidaknya, inilah usaha mereka untuk menjadikan Jakarta sebagai kota yang lebih nyaman dihuni.***
Jakarta, Maret 2011
***
Catatan kaki
[1] Ugeng T. Moetidjo, Ardi Yunanto, Ade Darmawan, Mirwan Andan, Stiker Kota (Jakarta: ruangrupa, 2008).
[2] Dan Sperber & Deirdre Wilson, Relevance: Communication and Cognition (United Kingdom: Blackwell, 1995).
Gambar 1. Klik Kanan oleh Laskar Artup.
Gambar 2. Sedia Tisu Sebelum Nafsu oleh Bonds.
Gambar 3. Keder oleh Angganoa.
Gambar 4. Seleksi Alam oleh Abi Rama.
Gambar 5. Aku ♥ Jakarta? oleh Ashtwo.
Gambar 6. Simple Image Strikingly oleh Sevensoul.
Gambar 7. Egoismu Tungganganku oleh Sidvizeus.
Foto-foto koleksi Jakarta 32°C.
.
*Tulisan ini dimuat pertama kali di Karbon Journal.
Leave a Reply